Pilihan EditorTravelog

Nongkrong di Rimbun Espresso & Brew Bar Padang

Saya dan Abenk, sahabat karib sejak kelas 1 SMP, tak kesulitan menemukan Rimbun Espresso & Brew Bar. Letaknya strategis di kawasan ruko Jalan Kis Mangunsarkoro, tak seberapa jauh dari SMA 10 Padang.

Kafe dua lantai itu tampak ramai malam itu. Beberapa meja yang ditaruh di teras dikelilingi oleh anak-anak muda yang sedang bercengkerama. Begitu pintu saya dorong, suara obrolan menguar bersama hawa sejuk yang dipancarkan pendingin ruangan.

Lantai satu Rimbun Espresso & Brew Bar bernuansa industrial khas kedai kopi. Sebagian besar mebel terbuat dari kayu yang disangga oleh besi-besi warna hitam. Di dindingnya terpajang beberapa artwork, rak kayu, dan sepeda onthel.

rimbun espresso & brew bar

Beranda depan Rimbun Espresso & Brew Bar/Fuji Adriza

Tapi yang paling menarik perhatian adalah sebuah mesin penyangrai kopi yang ditaruh dekat jendela. Di sampingnya, sejajar dinding, beberapa toples transparan mempertontonkan biji-biji kopi yang baru disangrai. Tulisannya: Kerinci. Ruangan ini adalah lokasi steril, bebas dari asap rokok yang berpotensi mengalterasi aroma kopi.

Di balik meja bar, Noverdy Putra alias Verdy, sang manajer, sedang sibuk melayani transaksi. Saya berkenalan dengan Verdy akhir 2014 di Omah Kopi, Jogja, lewat seorang kawan. Kala itu ia baru lulus dari salah satu perguruan tinggi di Bandung. Tak lama setelah itu ia memantapkan hati untuk kembali ke tanah kelahiran, Sumatera Barat, dan mengelola Rimbun Espresso & Brew Bar ini.

Tangannya menari-nari gesit di atas sebuah tablet dan beberapa mesin EDC untuk mencatat pesanan dan mencetak bukti pembayaran. Di sekitarnya beberapa orang barista asyik meracik minuman. Setelah agak sela barulah ia melotot menyadari keberadaan saya. Kami berjabat tangan. Karena sedang ramai, saya langsung saja memesan dua gelas americano dari biji kopi asal Kerinci.

rimbun espresso & brew bar

Mesin “roasting” kopi/Fuji Adriza

Metamorfosis Rumah Kopi Nunos

Karena areal merokok di lantai satu penuh, saya dan Abenk naik ke lantai dua lewat tangga kayu. Ternyata lantai dua tak kalah ramai. Beberapa kelompok anak muda berkumpul sambil berkelakar. Sebagian besar meja itu dipenuhi gelas plastik besar seperti di gerai-gerai kedai kopi internasional.

Sebagai pelengkap nongkrong, Rimbun Espresso & Brew Bar menyediakan puluhan majalah Rolling Stone yang digantung rapi di dinding. Tapi, agak-agaknya anak nongkrong zaman sekarang sudah tak terlalu meminati bacaan fisik seperti majalah—tak satu pun majalah yang lepas dari kaitan.

rimbun espresso & brew bar

Toples berisi biji kopi yang sudah disangrai (roasted bean)/Fuji Adriza

Mungkin zaman memang sudah berubah. Rimbun sendiri mulanya adalah sebuah kafe yang juga sempat jadi primadona di zamannya, yakni Rumah Kopi Nunos. Sekitar 2014 Nunos moksa. Gantinya adalah dua kafe Rimbun, satu di Bukittinggi (sekarang sudah tutup) dan satu lagi, yang muncul belakangan, Rimbun Espresso & Brew Bar Padang.

Sedikit banyak Verdy bertanggung jawab atas perubahan itu. Ia memperkenalkan beberapa hal baru, misalnya pendataan pesanan secara elektronik dan absensi barista dengan fingerprint. Ia juga membuat Rimbun jadi lebih semarak dengan koleksi CD—yang  bisa dibeli—dan buku serta majalah.

Sepuluh menit setelah kami duduk, dua gelas americano datang. Di tatakan disediakan dua kantong kecil gula, yakni gula merah dan gula pasir. Itulah yang menjadi teman kami mengobrol beberapa jam di Rimbun Espresso & Brew Bar.

rimbun espresso & brew bar

Noverdy Putra di balik meja bar/Fuji Adriza

Ruang bagi anak muda Padang

Loteng Rimbun sedang disulap Verdy menjadi semacam ruang diskusi bernama Pagu (secara harfiah pagu berarti loteng dalam bahasa Minang) yang penuh dengan buku dan CD lagu. Beberapa kali sudah ia mengadakan diskusi buku di sana. Peminatnya lumayan. Sayang sekali sekarang sedang vakum.

Itu adalah jawaban dari kegelisahannya terhadap kurangnya ruang bagi anak muda Padang untuk mengekspresikan diri. Sekitar sepuluh tahun di Bandung yang semarak, Verdy sadar betul pentingnya sebuah ruang publik—secara fisik—bagi anak muda. Dari ruang publik itulah muncul ide-ide kreatif dan kolaborasi.

Tak heran nama Rimbun semakin menggaung, bahkan sampai Ibu Kota Jakarta. Tokoh-tokoh tenar pernah muncul di Rimbun. Verdy menyebutkan tiga nama: Budi Rahardjo (akademisi dan blogger), Riri Riza (sutradara), dan Triawan Munaf (Kepala Bekraf). Namun ia mengklaim bahwa Rimbun tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap para pelanggan. Egaliter. Mau terkenal atau tidak mereka akan dilayani dengan sebaik-baiknya.

rimbun espresso & brew bar

Salah satu pojok Rimbun/Fuji Adriza

“Akhir-akhir puasa kemarin kami sampai nambah kursi bakso (kursi plastik),” ia bercerita dengan semangat ketika akhirnya sela dan bisa menghampiri kami. Di pengujung bulan Ramadan, Rimbun mendadak ramai oleh pemuda-pemudi Padang, sebagian besar mahasiswa dari Jawa, yang sedang mudik lebaran.

Verdy tak ragu-ragu menambah kursi plastik. Ia sadar yang dicari dari sebuah kafe lebih dari sekadar kopi itu sendiri—atau ornamen-ornamen kekinian untuk dipotret dan diunggah ke Instagram. Ruanglah yang mereka cari. “Mereka ‘kan sebenarnya cuma mau ketemu teman-temannya,” lanjutnya.

rimbun espresso & brew bar

Nuansa industrial/Fuji Adriza

Beberapa tembakau lintingan mesin tandas selama kami mengobrol. Karena awak Rimbun mesti kembali membuka kedai keesokan pagi jam 8, aktivitas malam ini harus diakhiri. Kami pun berpamitan. Dari Rimbun, saya dan Abenk kembali menelusuri jalanan Kota Padang. Kami lewat Taplau, tempat “gaul” anak muda Padang jauh sebelum Rimbun Espresso & Brew Bar muncul ke permukaan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.


Pemutakhiran terakhir: 24/07/18 17:15

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *