Travelog

Mengenang Perjalanan ke Negeri di Atas Awan

Bertahan untuk selalu di rumah saja selama pandemi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Berbagai kegiatan dialihkan menjadi daring, baik bekerja ataupun bersekolah, tanpa melakukan perjalanan ke luar rumah. Tulisan ini dibuat untuk mengenang kembali nikmatnya melakukan perjalanan dengan bebas tanpa adanya rasa takut dan waswas.

Saat itu akhir Januari 2020. Libur semester di depan mata. Saya dan tiga teman, Ayu, Jodi, dan Shifa, berangan-angan untuk berlibur bersama. Kesepakatan didapat. Dieng lokasi yang akan kami tuju. Bermodal tekad namun juga nekat, kami berangkat satu bulan kemudian. Tanggal 24 Februari pukul 10 pagi kami berangkat mengendarai sepeda motor dari Jogja menuju Wonosobo yang dikenal dengan julukan negeri di atas awan.

Perjalanan terasa menyenangkan. Sepanjang motor kami melaju selalu ada cerita yang mengalir antara saya dan teman saya, Shifa. Kami bergurau dan tertawa sembari memacu kendaraan. Sepanjang jalan Jogja-Magelang, semua masih normal dan terasa aman walaupun sesekali salah ambil jalan dan tersasar. Maklum baru pertama kali. Sampai di Temanggung, semilir angin mulai terasa sejuk dan udara mulai terasa dingin. Kami beranggapan akan segera sampai. Namun Wonosobo rupanya masih menanti di depan.

Memasuki Wonosobo, kami disambut jalan yang berkelok. Kebun teh hijau melambai dengan ramah. Pegunungan di kanan dan kiri berdiri kokoh berselimut kabut tipis bak kapas yang beterbangan. Rintik hujan mulai turun. Alam rasanya benar-benar menyambut kedatangan kami kala itu.

Tanpa membuang waktu kami langsung menuju tempat wisata pertama, yakni padang sabana Dieng. Karena padang sabana ini terletak di kaki gunung, kami segera naik ke atas setelah membayar Rp10.000. Tetesan air hujan menemani pendakian kami. Berbekal air mineral dan payung untuk melindungi diri, kami bergegas. Tepat setelah kami melihat pos pertama, hujan mulai deras. Kami berempat memutuskan untuk berteduh terlebih dahulu, lalu berbincang dan tertawa karena payung yang dibawa Shifa berlogo salah satu partai politik. “Siapa juga yang mau kampanye di gunung,” demikian salah satu celetukan kami, entah dari siapa.

Berfoto bersama di padang sabana Dieng/Jihan Afifah Larasati

Setelah cukup lama berteduh, hujan mulai reda. Kami harus segera mengambil keputusan; melanjutkan perjalanan atau pergi ke penginapan. Jodi lalu bertanya, “Mau lanjut naik apa turun aja?” Dengan lantang saya menjawab, “Naik aja. Paling jaraknya sama kayak dari bawah sampe pos satu.” Oke, sepakat. Kami berempat melanjutkan perjalanan naik. Tapi kami keliru. Perjalanan tidak sedekat yang kami bayangkan.

Jalan menanjak dan berbatu kami hadapi. Setiap ada pos kami berhenti, istirahat sebentar, mengatur napas yang tersengal, dan membasahi kerongkongan. Rasanya perjalanan masih panjang. Padahal saat kami bertemu wisatawan lain, ia bilang, “Deket, kok. Tinggal tiga pos lagi.” Oke. Berbekal keyakinan kami terus berjalan. Hingga tepat sebelum mencapai pos terakhir, hujan turun kembali. Kami berempat berteduh bersama lima wisatawan lain.

Salah seorang dari mereka bertanya dari mana asal kami dan dalam rangka apa mengunjungi tempat ini. Shifa menjawab bahwa kami dari Jogja dan datang karena libur semester. Ia kaget karena ternyata ia juga berkuliah di Jogja. Mulai dari situ kami mengobrol bersama. Bahkan kami ditawari biskuit yang ia bawa untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan. Tak menyangka karena sebuah perjalanan kami bisa mendapatkan teman.

