Jauh sebelum beras masuk dan menjelma menjadi makanan pokok; jagung, sorgum dan kacang hijau adalah sumber pangan utama untuk memenuhi tenaga orang Sabu sehari-hari. Selain makanan pokok, orang Sabu juga punya minuman pokok yakni air gula dan tuak dari lontar. “Kalau minum air gula, itu bisa seharian kerja mereka [orang-orang dulu],” terang Abed Rabe, sepupu Kaleb Piga. Kami duduk di ruang tengah rumah Kaleb Piga, diterpa angin sepoi dari lubang besar tanpa daun pintu.
Abed juga menjelaskan kalau hasil panen bagus pun, orang-orang dahulu kadang cuma makan saat siang hari, dan tentunya tidak setiap hari. “Jadi mungkin sekarang saja yang sudah maju, ada beras masuk dari Makassar, Kupang, dan Sumba. Makanya beralih dari situ,” ujar Abed. Berdasarkan pengalaman Abed dan Kaleb Piga, mereka masih sempat menikmati masa dikala komoditas tersebut masih menjadi tuan rumah di Sabu.
Sekarang, makanan pokok mereka telah berubah sepenuhnya menjadi beras yang dipasok dari luar Pulau Sabu. Tanpa suplai dari kedua daerah tersebut, pasokan beras Sabu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di pulau ini, sawah hanya terdapat di beberapa daerah timur Pulau Sabu.
Saat beras belum mendominasi, transportasi laut dari dan ke Pulau Sabu masih mengandalkan perahu layar. Pusat Pulau Sabu pun ada di Lobohede, bukan di Seba. “Kompasnya hanya bulan dan bintang,” tambah Abed menjelaskan lebih lanjut mengenai keadaan zaman dulu. Perahu motor masuk pada 1997 dan menggasak perahu layar untuk tidak leluasa mengarungi lautan dan pusat keramaian pun mulai beralih ke Seba, daerah sebelah timur Pulau Sabu.
Kini beras pun sudah umum diperjual belikan, tapi yang unik dari Sabu adalah bagaimana pembelian beras tidak dihitung per kilogram, melainkan per karung. “Kita tidak pernah beli kilo, katong beli karung saja. Jadi kalau waktu hujan itu, bulan 12, kita sudah beli beras 3-4 karung,” cerita Kaleb Piga.
Ada sebuah cerita lucu bagaimana orang Jawa yang baru tiba di Pulau Sabu kebingungan untuk membeli beras dengan takaran per kilo di pasar. Dia berkeliling ke seluruh penjuru Sabu dan tidak menemukan ada orang di Sabu yang menjual beras per kilo. Akhirnya orang itu bertemu Kaleb Piga.
“Dia ketemu saya dan perkenalkan diri, dia juga tanya di mana ada beli beras per kilo, dia juga tanya di mana bisa beli minyak goreng per liter.” Hitung-hitungan kilo dan liter tidak berlaku di Sabu. Begitu pun ketika membeli beras dan minyak goreng, yang tersedia di kios-kios hanya per karung dan per jerigen. Gula sabu yang kami beli pun begitu, semua dihitung dengan jerigen.
Perihal kacang hijau, saya sudah mencoba bagaimana nasi yang dicampur dengan kacang hijau. Dibandingkan dengan nasi jagung, nasi kacang hijau terasa lebih gurih karena kacang hijau yang bercampur menjadi pecah, tapi bulir-bulirnya yang tidak pecah cukup membuat masalah ketika mengunyah. Yang lebih tradisional, kacang hijau mentah dimakan dengan gula, kemudian diselingi air lontar. Bukankah kacang hijau saja terlalu keras untuk digigit? Faktanya orang-orang Sabu menyukai makanan yang sedikit keras, dan berpengaruh pada gigi mereka yang mempunyai struktur yang kuat.
Masyarakat memulai bulan tanam pada Desember, bersamaan dengan musim hujan yang membuat tanah siap untuk ditanami. Kalau diselingi hujan yang cukup intens, dalam waktu empat bulan tanaman sudah bisa dipanen. Sebaliknya, bila hujan tak kunjung datang maka bulan tanam akan mengalami pergeseran, begitu pun bulan panen.
“Kalender kita bisa berjalan lain dengan kalender Masehi, tergantung dari putaran bulan.”
