Bait demi bait sebuah lagu dari bank rock kenamaan Indonesia, Slank, mengalun merdu. Judulnya “Terlalu Manis,” dirilis tahun 1991 dalam album “Kampungan.” Tapi, frasa Terlalu Manis ternyata nggak cuma jadi judul lagu band yang digawangi Kaka dkk. itu, tapi juga jadi menu di kafe baru mereka yang diberi nama Slankafe.
Minggu siang saya secara impulsif pergi nongkrong sambil melanjutkan beberapa kerjaan ke Slankafe. Nggak ada rencana sebelumnya bakal ke kafe yang baru dibuka pada 22 Februari lalu itu. Saya random saja. Habis beli kain di sekitar Fatmawati, cek-cek Zomato, saya langsung jalan kaki sekitar 300 meter menuju lokasi. Untungnya trotoar sepanjang Jalan RS Fatmawati sudah cukup baik. Perjalanan singkat itu terasa nyaman.
Letak Slankafe berdampingan dengan Kantor Pos Fatmawati. Alamat lengkapnya Jalan RS Fatmawati No. 17B, Jakarta Selatan. Tempatnya nggak begitu besar, tapi cukup ikonis dan Slank banget. Belum masuk saja, lambang Slank sudah terpampang besar. Perjalanan memasuki kafe terasa seperti perjalanan menjadi seorang fans Slank alias Slanker.
Minum Mawar Merah
Nuansa kafenya hangat dengan interior dominan hitam dan cokelat. Lagu-lagu Slank terdengar keras dari sudut ruangan yang disulap jadi semacam panggung kecil, lengkap dengan gitar, piano, speaker, dan beberapa alat musik lain.
Di ujung lain, sofa hitam nan empuk tersedia untuk ngopi santai. Namun, saya lebih memilih duduk di depan coffee bar biar lebih total merasakan hiruk pikuk aktivitas barista dan pengunjung yang datang. Lagipula saya datang sendiri dan nggak perlu banyak kursi siang itu.
Bagi saya yang nggak suka kopi, ada yang terasa kurang saat berada di Slankafe. Pasalnya, semua minumannya berbahan dasar kopi. Saya sempat tanya ke kasir apakah mereka menyediakan minuman non-kopi. Jawabannya: paling hanya ada air mineral.
Apa boleh buat. Terpaksa saya ngopi. Setelah memilih-milih sebentar—setelah menepis godaan Terlalu Manis untuk Dilupakan (espresso dengan campuran gula aren dan susu), Kampungan (espresso dengan susu), dan Hijau Alami (espresso dengan alpukat dan susu)—saya jatuhkan hati pada Mawar Merah, kopi spesial berupa espresso dicampur sirup mawar merah dan susu.
Saya iseng, mereka niat
Saya bukan Slanker. Dibilang suka Slank, biasa saja. Mendengar lagu-lagu mereka juga nggak sering. Sepertinya siang itu cuma saya pengunjung yang bukan seorang Slanker. Saat melihat sekeliling, saya mendapati bahwa sebagian besar dari mereka berpakaian serba hitam dengan tulisan-tulisan berbau Slank. Saat lagu-lagu band yang lahir tahun 1983 itu diputar, mereka ikut bersuara seperti penyanyi latar.
Setelah curi-curi dengar obrolan para pelanggan, saya jadi makin yakin: saya iseng, mereka niat. Bagaimana enggak kalau ternyata sebagian dari mereka sengaja jauh-jauh datang dari Tebet dan Cawang. Menginsafi keseriusan mereka, saya nggak bakal heran kalau nanti, tak ada angin tak ada hujan, ada yang tiba-tiba naik meja dan mengibarkan bendera Slank selebar meja pingpong.
Untung saja siang itu penampilan saya agak oke—baju hijam, celana jeans robek di bagian paha, dan boots hitam. Sekilas, orang-orang akan mengira saya penggemar musik rock. Jadi, saya bisa menyaru di antara para Slankers. Menjelang sore, pertunjukan live music—yang tentunya memainkan lagu-lagu Slank—dimulai. Pengunjung makin riuh bernyanyi bersama. Dan saya makin tenggelam di antara para Slankers itu.
Perjalanan singkat ke Slankafe itu seakan membaiat saya menjadi seorang Slanker. Lucunya, dalam perjalanan pulang saya memutar lagu-lagu Slank. Di rumah saya juga jadi rajin mendengar lagu-lagu Slank. Barangkali saya mesti sesegera mungkin nonton konser Slank biar makin sah menjadi seorang Slanker.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.