Dari semua gunung tinggi di Jawa Tengah, cuma Gunung Lawu yang tak punya teman. Slamet punya Sumbing dan Sindoro, membentuk kelompok “Triple S.” Sementara Merbabu dan Merapi berpasangan sebagai “Double M.”
Barangkali keterpencilannya itu pula yang membuat Lawu kental dibalut nuansa spritual. Di sana-sini tersebar makam keramat dan petilasan. Banyak pula cerita mistis tentang Lawu, yang secara turun temurun disampaikan dan dipercaya begitu saja oleh manusia. Tidak sedikit pula yang menjadikan Lawu sebagai tempat menyepi demi mendapat petunjuk Ilahi.
Petualangan saya pertama kali ke Lawu juga sangat berkesan. Awal 2007, di dekat Sendang Drajat, saya bersama tiga orang kawan duduk menggigil kedinginan selama beberapa jam—hanya berbalut mantel kelelawar—menunggu pagi datang. Padahal di samping kami ada gua yang bisa dijadikan tempat berlindung. Saya bersyukur sekali kami tidak kena hipotermia dan bisa tiba di puncak dengan selamat.
Di ujung stasiun, tampak sebuah kereta pengangkut BBM sedang terparkir. Lokomotifnya sudah dihidupkan dan sesaat lagi kereta itu akan berjalan. Tanpa pikir panjang kami berempat melompat naik ke gerbong kereta minyak itu. Tiga jam kemudian, dari kereta yang bergerak sekitar 20-30 km per jam, kami meloncat turun di Stasiun Lempuyangan—dan keluar stasiun lewat bak sampah.
Jalur pendakian Lawu yang paling mistis
Maka bagi saya Lawu adalah nostalgia. Tanpa ragu, beberapa hari yang lalu saya menerima ajakan senior di organisasi pencinta alam kampus untuk naik Lawu via Candi Cetho, yang disebut-sebut sebagai jalur pendakian Gunung Lawu yang paling mistis. Konon, jalur ini adalah rute pelarian Raja Majapahit yang terakhir, yakni Prabu Brawijaya V, yang kemudian moksa di Gunung Lawu.
Sebelumnya saya pernah lewat jalur ini sekali, tahun 2014. Nanjak di awal musim kemarau, saya dan dua orang kawan mesti rela “diberkahi” sisa-sisa air musim penghujan yang turun dengan marah bersama badai.
Tapi yang bikin pendakian via Cetho menyenangkan adalah jalur ini lebih sepi dibandingkan dua jalur populer lain Gunung Lawu, yaitu Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu. (Pada pendakian 2014, saya dan kawan-kawan tidak bertemu rombongan pendaki lain selama 4 hari 3 malam.) Selain paling mistis, jalur ini memang lebih panjang, yakni sekitar 15 km. Karena mistis dan panjang, orang biasanya berpikir dua kali sebelum naik lewat Cetho.
Pendakian kemarin sama saja. Naik di hari Sabtu, kami hanya berjumpa dengan beberapa rombongan. Saling salip di jalan, lama-lama kami menjadi familiar satu sama lain. Tegur sapa pun lama-lama berubah jadi senyum dan candaan. Enaknya naik lewat jalur yang sepi, kita tidak perlu khawatir kehabisan tempat untuk berkemah.
Jalur Cetho tak banyak berubah sejak 2014
Kali ini saya ke Base Camp Lawu via Cetho naik mobil pribadi bersama kawan-kawan sesama purna dan anggota aktif di organisasi pencinta alam kampus. Dibanding ngeteng, tentu saja naik mobil pribadi lebih menyenangkan (kecuali bagi yang menyetir, barangkali). Saya bisa lebih leluasa menikmati pemandangan Perkebunan Teh Kemuning yang terhampar luas di kaki Gunung Lawu. Waktu ke sana dulu, alih-alih menikmati perjalanan, saya mesti konsentrasi supaya tidak terjengkang dari ojek—Suzuki Bravo—yang terseok-seok kepayahan menaklukkan tanjakan mengerikan menuju candi.
Absen lewat Cetho beberapa tahun, saya lumayan pangling dengan perubahannya. Dulu pos perizinan pendakian digabung dengan loket tiket Candi Cetho. Jadi, sebelum masuk jalur, pendaki bisa berkeliaran dulu di sekitar Candi Cetho. Sekarang mesti melipir dan perizinan diurus di loket khusus pendakian.
Selepas pos retribusi itu, saya dan kawan-kawan mesti melewati setapak beton di luar pagar Candi Cetho. Setelah lewat Candi Kethek, barulah pendakian sebenarnya dimulai.