Hujan mulai reda. Satu per satu dari kami mulai turun karena tidak sabar untuk melihat padang sabana hijau yang menyegarkan mata. Setelah berjalan kaki dan berteduh selama kurang lebih satu jam, kami akhirnya sampai. Takjub! Itulah yang saya rasakan saat tiba di padang sabana ini. Semua terlihat asri dan alami—kicauan burung, tetesan embun dari atas pohon yang tertiup angin, serta udara dingin yang menyapu kulit. Sangat tenang berada di sini. Semua penat hilang seketika.

Usai menghirup udara sejuk di padang sabana, kami pergi ke penginapan untuk mandi dan beristirahat sebentar. Tak kuat menahan rasa lapar yang mendera, buru-buru saja kami keluar lagi untuk makan malam. Menu makan malam kami adalah hidangan istimewa kampung alias nasi angkringan! Angkringan yang ada di Dieng sempat membuat saya melongo. Bagaimana tidak? Angkringan ini di mobil pikap, dan tentu saja belum pernah saya temui di tempat lain. Kami makan dengan lahap dan membeli beberapa camilan sebelum kembali ke penginapan.

Malam hari di Dieng terasa dingin karena suhu menyentuh angka 14 derajat Celsius. Berbeda jauh dengan udara Jogja yang cenderung lebih panas. Kami menikmati waktu dengan bercanda, bermain Uno, dan makan mi instan. Pukul 10 malam kami semua sepakat untuk beristirahat karena esok hari kami akan melihat sunrise yang terkenal di Dieng. Kami akan melihat matahari terbit di Bukit Sikunir yang terletak di Desa Sembungan, desa tertinggi di Pulau Jawa.

Demi melihat matahari terbit, kami bahkan berangkat saat ayam jago belum terbangun. Udara pagi itu benar-benar menusuk ke tulang. Bahkan kabut putih masih enggan menyingkir dari jalan.  Setelah berkendara kurang lebih 20 menit kami sampai di Golden Sunrise Sikunir. Wah, rasanya tidak sabar untuk menikmati semburat jingga kala mentari menyapa.

Awan di lembahan Bukit Sikunir/Jihan Afifah Larasati

Sebelum naik ke Bukit Sikunir, kami menyempatkan diri untuk membeli air mineral dan jajanan khas Wonosobo yang bernama tempe kemul! Jalan menanjak lagi-lagi menjadi trek yang harus kami hadapi. Namun tenang, jalur trekking sudah undakan tangga sehingga perjalanan wisatawan cukup dimudahkan.

Saat tiba di atas sudah banyak orang yang menunggu sapaan mentari pagi itu. Segera saja kami mencari lokasi yang nyaman untuk menyaksikan keindahan ini. Perlahan-lahan semburat jingga mulai muncul dari ufuk timur, memancarkan kehangatan bagi siapa pun yang menyambutnya. Melihat itu, saya jadi mengerti kenapa Bukit Sikunir jadi salah satu primadona para penyambut matahari.

Ketika Mampir ke Kawah Sikidang/Jihan Afifah Larasati

Setelah cahaya pagi dan awan putih mulai mendominasi langit, kami mampir ke Kawah Sikidang, salah satu tempat tenar di Dieng, sekadar mengabadikan kenangan dan disambut dengan bau belerang—yang semula saya kira bau telur rebus. Konon pusat kawah ini berpindah tempat setiap empat tahun sekali. Inilah yang jadi salah satu daya tarik Kawah Sikidang.

Perjalanan ke Dieng kala itu benar-benar menyenangkan dan terpatri jelas dalam ingatan. Dieng bercerita tentang pos padang sabana, angkringan mobil pikap, Indomaret tanpa AC, martabak telur tanpa isian daging, serta tempe kemul yang berubah jadi beku saat berada di Puncak Sikunir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Menyukai alunan melodi dan gemar bercerita.

Menyukai alunan melodi dan gemar bercerita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *