Awalnya, saya berpikir bahwa #dirumahaja pasti akan sangat menyenangkan. Tidak perlu pergi ke sekolah, mengeluarkan tenaga ekstra untuk bermain dengan anak-anak dari pagi hingga siang hari, dan juga tidak perlu lembur ketika harus mempersiapkan materi mengajar atau mendekorasi dan memajang hasil kerajinan tangan anak-anak di display board. Ya, saya adalah seorang guru taman kanak-kanak (TK). Hampir tiga tahun saya menekuni bidang pekerjaan ini.
Nyatanya, ini jauh dari kata menyenangkan. Setelah mendekam di rumah selama hampir tiga bulan, mengajar dengan cara baru ini ternyata lebih melelahkan ketimbang berangkat setiap pagi ke sekolah dan pulang petang hari. Padahal proses belajar menjadi lebih pendek dari biasanya. Saya pun harus berkenalan dengan teknik baru dalam mengajar, berkomunikasi secara daring untuk memberikan materi, hingga menyampaikan materi agar bisa diterima dalam kurun waktu yang terbilang singkat yakni kurang lebih 2-3 jam.
Namun, dalam waktu bersamaan, tantangan ini membuat saya lebih “melek” teknologi, mengingat teman-teman suka mengeluhkan ke-gaptek-an saya.
Hal baru yang juga saya alami adalah ketika harus menyiapkan bahan untuk mengajar. Sebenarnya ini bukan hal yang benar-benar baru. Setiap hari setelah jam sekolah anak-anak berakhir pada pukul 13.00 WIB, saya harus menyiapkan bahan mengajar untuk esok hari. Perbedaannya, sekarang saya menyiapkan semua itu di rumah. Saya harus pergi ke sekolah setidaknya dua minggu sekali untuk mengambil bahan-bahan hingga mencetak beberapa berkas untuk kemudian disiapkan sebagai bungkusan yang akan dibawa pulang oleh orangtua murid. Biasanya saya menghabiskan waktu sekitar 1-2 jam di sekolah untuk mengambil barang-barang.
Tak lupa, saya selalu membuat daftar barang apa saja yang perlu diambil sehingga tidak ada yang terlupa, karena akan sangat merepotkan kalau harus balik lagi. Isi bungkusan tersebut mencakup bermacam aktivitas selama seminggu. Salah satu aktivitas itu adalah membuat kerajinan tangan. Kegiatan ini menyita waktu persiapan paling banyak, namun rasa lelahnya terbayar ketika melihat unggahan hasil karya anak-anak di Instagram. Nah, biasanya saya perlu sekitar 3-4 hari untuk mempersiapkannya, mulai dari menyusun panduan mengerjakan hingga melabeli plastik dengan nama anak-anak. Setelah siap, saya kirim kembali ke sekolah untuk kemudian diambil oleh para orangtua murid.
Di balik keseruan proses baru dalam mengajar, tetap ada kendala yang juga saya rasakan. Tidak banyak, sih. Salah satunya adalah koneksi internet. Ini memang tidak dapat diprediksi. Kadang lancar, namun ada kalanya mandek. Ini biasanya yang bikin saya deg-degan. Pernah satu kali, ketika menyanyikan ‘’Goodbye Song” sebagai penanda bahwa kelas telah berakhir, tiba-tiba koneksi saya terputus. Panik tentu. Namun, untungnya para orang tua murid memaklumi. Untungnya lagi, koneksi terputus ketika pelajaran memang telah usai.
Tantangan selanjutnya adalah anak-anak yang merasa bosan karena tidak bisa bertemu dan bermain bersama teman-temannya secara langsung seperti di sekolah. Ada pula yang ogah-ogahan ketika belajar hingga mangkir berhari-hari tidak mengikuti kelas tapi kemudian muncul lagi. Di sinilah para guru harus memutar otak memikirkan cara supaya anak-anak mau tetap belajar dalam situasi seperti ini.
Hal yang patut diapresiasi selama proses mengajar secara daring adalah peran serta dari orangtua murid.
Sulit rasanya mengajar anak usia 4-5 tahun yang masih belajar membaca. Misalnya saja ketika saya meminta anak membuka halaman 25. Tentu, bila di sekolah, saya bisa dengan mudah mencarikan halaman tersebut untuk mereka. Belajar daring membuat saya tak bisa melakukan itu untuk mereka. Hadirnya orangtua yang terus mendampingi anak dalam proses belajar tentunya sangat berarti bagi para guru. Selain turut memantau perkembangan anak-anaknya, saat pemberian instruksi mereka juga membantu sang anak untuk memahami. Jadi saya tidak perlu mengulang-ulang instruksi. Lumayan, irit suara.
Begitulah pengalaman saya selama mengajar kala pandemi COVID-19. Bersyukur masih diberi kemudahan dalam menjalaninya. Dan, yang terpenting, masih bisa bekerja di saat banyak orang terkena PHK sebagai imbas dari pandemi.
Dengar-dengar, pemerintah Indonesia memiliki rencana untuk memberlakukan skenario “hidup normal,” di mana masyarakat diminta untuk hidup berdampingan dan berdamai dengan COVID-19. Skenario tersebut mengatakan bahwa sekolah akan kembali dibuka pada 15 Juni 2020. Terlepas dari pro dan kontra akan skenario tersebut, saya berharap agar kondisi di Indonesia kian membaik sehingga ketika memang skenario itu dijalankan kita semua bisa merasa aman.
Sesenang apa pun saya saat ini karena tidak perlu ke sekolah, ternyata saya kangen juga dengan ingar-bingar sekolah. Rindu untuk bisa bertemu langsung dengan anak-anak, berdiskusi bersama mereka mengenai hal-hal yang membuat mereka penasaran, meskipun kadang saya juga merasa bingung bagaimana harus menjawabnya karena pertanyaan-pertanyaan itu terlalu absurd.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.