EventsNusantarasa

30 Menit di Pameran ‘Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori’

Ketika menjelajahi kawasan Kota Tua Jakarta bersama kawan-kawan Kok Bisa, kami melintasi sebuah spanduk besar bertuliskan Rijsttafel: Cita Rasa Indonesia dalam Memori, tepat di depan Museum Kesejarahan Jakarta atau yang terkenal dengan nama Museum Fatahillah. Pameran ini sejenak mengingatkan saya pada sebuah buku bersampul hijau karangan Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, yang saya dapatkan beberapa hari sebelumnya. Kami semua bersepakat untuk masuk ke dalam untuk melihat pameran yang sedang berlangsung.

Sebelum masuk, saya membaca sedikit gambaran pameran ini melalui tulisan yang tertera di spanduk. “Di atas meja rijsttafel, makan lebih dari sekedar konsumsi, kenyang, dan senang. Rijsttafel adalah ekspresi kultural: perlambanan kegigihan adaptasi, kekayaan rempah yang menguatkan cita rasa lokal, atau bahkan kenang-kenangan tak terlupakan dari tanah Hindia.” Tulisan tersebut memberi gambaran bahwa perpaduan budaya Eropa dan Nusantara di meja makan adalah sesuatu yang perlu dirayakan ketimbang sekedar mengenyangkan.

Spanduk Rijsttafel
Spanduk Rijsttafel yang terpampang di depan Museum Sejarah Jakarta/Mauren Fitri

Masuk ke dalam museum, kami melihat tatanan apik narasi-narasi yang merajut kisah dari sebuah rijsttafel. Narasi pertama berjudul “Memori Bangsa dalam Sejarah” yang merupakan ajakan menelusuri masa lalu melalui makanan dan menyatakan salah satu maksud dari pameran ini adalah menyemarakkan Hari Museum Indonesia di tahun 2022. 

Tata pamernya menjelaskan bagaimana pameran disajikan: bak buku menu  kala berada di restoran masa kolonial yang diapit oleh mangkuk porselen berwarna biru. Tak cuma menyoal narasi panjang, kita juga diperlihatkan langsung bagaimana tatanan meja makan serta kursi yang mengelilinginya. Dekorasi meja makan ala kolonial itu sukses membuat saya berandai-andai jadi pelancong Eropa abad ke-19 yang dijamu dengan sajian rijsttafel

Ong Hok Ham dalam Hindia yang dibekukan: ‘Mooi Indie’ dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial, menuliskan bahwa mengkonsumsi makanan dengan beragam lauk dan sayuran tidaklah umum bagi orang Belanda kalangan biasa, umumnya hidangan dengan banyak lauk dan sayur disajikan kepada bangsawan atau pejabat. Rijsttafel pun sebelum disajikan secara umum, adalah sajian rumah tangga yang biasa dihidangkan di hari Minggu (Soekiman, 2011). Barulah, pada 1870-an rijsttafel disajikan di hotel untuk pertama kali, khususnya hotel yang dikelola oleh keluarga (Sunjayadi, 2019).

Apa komentar para pelancong Eropa yang kala itu menyicipi rijsttafel di Hindia Belanda?  Salah satu  nukilan dari William Basil Worsfold dari Inggris yang telah diterjemahkan Sunjayadi ke dalam bahasa Indonesia, “Gaya memasak di Hindia Belanda berbeda dengan di India Inggris, dan memiliki satu kekhasan—sajian meja, nasi, yang nanti dijelaskan; dan tentu saja ada perbedaan kecil, tergantung pada kondisi tempat dan masyarakat.”

Augusta de Wit dari Belanda yang menyicipi sambal pertama kalinya di hidangan rijsttafel menyatakan rasa pedas yang ia dapat sebagai rasa terbakar yang tak tertahankan di bibir dan kerongkongan. Sedangkan Emily Richings menyebut hidangan ini sebagai “teror” dan hidangan melimpah yang membingungkan (Sunjayadi, 2019).

  • Alur Pameran
  • Rijstaffel
  • lukisan
  • Meja rijsttafel

Saya berkeliling sembari membaca urutan narasi satu per satu. Yang menarik mata saya untuk terpaku lebih lama adalah busana yang dikenakan para pelayan untuk menjamu tamu yang akan menikmati rijsttafel. Ada dua buah baju ala Eropa berwarna putih dan dua helai kain batik yang juga berwarna putih yang dipajang, beserta foto-foto gedung dan sajian yang tertata di meja makan. Pada penjelasannya tertulis juga bahwa pelayan harus berdiri berjajar dan harus siap dalam menyajikan makanan, atau apapun kebutuhan para penyantapnya. Mereka umumnya berasal dari kuli di perkebunan sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemudian dilatih sebagai pelayan.

Ada juga tenong: perkakas tradisional sejenis bakul yang terbuat dari anyaman bambu, berbentuk bulat, memiliki penutup, dan biasa digunakan sebagai tempat mengangkut kue basah. Saya memotret tenong yang teronggok di atas meja dari berbagai sudut. Untuk tutupnya, mengingatkan saya akan bentuk topi caping, yang hiasan tutupnya mirip topi vampir ala film Hongkong.

Pada sebuah panel, ada sorotan mengenai rijsttafel yang mulai memudar seiring masuknya masa penjajahan Jepang dan kemerdekaan. Ada anggapan bahwa rijsttafel adalah warisan budaya penjajah, namun konsep ini sejatinya masih melekat hingga kini di restoran-restoran Padang, dan juga salah satunya di Restoran Tugu Kunstkring Paleis, yang masih menyajikan makanan rijsttafel ala Betawi. 

Busana Pelayan Rijsttafel
Seperti inilah busana para pelayan rijsttafel di masa lalu/Mauren Fitri

Kilau cahaya lampu membuat saya sedikit pusing membaca teks-teks yang berseliweran di depan mata. Meskipun ruangannya tidak terlalu besar, tapi atmosfer rijsttafel berhasil dihadirkan dalam bentuk yang sederhana, narasi-narasi yang panjang memang mendeskripsikan dengan detail keterangan rijsttafel dan perjalanannya di Nusantara. Namun sayang, teks-teks yang ditampilkan terlalu text book sehingga ada beberapa narasi yang rasanya terlalu berat karena panjang. Ada kode QR yang tersedia yang bisa dipindai apabila kita menginginkan informasi lanjutan.

“Ayo lanjut ke museum!” ajak Faqih yang sudah menunggu di luar saat saya asyik menikmati sajian rijsttafel  dalam tenda berwarna putih di tengah-tengah Museum Fatahilah siang itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Resep Tetangga dan Dapur Tara