Cuaca berubah-ubah menjadi kuasa alam yang tidak bisa diprediksi selama ekspedisi Arah Singgah di Papua. Termasuk dalam perjalanan menuju sisi selatan Semenanjung Kepala Burung.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri
“Kenapa tidak naik mobil saja?”
Pertanyaan itu terlontar dari setidaknya empat sopir mobil rental yang kami temui di Kota Sorong. Tiga di antaranya kami dapati di satu hari yang sama, yaitu ketika kami dijadwalkan terbang ke Teminabuan. Jarak dari Kota Sorong ke ibu kota Kabupaten Sorong Selatan sekitar 157 kilometer. Empat jam naik mobil. Setengah jam naik pesawat perintis.
Pertimbangan waktu itulah yang membuat kami memilih pesawat daripada rental mobil. Rupanya, alam punya rencana lain. Niatnya ingin cepat sampai, tetapi malah bikin capai.
Wira-wiri demi Susi
Mauren, ketua tim ekspedisi Arah Singgah, sudah memesan tiga tiket Susi Air ke Teminabuan untuk hari Jumat, 16 Agustus 2024. Wacananya, ingin istirahat agak lama sekaligus merayakan upacara 17 Agustus di Sorong Selatan. Beda dengan penerbangan maskapai besar, tidak ada platform daring yang tersedia untuk reservasi tiket. Kami harus memesan lewat nomor Whatsapp resmi customer service Susi Air. Tiketnya cetak, berbentuk buku kecil (booklet) seperti tiket pesawat jadul. Akan diberikan saat melapor check in.
Penerbangan reguler Sorong–Teminabuan hanya ada tiga kali seminggu. Berangkat pukul 07.00 WIT dari Bandara Domine Eduard Osok (DEO), tiba di Bandara Teminabuan setengah jam kemudian. Susi Air merupakan satu-satunya pemain di rute ini.
Di hari keberangkatan, sejak pukul lima Subuh kami sudah meninggalkan hotel menuju bandara Sorong yang cuma berjarak kurang dari lima menit. Namun, sesampainya di bandara, konter kecil check in Susi Air yang terletak paling ujung masih kosong melompong. Tidak ada satu pun kru Susi Air yang berjaga. Beda dengan konter-konter sebelah yang sangat sibuk. Padahal, kata petugas bandara, biasanya pukul 06.00 sudah siap.
Sampai pukul 06.30, belum ada kejelasan apakah kami akan terbang atau tidak. Baru beberapa menit kemudian, pesan baru muncul di Whatsapp Mauren. Dapat kabar dari customer service Susi Air, kalau penerbangan ke Teminabuan mundur ke pukul 14.35. Katanya, sedang menunggu armada pesawat pengganti dari daerah perintis lainnya.
Mauren lekas menelepon Samir, orang rental yang mobilnya kami sewa selama seminggu keliling Sorong, untuk menjemput dan mengantar kami kembali ke hotel. Beruntung, ia sudah stand by di bandara untuk mencari tamu. Beruntung pula, hotel kami belum memproses check out, sehingga kami tidak perlu membayar biaya tambahan. Kami memanfaatkan waktu setengah hari untuk istirahat.
Siangnya, kami check out dan berangkat ke bandara untuk kedua kalinya. Konter mungil itu akhirnya berfungsi. Seorang petugas pria berompi safety hijau melayani proses check in kami bertiga. Tidak cuma bagasi, badan kami juga harus ditimbang. Maklum, pesawat yang rencananya kami naiki adalah jenis Cessna 208 Grand Caravan. Kapasitas maksimal 12 penumpang. Dan bisa ditebak, kami kelebihan bagasi 70 kg sehingga harus membayar Rp1.050.000.
Alur selanjutnya berjalan seperti biasa. Naik ke ruang tunggu, melewati pemeriksaan X-ray sekali lagi, dan makan siang coto makassar di kedai pojok dekat toko oleh-oleh.
Hati mulai gundah tatkala sampai pukul 14.00 belum ada panggilan boarding. Jangankan itu, pesawatnya saja belum datang. Sementara awan kelabu mulai bergumul di langit. Hampir selama seminggu sebelumnya, setiap siang jelang sore Kota Sorong punya riwayat hujan deras.
