ItineraryNusantarasa

Turuk Bintul, Penganan Jadul Khas Jawa Tengah

Dalam khazanah kuliner Nusantara, terutama Jawa, banyak diwarnai nama kuliner yang jorok, “ngeres”, dan “saru” (bernuansa seksualitas). Di antaranya yang bisa disebut adalah tolpit atau kontol kejepit yang merupakan nama kue khas Bantul, Yogjakarta. Kuliner ini sebenarnya bernama kue adrem, terbuat dari bahan baku utama tepung beras dan gula merah. Tetapi gegara bentuknya, kuliner ini populer dengan nama kue tolpit.

Di Semarang, juga ada kuliner yang namanya tak kalah jorok,“ngeres”, dan “saru”, yaitu kupat jembut. Kuliner ini hadir di setiap perayaan kupatan (lebaran ketupat) atau tradisi Syawalan di daerah Jaten, Genuksari, dan beberapa daerah di wilayah Pedurungan Tengah, Semarang. 

Dalam bahasa Jawa, jembut sering dipakai untuk menyebut rambut pada kemaluan wanita. Disebut kupat jembut, karena ketupat yang ada dalam tradisi di daerah ini, tampil dengan cara dibelah tapi tidak putus, lalu di dalamnya disisipkan olahan taoge. Sehingga sekilas nampak seperti alat kelamin perempuan lengkap dengan rambut-rambutnya. Dari sinilah nama kupat jembut berasal.

Selain itu, di beberapa daerah lainnya juga dijumpai nama-nama kuliner yang juga jorok, di antaranya es dawet jembut kecabut—yang sesungguhnya merupakan kuliner es dawet ireng khas Purworejo. Nama “jembut kecabut” sendiri sebenarnya merupakan akronim dari lokus atau tempat mangkal kuliner ini, yakni “Jembatan Butuh, Kecamatan Butuh”. Butuh merupakan nama kecamatan di Kabupaten Purworejo.

Apabila disisir, masih banyak lagi sebenarnya nama-nama kuliner di Jawa yang jorok, “ngeres”, dan “saru”. Seperti peli kipu, rondo royal, dan lain sebagainya.

Menurut sejarawan asal Solo, Heri Priyatmoko, sebagaimana dikutip Detik.com, orang Jawa (zaman dulu) tidak memperumit dalam perkara penamaan sesuatu. Acap terinspirasi dengan apa yang dijumpai di sekitarnya. Penamaan makanan itu disepakati secara kolektif, hingga akhirnya nama itu (melekat) turun-temurun dan kemudian populer sebagai penamaan umum hingga sekarang.

Teruk bintul
Turuk tintul siap disantap. Sangat nikmat sebagai teman minum kopi atau teh hangat/Badiatul Muchlisin Asti

Turuk Bintul, Kudapan Jadul dari Grobogan

Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, ternyata juga ada kuliner berupa kudapan tradisional bercita rasa tempo dulu yang memiliki nama jorok, “ngeres”, dan “saru”, yaitu turuk bintul. Jorok dan “saru” karena kata “turuk” dalam bahasa Jawa (pasaran) merupakan kata vulgar untuk menyebut “organ kemaluan perempuan”. Sedang “bintul” berarti bentol atau bengkak kecil, merujuk pada kulit yang bentol akibat digigit semut atau nyamuk. 

Kudapan tradisional turuk bintul ini eksistensinya sudah sulit dijumpai, (nyaris) dilupakan, bahkan banyak generasi muda yang tidak tahu soal kuliner ini. Terinspirasi untuk mengangkat kembali kuliner jadul itu, dengan tujuan agar eksistensinya tidak punah dan dilupakan, sebuah rumah makan di Kabupaten Grobogan bernama Rumah Makan Mbak Nik, sejak tahun 2005 lalu menyediakan kudapan berbahan baku utama beras ketan dan kacang tolo itu. 

  • Teruk bintul
  • Teruk bintul
  • Teruk bintul

Rumah Makan Mbak Nik sendiri merupakan destinasi kuliner yang berada di Jalan Raya Purwodadi–Semarang, tepatnya di Desa Klampok, Kecamatan Godong, Kabupaten Grobogan. Rumah makan yang telah berdiri sejak 2 Februari 2002 itu menyediakan pelbagai menu khas Jawa seperti mangut ndas manyung, garang asem ayam kampung, semur kuthuk, opor ayam, sayur lodeh, dan sebagainya. Dan tentu saja menu andalannya, yaitu ayam goreng dan bakar. 

