Cuaca kurang bersahabat masih mengiringi perjalanan kami. Meski masih satu daratan, Sorong Selatan seperti punya aura berbeda, baik itu bentang alam maupun masyarakatnya.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman & Mauren Fitri
Teduhnya hutan rimba tropis menyambut selepas persimpangan pos polisi Sawiat dan Pasar Klamit. Kira-kira 72,5 kilometer dari kantor Distrik Klasafet, Sorong. Samsul mengarahkan kemudi berbelok ke kanan, menuju pusat kota Teminabuan. Semak belukar setinggi truk tronton mulanya mengapit rapat jalan yang berkelok dan naik turun. Tidak seluruhnya mulus. Banyak titik yang bergelombang. Bahkan laju mobil agak merayap ketika melintasi bagian aspal yang terkelupas dengan lubang menganga.
Kondisi seperti itu membentang kurang lebih 30 km sampai bertemu percabangan jalan memasuki Kampung Tofot, Distrik Seremuk. Namun, kami cukup sabar dan senang-senang saja karena berada di kawasan vegetasi hijau dengan tegakan pohon-pohon besar merimbun. Kabut tipis bergelayut di antara kanopi pepohonan.
Sesekali saya membuka jendela. Membiarkan embusan angin sepoi membelai wajah. Menyapu kesejukan yang berbeda di kabin mobil. Lamat-lamat kami mendengar kicau burung yang kencang. Entah di mana sumbernya. Deta menduga, mungkin itu suara rangkong atau julang Papua. Sebab, kami juga melihat sekelebat satu-dua burung setia itu, dengan kepak sayap lebar yang khas, melayang tinggi di angkasa yang kelabu.
Hujan di Kota Seribu Sungai
Ketika melewati Sungai Sembra di Srer, sekitar sembilan kilometer sebelum kota Teminabuan, hujan mendadak mengguyur jalanan. Samsul sempat kebingungan di suatu percabangan, sehingga membuat saya membuka aplikasi Google Maps untuk memandu arah.
Setelah empat jam perjalanan, kami memutuskan berhenti sejenak di sebuah minimarket di Sayolo. Persis di seberang SMP Negeri 1 Teminabuan. Mauren menginstruksikan turun untuk beli sembako tambahan, melengkapi hasil belanja yang kurang di Aimas. Buat stok logistik selama liputan di kampung-kampung nantinya. Sebab, persediaan bahan pokok di kampung pasti terbatas. Onesimus Ebar, koordinator program EcoNusa di Sorong Selatan, telah jauh-jauh hari lewat pertemuan virtual memberi saran kepada kami.
“Sebelum masuk kampung, perlu belanja bahan makanan (bama) dulu di kota. Bisanya beras, minyak, telur, dan mi. Nanti biar mama-mama di kampung yang masak,” kata Ones, panggilan akrabnya. Kami akan menemui pria berdarah Nakna—subsuku yang menjadi bagian dari suku besar Tehit—itu dan singgah di kantornya di Wernas. Kira-kira 3,5 kilometer ke arah selatan dari Bandara Teminabuan.
Jumlah logistik yang harus dibeli sebenarnya tergantung pada seberapa lama kami berada di kampung. Selain itu, kami biasanya juga menambahkan snack dan buah, serta kopi bubuk dan gula. Sebagai ibu kota kabupaten, Teminabuan jelas menjadi rujukan masyarakat Sorong Selatan untuk mencari kebutuhan-kebutuhan pokok. Pusat pemerintahan dan perekonomian ada di sini.
Hujan masih deras ketika kami bergerak ke kantor Ones. Dalam perjalanan minimarket di Sayolo ke Wernas itulah kami melewati Bandara Teminabuan. Letaknya di pinggir jalan poros menuju Ayamaru, Kabupaten Maybrat. Jangan dibayangkan bentuknya seperti bandara besar di Sorong. Bandara ini hanya melayani penerbangan-penerbangan perintis.
Susi Air menjadi satu-satunya maskapai, dengan rute berjadwal Sorong–Teminabuan yang terbang tiga kali seminggu—kalau cuaca bersahabat. Maskapai milik Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI periode 2014–2019 itu juga melayani rute Sorong–Inanwatan. Meski Inanwatan masih masuk Sorong Selatan, tetapi belum ada jalan yang bagus dari Teminabuan ke distrik tersebut. Naik kapal dari Pelabuhan Teminabuan, lalu menyisir pesisir selatan menjadi opsi transportasi lainnya ke Inanwatan.
Melihat hujan lebat mengguyur landasan pacu yang pendek itu, kira-kira 800 meter, rasa-rasanya kami bersyukur belum jadi naik pesawat ke kota ini. Kami cukup tercengang ketika melihat warga bebas melenggang dengan berjalan, motor, atau mobil, membelah runway menuju perkampungan di utara bandara. Saya bahkan sampai berpikir, kalau gagal mendarat di bandara, tampaknya jalan raya di depannya bisa jadi jalur pendaratan darurat. Atau bisa saja pilot menunda pendaratan gara-gara—siapa tahu—ada babi atau sapi mendadak menyeberangi runway.
Teminabuan dikenal dengan sebutan “Kota 1000 Sungai”. Sungai terbesarnya adalah Sungai Sembra yang berwarna biru jernih, yang sempat kami lihat saat melewati Srer tadi. Salah satu anak sungainya bernama Kohoin, yang membelah jantung Kota Teminabuan.
Jika melihat lebih dekat, terpasang pipa-pipa besi memanjang dengan diameter cukup besar di sepanjang DAS Kohoin. Kabarnya, pemasangan pipa-pipa tersebut untuk mendukung pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) berkapasitas 100 kW oleh Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan.
Namun, artikel Mongabay (2020) menyebut proyek energi terbarukan tersebut mangkrak sejak 2014 karena terjadi beberapa hambatan yang tidak sepenuhnya jelas. Entah adanya dugaan korupsi atau perencanaan yang kurang matang. Meski satu turbin sempat menyala ketika uji coba, tapi di tengah proses konstruksi, pembangkit tersebut sempat mengalami kerusakan karena salah satu pipa pesat—penyalur air ke turbin pembangkit listrik—runtuh sebagian di badan sungai.
Di sisi lain, dua sungai besar tersebut juga memberi aneka manfaat bagi masyarakat setempat. Tidak hanya untuk mandi dan mencuci, tetapi juga menjadi objek wisata alam yang cukup ramai pengunjung. Terutama di akhir pekan, karena banyak wisatawan berkunjung dari luar kota. Bahkan sampai sekarang sungai masih berperan krusial untuk mobilitas masyarakat. Menurut cerita warga Kampung Konda dan Wamargege di Distrik Konda, mereka pun sesekali biasa naik perahu dari Teminabuan menyusuri Sungai Kaibus sampai ke kampung.
Beberapa orang tua yang kami temui di kampung tersebut sempat berkisah sulitnya perjalanan yang harus ditempuh di masa lampau. Terutama ketika ingin pergi ke Kota Sorong untuk keperluan tertentu. Seperti yang diungkap Yohanes Meres, sesepuh adat subsuku Yaben di Kampung Konda. “Dulu dari Sorong ke Teminabuan cuma bisa pakai perahu, karena belum ada jalan,” kenangnya.
Yohanes harus naik perahu berhari-hari dari Teminabuan atau kampungnya di tepi Sungai Kaibus dengan tujuan Klamono. Persisnya di pelabuhan rakyat Sungai Beraur, dekat pusat distrik. Titik dermaga itu masih ada sampai sekarang, yang kini terdapat jembatan baja penghubung Sorong–Teminabuan. Di sana Yohanes menambatkan perahunya, lalu lanjut berjalan kaki sejauh 20–30 km menuju Klaben, sebelum Distrik Aimas yang kini jadi ibu kota Kabupaten Sorong. Menurut ceritanya, jalan beraspal dan angkutan umum di zaman dahulu hanya sampai di Klaben. Baru dari situ Yohanes naik taksi ke Kota Sorong.