Pesawat Susi Air yang kami nanti-nantikan akhirnya tampak mendekati runway dari arah barat. Saking mungilnya, pesawat bermesin turboprop tunggal itu tidak kunjung sampai ke ujung timur landasan pacu. Timpang sekali dengan pesawat-pesawat jet Boeing atau Airbus yang terparkir di apron bandara.
Dari dinding kaca ruang tunggu, tampak di kejauhan kendaraan baggage towing tractor tengah mengerek keranjang bagasi menuju pesawat Susi Air yang sudah parkir sempurna. Sepintas saya melihat rain cover biru tas ransel saya tertumpuk paling atas. Petugas ground staff kemudian melakukan bongkar muat barang di bagasi.
Tiba-tiba, suara pengumuman dari bandara terdengar lantang, mengabarkan pesawat kami mengalami penundaan karena alasan cuaca. Tahu-tahu hujan deras turun seketika. Lebat sekali, membasahi pelataran landasan bandara dengan cepat.
Kami batal naik pesawatnya Bu Susi. Kami gagal bikin konten Instagram, yang niatnya akan “caper” dengan menyebut akun Bu Susi. Mauren mencoba menghidupkan kamera, merekam saya berseloroh, “Pesawat sekecil itu berkelahi dengan hujan bulan Agustus.”
Dalam sesaat, pengumuman penundaan itu berubah menjadi pembatalan. Seorang pekerja perempuan berjilbab dengan rompi safety hijau. Dia adalah karyawan Susi Air. Dari tadi mondar-mandir di ruang tunggu. Sambil menggenggam protofon, ia mendatangi para penumpang yang setia menunggu. Selain kami bertiga, ada tiga penumpang lain dengan tujuan Teminabuan.
“Mohon maaf Bapak/Ibu, penerbangan ke Teminabuan dibatalkan karena cuaca tidak bersahabat. Kami menawarkan dua opsi, reschedule (penerbangan hari Senin di pekan berikutnya) atau refund,” tuturnya dengan tenang dan tegas.
Tentu saja kami kompak memilih opsi kedua. Meminta kembali uang tiket dan biaya kelebihan bagasi. Lumayan untuk ongkos perjalanan darat ke Teminabuan, yang akan kami lakukan keesokan paginya.
Ia kemudian mengarahkan kami turun untuk mengambil bagasi. Ketika troli penuh barang berat itu tiba, jelas saja, nyaris kuyup semuanya. Untung bagian permukaan saja yang basah, baik itu tas-tas ransel maupun koper.
Keluar dari gedung terminal dengan mendorong troli, niatnya Mauren menghubungi Samir agar menjemput kami lagi. Sayang, ia sedang tidak di bandara. Sudah ada tamu lain yang memakai jasanya. Tak ada pilihan lain, kami akan naik mobil rental yang banyak siaga di depan area kedatangan.
Pilihan kami jatuh pada sosok sopir bernama Fahmi. Pria bertopi dengan setelan kaus, celana jins panjang, dan sandal jepit yang menenteng kunci mobil di telapak tangannya. Dialah orang pertama yang menawarkan jasa angkutan begitu kami keluar dari pintu kedatangan.
“Seratus ribu,” ucapnya menyebut nominal tarif pengantaran ke hotel. Kami memutuskan untuk menginap semalam lagi dan baru pergi ke Teminabuan besok lewat jalur darat. Hotel yang sama, sampai-sampai resepsionis hotel hafal muka kami.
Tidak ada negosiasi berarti dengan Fahmi. Sebab, ternyata standar harga transportasi rental jarak dekat di dalam kota memang segitu. Di dalam mobil, si sopir mulanya tampak prihatin mengetahui penyebab kami batal terbang pakai Susi Air sore itu. Namun, begitu tahu tujuan kami adalah Teminabuan, pertanyaan familiar mengalun untuk keempat kalinya—ketiga di hari itu, “Kenapa tidak naik mobil saja?”
Berkendara bersama sopir Jawa
“Kalau kita berangkat naik mobil, kita sudah sampai di Teminabuan dari kemarin,” celetuk Deta, fotografer-videografer tim ekspedisi.
