Saya tidak tahu idenya siapa, tapi kejenuhan menghadapi kerja dari rumah semasa corona membuat teman-teman saya di Rombak menginisiasi kumpul-kumpul di Google Hangout pada Jumat malam untuk berbagi pengalaman mistis.
Sebenarnya itu bukan tema favorit saya. Nonton film horor saja saya bisa teriak histeris setengah mampus. Tapi, karena penasaran dengan cerita mereka, akhirnya saya beranikan diri untuk gabung dalam kumpul-kumpul virtual itu. Dan cerita-cerita mereka memancing saya mengingat pengalaman-pengalaman tak terjelaskan—yang sering diistilahkan orang-orang sebagai “pengalaman mistis”—yang pernah saya alami.
Banyak.
Kalau diingat-ingat, tiap berpindah-pindah tempat hampir selalu ada saja peristiwa mengandung unsur mistis yang saya alami. Saya sendiri heran magnet seperti apa yang menarik mereka? Bukannya lawan jenis, yang tertarik pada saya malah “hal-hal yang tak terjelaskan.”
Kata sahabat saya, Like, saya ini tipikal “tempelable,” artinya makhluk halus senang menempel ke saya. Antara bangga dan sedih saya mendengarnya.
Untuk yang suka bertualang, memang saya ini bukan termasuk contoh teladan. Saya ini teledor dalam hal kepekaan sosial. Saya juga tak punya budaya yang bisa dibawa. Orangtua saya berdarah Jawa tapi saya tidak bisa bahasa Jawa. Lahir dan besar di Papua, ingin mengaku orang Papua tapi rambut saya tidak keriting. Mempunyai identitas budaya ini cukup penting, karena pembawaan kita itulah yang mewakili dari mana kita berasal. Mengetahui asal leluhur akan membuat kita tahu bagaimana bersikap; yang kita anggap sopan belum tentu sopan di tempat lain.
Saya masih ingat petuah Pak Yogi, salah seorang sosok yang mengajarkan saya soal menghormati budaya dan menjaga perilaku. “Di mana pun kamu berada, selalu ingat yang menyukai kita itu ada juga yang tak terlihat. Karena itu [men]jaga sikap dan tingkah laku cukup penting,” ujarnya. “Menyenangkan orang itu baik, tapi bukan berarti kita sampai lupa melindungi diri.”
Pertemuan dengan Pak Yogi sebenarnya tidak disengaja. Belitung menjadi saksi sejarahnya. Saat itu saya berada dalam kondisi yang cukup aneh—gelisah tidak jelas, melamun, dan muka pucat tidak biasa. Ali dan Deo, teman-teman saya di Belitung, merasa apa yang terjadi pada saya bukanlah sakit biasa. Saya direkomendasikan untuk bertemu ustad. Singkat cerita, kami pun bertemu Pak Yogi dan dari hasil penglihatannya memang ada yang menyukai saya sampai-sampai masuk ke dalam saya punya tubuh.
Dari beliaulah saya sedikit belajar untuk memaknai perjalanan tidak semata dari hal-hal yang tampak.
Belitung memang bukan cerita pertama. Berulang kali saya merasakan hal yang sama di tempat-tempat yang berbeda. Yang paling sering saya alami adalah ketindihan. Saat tidur, badan saya serasa lumpuh, tak bisa bergerak, padahal pikiran rasanya sudah bangun. Tapi ketindihan ini ada istilah ilmiahnya, yakni kelumpuhan tidur (sleep paralysis), sebuah keadaan ketika otak belum siap untuk mengirimkan sinyal bangun sehingga tubuh masih dalam kondisi setengah tidur-setengah sadar. Biasanya kondisi itu disertai kesulitan untuk bernapas. Rasanya ingin berteriak tapi suara tak bisa keluar dari mulut. Kadang ketindihan dibarengi juga dengan halusinasi melihat hal-hal seram—yang sering diterjemahkan sebagai makhluk halus.
Sensasi ketika merasa ketempelan atau kesurupan beda lagi. Pertama, perasaan saya yang “kena”—tak enak, gelisah, bingung. Selanjutnya badan saya jadi pegal, tak jelas sebabnya. Seterusnya, banyak yang terasa terlewatkan sampai-sampai saya lupa sudah melakukan apa saja hari itu. Pernah mengendarai motor lalu tiba-tiba sudah sampai di tujuan tanpa tahu bagaimana atau jalan apa saja yang sudah kau lewati? Itu sama dengan kesurupan. Hanya saja kesurupannya masih dalam batas ringan.
Sama seperti ketindihan, kesurupan juga ada penjelasannya ilmiahnya. Kondisi ini dipandang sebagai sebuah keadaan patologis, keadaan yang memberi efek negatif atau mengganggu. Dalam istilah psikologi, kesurupan disebut sebagai Dissociative Identity Disorder (DID) atau gangguan identitas disosiatif.
Jadi, ada dua pandangan dalam melihat peristiwa-peristiwa “mistis” tersebut. Ada yang percaya itu adalah gangguan makhluk halus, ada yang melihatnya sebagai sebuah kondisi kejiwaan. Tapi, bagi saya, mau dinilai dari aspek mana pun, pengalaman-pengalaman itu sama-sama bikin kesal.
Sebagai orang yang pernah mengalaminya sendiri—dan sebagai orang yang pernah melihat kejadian itu dialami oleh orang lain—biasanya saya mengacuhkan saja, entah itu ketindihan, kesurupan, atau ketempelan. Tapi, di satu waktu, saya dapat saran dari beberapa teman untuk diam sejenak jika memang perasaan saya sedang tidak tenang, juga membaca istigfar dan ayat-ayat Alquran. Awalnya takut, tapi lama-lama hal itu saya anggap sebagai angin lalu; akhirnya saya sampai pada tahap pasrah. Namun, susah-susah pasrah, tetap saja saya akan ketahuan teman-teman jika sedang mengalami sesuatu, sebab muka dan perasaan saya tak pernah kompak. Biasanya, jika sudah mulai merasa seperti itu saya segera pergi, bisa ke luar daerah itu bahkan ke luar pulau.
Anehnya, walaupun pengalaman-pengalaman itu bagi saya mengerikan, teman-teman saya kelihatannya tidak ada takut-takutnya. Mereka justru merasa itu sebagai semacam sifat alami saya yang akan bikin perjalanan lebih dramatis. “Seru jalan sama kau,” kata mereka. “Kalau kesurupan lucu.”
Ngok!
Saat menulis ini, badan saya terasa seperti sedang memanggul beras 30 kg disertai pikiran gelisah karena sudah sebulan merasa ketempelan dan belum juga ada tanda-tanda usai. Berkat corona, saya tidak boleh ke mana-mana, tak bisa melipir sejenak pergi ke luar pulau untuk melarikan diri.
Sudahlah. Setidaknya, kalau “dia” melihat tulisan ini, saya mau bilang: “Salam kompak, setan!”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.