Hujan berangsur mereda setibanya kami di kantor EcoNusa di Wernas. Persis di samping SPBU. Kantor EcoNusa bersebelahan dengan kantor Konservasi Indonesia. Keduanya lembaga nonprofit yang berkantor pusat di Jakarta dan sedang ada program pendampingan masyarakat adat di Sorong Selatan. Selama di Sorong Selatan, kami bekerja sama dengan EcoNusa untuk meriset dan menghimpun informasi lokasi sasaran, narasumber, serta rencana topik liputan ekspedisi Arah Singgah.
“Selamat datang di Teminabuan,” sambut Ones hangat dengan jabat tangan erat dan senyum lebar. Ada juga Neskiel, anak perempuannya yang ikut menemani sang ayah. Usai makan siang bersama-sama di RM Bang Ibed dekat kantor, kami berpisah dengan Samsul. Ia akan langsung pulang ke Sorong sore itu juga.
Di Wernas kami transit sejenak. Kami sempat berjumpa dengan Adrianus Kemeray, Kepala Kampung Bariat. Ia baru saja pulang dari menghadiri upacara 17 Agustus di kantor bupati. Kami juga menyapa M. Yusup Sianggo, warga Kampung Wamargege yang mampir ke basecamp EcoNusa. Selama sekitar seminggu, kami akan berkunjung ke kampung-kampung di Distrik Konda tersebut untuk melihat upaya masyarakat adat melakukan praktik-praktik ekonomi restoratif berkelanjutan.
Digoyang jalan semi off road di tengah hutan gambut
Dari kantor EcoNusa, masih ada 10 km lagi menuju Kampung Bariat. Tujuan utama perjalanan hari itu. Sopir berganti. Kristian Sabru atau akrab disapa Kris, orang Teminabuan, akan mengantar kami ke ibu kota Distrik Konda tersebut. Ia tadi sempat mengantar Mauren belanja sayur ke pasar tradisional di pusat kota. Armada miliknya berbeda, meski masih satu pabrikan dengan yang dikemudikan Samsul. Kris membawa Toyota Rush. Kelak kami akan paham kenapa mobil jenis ini laris di pasaran Papua Barat Daya dan mudah ditemukan di mana-mana.
Penampilan Kris khas—walau pakaiannya itu-itu saja selama mengantar kami liputan di Sorong Selatan. Topi terbalik di kepala, kaus warna gelap lengan pendek, celana jins biru selutut, dan sepatu kets berbahan kulit sintetis. Kalung salib emas melingkar sedada.
Karena sudah tidak hujan, jendela mobil sengaja dibuka. Kris meminta izin menyetir sambil merokok. Tak lupa menyetel musik yang tersambung dengan koneksi bluetooth dari ponselnya. Kami persilakan. Aman-aman saja.
Rupanya rute perjalanan menuju wilayah administrasi Distrik Konda berada di tengah-tengah hutan gambut. Kawasan rawan kebakaran. Tiang-tiang listrik berkarat milik PLN berdiri menyambungkan kabel-kabel yang menjangkau hampir seluruh kampung di Distrik Konda. Kabarnya, ada beberapa titik menara Base Transceiver Station (BTS) di distrik ini, sehingga sinyal seluler dan internet pun cukup aman.
Di luar itu, kondisi jalan membuat kami sering mengelus dada dan waswas. Awalnya mulus beberapa ratus meter, lalu seperti “terputus”. Ada kubangan air setinggi ban. Kadang masih bisa dihindari kalau masih ada celah aspal kering yang cukup lebar. Kadang seluruh ban terpaksa “tenggelam” supaya bisa menerjang jalan berlubang yang tergenang.