Di antara menu-menu itu, Rumah Makan Mbak Nik juga menyediakan aneka kudapan, di antaranya yang spesial adalah turuk bintul. Pemilik Rumah Makan Mbak Nik, HM. Umar Syahid, menyatakan bahwa turuk bintul merupakan penganan tradisional warisan leluhur Grobogan tempo dulu. Dulu, kudapan ini sangat mudah dijumpai dan sering dibuat, terutama untuk keperluan suguhan acara-acara pesta hajatan warga, seperti saat mantenan dan sunatan. Saat ini, dia menyediakan kudapan itu di rumah makan miliknya dengan tujuan untuk nguri-nguri atau melestarikan kuliner warisan leluhur yang saat ini sudah jarang dijumpai, bahkan nyaris dilupakan.

Di rumah makan miliknya, HM. Umar Syahid melabeli kudapan turuk bintul dengan “teruk bintul”. Kata “teruk” disematkan untuk memperhalus kata “turuk” yang dalam linguistik Jawa masa kini terkategori vulgar. Apalagi tambahan kata “bintul” yang semakin memperkuat kesan jorok dan “saru”.

Bercita Rasa Gurih, Pulen, dan Lembut

Turuk Bintul sendiri adalah penganan yang terbuat dari bahan baku utama beras ketan dan kacang tolo, serta parutan kelapa dan garam. Cara membuatnya yakni dengan masak beras ketan. Lalu, setelah air menyusut, angkat. Campurkan kelapa parut dengan nasi ketan, kukus sampai matang.

Teruk bintul
Bahan-bahan untuk membuat turuk bintul/Badiatul Muchlisin Asti

Selanjutnya, tumbuk ketan selagi panas sampai lengket dan kalis, baru kemudian ditaburi kacang tolo kukus. Kacang tolo inilah yang mencuatkan kesan seolah-olah terdapat bekas bintul atau bengkak-bengkak kecil, sehingga dari sinilah kemudian kudapan ini dinamakan turuk bintul.

Dalam penyajiannya, ketan yang sudah ditumbuk dan ditaburi kacang tolo, dibungkus daun pisang menyerupai lontong namun bentuknya lebih kecil. Bentuknya mirip lemper atau arem-arem. Saat menyantapnya, bungkus daun pisang dibuka, lalu turuk bintul dipotong-potong seperti memotong lontong. Turuk bintul bercita rasa gurih, pulen, dan lembut. Sangat nikmat disantap sembari menyeruput kopi atau teh hangat.

Sebagai kuliner pusaka (heritage culinary), turuk bintul bukanlah spesifik khas Grobogan. Kudapan jadul ini juga bisa dijumpai di daerah lain, utamanya di lingkup Jawa Tengah. Bahkan turuk bintul sangat terkenal di Jepara. Di Bumi Kartini itu, masih banyak dijumpai penjual turuk bintul. Bahkan turuk bintul populer juga sebagai kudapan khas Jepara.

Bahkan lagi, turuk bintul juga hadir dalam versi yang berbeda. Di Desa Wates, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, turuk bintul hadir dengan versi terbuat dari bahan utama tepung singkong. Dalam perspektif sejarahnya di masa lalu, masyarakat Desa Wates kesulitan mendapatkan bahan pangan beras karena mahal, sehingga menjadikan singkong sebagai bahan konsumsi pengganti.

Dari situlah lahir kreativitas membuat kudapan bernama turuk bintul yang terbuat dari tepung singkong. Kudapan turuk bintul khas Desa Wates biasa disantap dengan parutan kelapa atau gula pasir dan eksistensinya masih bisa dijumpai hingga saat ini.

Terlepas dari soal nama yang jorok, “ngeres”, dan “saru”, turuk bintul adalah kuliner warisan leluhur yang memperkaya khazanah gastronomi tradisional Nusantara, yang layak diuri-uri atau dilestarikan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Dari Dapur Rawon Rampal