Jalur Cetho punya lima pos dan interval waktu tempuh antarpos lumayan seragam, antara 1,5-2 jam. Di Pos 1 sampai Pos 4, ada bangunan sederhana yang bisa dijadikan tempat berteduh, sementara Pos 5 cuma berupa lahan terbuka di sebuah lembahan di sabana.
Pos 3 dan 4 lagi-lagi membuat saya pangling. Dulu, karena baru saja dilanda kebakaran, kedua pos itu lumayan terbuka. Tidak ada pepohonan rindang yang menghalangi pemandangan ke arah punggungan di seberang. Sekarang, baik Pos 3 maupun Pos 4 sudah kembali hijau. Sebelum Pos 3 juga sudah ada kran yang bisa digunakan pendaki untuk menambah persediaan air.
Selain itu, Jalur Cetho tidak banyak berubah. Treknya masih asri dan di sana-sini menjulang pohon-pohon tinggi. Menjelang ketinggian 2.900 mdpl, vegetasi mulai berkurang. Pohon-pohon yang hidup di dataran rendah mulai digantikan oleh tumbuhan konifera seperti cemara. Cantigi dan edelweiss juga mulai berjejeran memagari jalur pendakian.
Kemping di padang rumput
Pada pendakian kemarin barulah saya tahu bahwa Cemoro Kembar tempat saya berlindung dari terjangan badai 2014 lalu sekarang sudah single. Terletak di pelana, dari Cemoro Kembar suara badai terdengar stereo, sebab kanan-kirinya adalah lembahan. Untung saja Sabtu kemarin kami memulai perjalanan lebih awal sehingga tak kemalaman dan harus kemping di sana.
Dari Cemoro Kembar,* trek sudah tidak terlalu terjal. Saya dan kawan-kawan hanya perlu melipir punggungan saja di bawah rerimbunan pohon cemara.
Satu-dua anggrek mengintip dari dahan cemara. Matahari sore bersinar elok menimpa rerumputan yang bergoyang ke sana kemari ditiup angin sepoi-sepoi. Tak berapa lama kami tiba di sabana, yang sekarang berupa coklat yang disaput sedikit hijau. Maklum, puncak musim kemarau.
Saya bersama Gawuk terus berjalan menuju Pos 5 yang hanya selemparan batu dari sana, meninggalkan teman-teman yang sibuk mengabadikan momen pertama mereka di sabana Gunung Lawu.
Setiba di Pos 5, Bulak Peperangan, saya langsung mengeluarkan sarung tangan dan bergegas mendirikan tenda bersama kawan-kawan. Senja sudah tiba dan dingin mulai datang. Tak berapa lama, tenda-tenda pun selesai didirikan. Semua masuk untuk menghangatkan badan sembari menunggu makanan disajikan. Sekitar jam 8 malam, saya sempat keluar sebentar dari tenda dan tersenyum-senyum sendiri melihat Bimasakti yang misterius mengambang di angkasa raya.
Tidak seperti pendakian perdana ke Lawu dulu, tenda yang layak dan jaket tebal membuat malam itu saya tidur nyenyak meskipun angin kencang bertiup tanpa henti di luar. Pukul tiga pagi saya bangun, bersiap-siap, lalu berjalan bersama kawan-kawan dalam gelap menuju Hargo Dumilah, Puncak Gunung Lawu.
*) Ralat (12/10/17):
Ternyata apa yang disangka penulis sebagai Cemoro Kembar, bukanlah Cemoro Kembar. Terima kasih atas informasi yang diberikan sedulur Dewangga Kris Winarno, dari Relawan Ceto, di kolom komentar. Setelah kami telusuri dengan mencari kata kunci “pendakian lawu jalur candi cetho 2017,” dari 3 (tiga) catatan pendakian relevan (tahun terbit 2017) yang muncul di halaman pertama hasil pencarian, tidak satu pun yang memasukkan frasa “cemoro kembar” di tulisannya. Sementara ketika kami memasukkan kata kunci “candi cetho tidak lewat cemoro kembar,” muncul 1 (satu) tulisan mengenai pendakian Jalur Cetho tahun 2017 di mana bloggernya menulis: “Setelah beres-beres saya lanjut turun jam 12.20. Jalan santai sambil menikmati pemandangan hutan hahaha. Saya mencoba mencari spot Cemoro Kembar yang berada diantara pos 4 dan 5 tapi tidak ketemu.” Ternyata jalur lama yang curam dan menajak itu, menurut hasil korespondensi dengan sdr. Dewangga, diubah menjadi “agak menjauh dari jurang dan dibuat zig-zag.”
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.
Jalur yang sekarang ngga lewat cemoro kembar bang 🙂
Cemoro kembar masih utuh di jalur lama. Salam dari Cetho
Terima kasih atas penjelasannya, Mas Dewangga.
Akan ditambahkan ralatnya di tulisan. 🙂