Saat kami dibekap keraguan setelah melihat genangan bak kolam di depan mata, Kris tetap santai. Ia cuma bilang, “Kita tes dulu. Kalau aman, berarti gas terus. Kalau nyangkut, ya, tinggal mundur saja. Coba lagi.”
Satu-dua kesempatan saya turun dari mobil. Mencoba merekam keahlian Kris mengemudi dari luar.
Hujan membuat jalan berlumpur dan cukup licin. Namun, beruntung mobil miliknya berpenggerak roda belakang. Meski bukan jenis 4×4 atau dobel gardan, tapi sepanjang jalan ia tidak terlihat kesulitan. Ground clearance mobil cukup tinggi, sekitar 220 mm atau 40 mm lebih tinggi dari Innova Reborn. Tak heran Kris sangat yakin ketika memaksakan salah satu sisi ban nyemplung cukup dalam, sementara sisi ban lainnya tetap mendarat di aspal. Traksi ban cukup bagus. Tak jarang Kris hanya menggunakan persneling gigi 2 saja di RPM rendah, walau harus semi off road.
“Aman saja,” cetusnya.
Aspal jalan mulai berangsur normal begitu memasuki Manelek, kampung pertama. Tidak jauh dari permukiman masyarakat subsuku Gemna itu, kami tiba di halaman rumah Adrianus Kemeray yang berpasir putih bak tepung. Kepala Kampung Bariat itu menyambut kami hangat. Ia bersama Kris membantu menurunkan barang-barang bawaan kami dari bagasi. Ones menyusul dengan motor sport Honda CRF beberapa menit kemudian. Ia datang untuk memastikan kami tiba dengan selamat, walau tidak akan ikut menginap di Bariat.
Total 45 menit perjalanan kami tempuh dari kantor EcoNusa di Wernas menuju kampung ini. Adrianus menyediakan ruang tamu rumahnya yang sederhana untuk tempat kami menginap. Tinggal membeber matras saja di atas lantai yang dilapisi spanduk-spanduk besar.
“Maaf, kondisinya begini, ya. Seadanya tidak apa-apa, ya,” ucap Adrianus.
“Tidak apa-apa, Bapak. Aman saja,” kata kami serempak. Kami menaruh sebagian barang di dalam kamar istri Adrianus, sisanya tergeletak saja di ruang tamu. Pintu depan rumah hanya berupa paku bengkok yang tertancap di kosen untuk menyelot daun pintu. Pun pintu bagian belakang dekat meja makan, yang tembus keluar ke arah dapur.
Sesungguhnya kami tidak terlalu khawatir. Selama bisa menjaga peralatan pribadi dan kelompok yang penting, terutama untuk keperluan liputan, akan baik-baik saja. Adrianus pun berani menjamin itu.
Malamnya, kami berkumpul di teras rumah Adrianus yang cukup lapang. Bisa memuat belasan orang untuk sekadar menongkrong. Cuma ada sebuah meja kayu, serta kursi-kursi plastik dan bangku kayu untuk duduk. Rumah Adrianus terbilang paling terang dibanding rumah-rumah masyarakat sekitar, meski hanya bercahayakan lampu bohlam putih yang tidak terlalu terang.
Tapi, di teras inilah salah satu tempat kami selama dua malam di Bariat. Cukup berbekal empat bahan kontak sesuai saran Ones, yaitu rokok, pinang, kopi, dan gula; bahan obrolan ringan sampai berat akan mengalir deras sampai nyaris tak kenal waktu.
Bersahaja, tetapi hangat, akrab, dan penuh hormat. Begitulah yang kami rasakan. Tampaknya, definisi rumah benar-benar tidak sekadar dibatasi sekat-sekat geografis. (*)
Foto sampul:
Perjalanan dari Teminabuan menuju pedalaman Distrik Konda, Sorong Selatan/Rifqy Faiza Rahman
Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.