Betul juga. Durasi wira-wiri dan menunggu di bandara kemarin sudah seperti estimasi waktu tempuh perjalanan darat dari Sorong ke Teminabuan. Tapi, anggap saja itu sebagai pengalaman dan pelajaran. Toh, dari pihak Susi Air sudah kooperatif dalam menangani hak konsumen akibat penundaan.
Pagi itu (17/8/2024), seorang pria dengan setelan pakaian dan potongan rambut yang rapi menyapa kami di teras lobi hotel. Ia bergegas membantu kami memasukkan barang-barang bawaan ke bagasi belakang mobil. Sosok yang jauh berbeda dengan Fahmi, yang seharusnya mengantar kami ke Teminabuan hari ini.
“Harusnya dia yang berangkat, Mas. Tapi hari ini mesti antar istrinya ke rumah sakit. Jadi, saya yang diminta berangkat,” kata pria asal Trenggalek, Jawa Timur itu.
Pengalaman lima tahun di Sorong, mengikuti jejak rantau saudaranya yang seorang transmigran, cukup membuat Samsul hafal seluk-beluk jalan poros dua kabupaten bertetangga itu. Bahkan sampai ke Tambrauw dan Maybrat, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Papua Barat.
Ia banyak memberi gambaran atau wawasan kepada kami. Misalnya, harus hati-hati di jalan agar tidak menabrak anjing, sapi, atau babi karena konsekuensi hukum adatnya berat. Lalu, titik-titik lokasi mana yang memiliki tingkat keamanan rawan. Atau, sekadar tips—jika menyetir mobil sendiri—berapa banyak liter minyak (bahan bakar) yang harus disiapkan saat berkendara jarak jauh di sini.
Seperti aturan tidak tertulis, kami sebagai tamu tentu tetap memberikan sopir tiga kebutuhan utama: rokok, kopi, dan air mineral. Apalagi sopirnya podho-podho Jowone. Gayeng. Kisah-kisah seputar suka duka menjadi anak rantau di daerah berzona waktu selisih dua jam dengan Jawa, dominan mengiringi pembicaraan sepanjang perjalanan.
Kami membeli tiga ubo rampe itu di sebuah minimarket di Aimas. Sekalian tahap pertama mencicil belanja bahan makanan (bama) untuk pasokan logistik selama di Sorong Selatan. Jaga-jaga kalau di sana persediaan makanan-minuman terbatas.
Selepas Aimas, makin jauh ke arah tenggara, saya fokus pada pertanyaan yang tebersit di benak, petualangan macam apa yang akan menunggu di depan? Seperti apa perjalanan darat ke Teminabuan?
Samsul dan armada Toyota Avanza keluaran 2020 yang kami tumpangi siap membantu saya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia akan membawa kami melintasi jalan poros Sorong–Sorong Selatan, melewati distrik-distrik dan kampung-kampung yang masih asing bagi kami.
Saya sampai penasaran sejauh apa jarak 157 km itu. Yang jelas, jika memperkecil tampilan peta satelit di Google Maps, kami bagaikan setitik debu di atas daratan mahaluas yang dikenal Semenanjung Kepala Burung—merujuk pada tampilan permukaan keseluruhan Papua yang seperti burung cenderawasih. Atau biasa juga disebut Semenanjung Doberai, yang luasnya mencapai 55.604 km2. Sebagian besar wilayahnya membentuk kawasan Provinsi Papua Barat Daya, mulai dari Kabupaten Sorong di sisi paling barat, serta sebagian Papua Barat di sisi timur (Manokwari, Manokwari Selatan, Pegunungan Arfak, dan Teluk Bintuni).
Teminabuan, tujuan kami, berada di bagian “paruh burung” semenanjung itu. Wilayah pesisir selatan Sorong Selatan memang unik, tampak seperti teluk-teluk yang meliuk. Membentuk ekosistem pesisir yang khas. Kabarnya, ekosistem mangrove di kabupaten yang mekar dari Sorong sejak 2003 itu termasuk yang paling besar di Papua.
Saya mencatat tiga hal menarik yang kami jumpai saat melintasi jalan poros di wilayah Kabupaten Sorong. Pertama, sebuah pompa angguk berusia uzur dan nyaris diselimuti karat di atas sumur minyak di Distrik Klamono. Letaknya di pinggir jalan dan dikepung hutan. Saksi bisu eksplorasi minyak bumi warisan Nederlandsch Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), perusahaan minyak Belanda yang sudah hadir di Sorong sejak 1935-an. Meski produktivitasnya menurun, pompa dan sumur tersebut masih berfungsi cukup baik, seperti halnya puluhan lapangan produksi minyak lainnya di Distrik Klamono. Saat ini dikelola oleh PT Pertamina EP, anak usaha Pertamina Hulu Energi yang bergerak di bidang pengeboran minyak dan gas. Jejak pompa itulah yang juga memberi julukan Sorong sebagai Kota Minyak.
Kedua, papan nama di dekat pos keamanan dan portal di kiri jalan. Ukuran hurufnya besar, bertuliskan “PT HENRISON INTI PERSADA”. Rupanya perusahaan perkebunan kelapa sawit. Masih di kawasan Distrik Klamono, sekitar 35 km dari Sorong. Di sinilah Samsul memberi pernyataan menarik.
“Kebun kelapa sawit di sini nggak kelihatan dari pinggir jalan, Mas,” katanya. Beberapa ratus meter kemudian, saat mobil menanjak di atas bukit, kami baru paham. Lokasi kebun sawit nan luas berada cukup jauh di dalam. Tersamarkan hutan tropis di sekelilingnya. Entah memang didesain seperti itu, atau sekadar kamuflase untuk menunjukkan bahwa hutan di Sorong masih hijau.
Momen ketiga yang menarik adalah ketika kami menepi sejenak tak jauh dari jembatan baja Sungai Beraur. Orang-orang mengenalnya jembatan besar Klamono. Seorang penduduk setempat menghentikan mobil kami. Ternyata, sedang ada upacara 17 Agustus di lapangan kantor Distrik Klasafet dekat situ.
Saya mencoba turun, melihat-lihat situasi. Upacaranya berlangsung penuh khidmat. Peserta upacara yang terdiri dari anak SD dan SMA setempat, bersama perangkat distrik, terlihat tenang menyimak pembacaan doa oleh seseorang di podium depan. Bendera pusaka sudah dinaikkan. Sepertinya upacara segera usai.
Saya menegur seorang tentara yang berjaga di atas motornya di pinggir jalan, sekadar mengajaknya berbasa-basi. Tampaknya bintara pembina desa (Babinsa). Ia bilang, sebenarnya ada arahan dari pemerintah kabupaten untuk upacara di Alun-alun Aimas. Namun, “Pak Babin” berpendapat, daripada capek jauh-jauh ke kota, lebih baik upacara di lapangan distrik atau sekolah setempat dan tidak kalah patriotik.
Sementara di seberang jalan Samsul bersama Deta dan Mauren mampir ke kios penjual sirih dan pinang kering berbentuk irisan seperti koin. Harganya 10 ribu rupiah sepaket dalam satu piring plastik kecil, lengkap dengan seplastik kapur. Kami sama-sama mencoba menggigit seiris pinang.
Seorang penduduk lokal menunjukkan kepada kami cara mengunyah buah pinang. Kios-kios penjual sirih pinang mudah ditemukan di sepanjang jalan Sorong-Sorong Selatan. Pembeli bisa memilih buah pinang utuh maupun dalam bentuk irisan yang sudah kering/Mauren Fitri
“Pahit rasanya,” saya bertestimoni. Tentu saja disambut tawa penjual dan warga sekitar yang penasaran dengan kehadiran anak kota seperti kami. Baru mencoba sirih pinang pula.
Pria sepuh yang menyetop kendaraan kami tadi melambai-lambai. Gesturnya mengisyaratkan kami bisa melanjutkan perjalanan. Di lapangan, saya melihat pemimpin upacara sudah membubarkan barisan. Sayang sekali, kami tidak sempat melihat prosesi pengibaran bendera dan mendengar kumandang lagu agung Indonesia Raya bergema di timur Indonesia.
Kawasan pusat pemerintahan Distrik Klasafet ini berada di sekitar kilometer ke-40 dari Bandara DEO Sorong. Masih ada 117 kilometer lagi menuju Teminabuan.
(Bersambung)
Foto sampul:
Belukar dan hutan akan sering dijumpai di sepanjang jalan utama penghubung Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman
Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.