Ketika masa tanam sudah dimulai, pemuka adat—dalam Desa Lobohede ini Bapak tua Kale Lele—akan berkeliling. Segala bentuk keributan di malam hari tidak lagi ditolerir seperti sebelum masa tanam. Meskipun dominannya di sini adalah agama Kristen, budaya Jingitiu lah yang tetap menjadi pegangan orang-orang sekampung untuk ritual adat.
Bagaimana jika ada yang melanggar aturan adat? Sebenarnya tidak ada denda adat khusus yang diberlakukan, tetapi alam akan menjawab segalanya. Pernah suatu ketika ada yang melanggar dengan menanam sesuatu mendahului waktu yang disepakati. Konon hasil panen yang didapat selalu mendapat gangguan atau tidak bagus. Mau tidak mau atau suka tidak suka, apapun latar belakang kepercayaannya akan tetap mengikuti tatanan adat yang telah berlaku.
Aturan lainnya: ketika menanam tumbuhan berbulir seperti jagung dan kacang hijau, pantangan bagi yang menanamnya untuk memakan buah lontar dan meminum airnya. Konon, jika hal tersebut tetap dilakukan, dapat mengundang hewan-hewan pengganggu tanaman seperti ulat dan burung untuk menggagalkan panen yang sudah di depan mata. Percaya atau tidak, kejadian ini sungguh terjadi—setidaknya menurut Kaleb Piga.
Kami menyusuri jalan setapak yang melintasi perkebunan kelapa dan lontar, melintasi jalan aspal, kemudian masuk lagi ke jalan setapak yang sudah mendekati pesisir. Sepanjang sore, orang-orang berkumpul di pantai, dengan sekat-sekat dari tali plastik yang mengkotak-kotakan pantai. Rupanya, orang-orang sedang sibuk untuk menaruh bibit rumput laut. Laut yang mulai surut telah menumpah ruahkan anak-anak untuk membantu orang tua mereka merangkai bibit rumput laut di tali plastik yang panjang. Ada dua jenis rumput laut yang saya lihat, berwarna hijau dan berwarna coklat. Seorang ibu berkaos lengan panjang yang berwarna hitam merah dan mengenakan topi, tampak serius mengikat bibit-bibit rumput laut yang akan direntangkan setelah semua selesai. “Bibit rumput laut sekarang kurang bagus,” ungkap Kaleb Piga, menerjemahkan pembicaraan seorang kakek yang kami temui, sedang memukul patok untuk mengaitkan tali batas ladang.Entah kenapa bibit yang didapat dari Sabu Timur ini dibilang kurang bagus.
Gubuk-gubuk sederhana yang berdiri di sepanjang tepi pantai ini menjadi gudang penyimpanan rumput laut sekaligus tempat bersantai kala panas menerjang. Anak-anak berumur sekitar tiga tahun, sibuk bermain kejar-kejaran, melihat ke arah kami dengan tatapan menelisik, yang mungkin merasa asing sekaligus merasa senang di saat bersamaan dengan kehadiran orang baru di tengah mereka. Di tepi laut yang langsung menghadap Australia ini, semua sedang sibuk mencari cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk dari untaian rumput laut yang menjelma doa mereka agar besok dan seterusnya, perut mereka selalu terisi.
***
Bapak tua adat, ketika berperan sebagai manusia biasa, sehari-harinya bekerja mencari ikan dan gurita, juga membuat gula sabu dari air lontar. Setiap paginya, Kale Lele menyiapkan gula sabu yang diambil dari air lontar yang dimasak selama tiga jam. Halena, anak keempat dari Kale Lele mengatakan setiap harinya gula cair yang sudah jadi akan dijual ke pasar, atau ada yang mengambil ke rumahnya. Sebagian lainnya disimpan untuk dipakai sendiri.
Bagian yang diambil dari pohon lontar adalah kali banni dan kali mone, sejenis batang yang nanti akan dikupas untuk diambil cairannya langsung dari pohon. Saya membayangkan bapak tua memanjat pohon lontar yang tinggi dengan dariwake (wadah khas Sabu untuk menampung air lontar) yang mengikat di pinggang. Satu pohon bisa menghasilkan sekitar dua jerigen ukuran lima liter. Du’e yang didapat itulah yang menjadi cikal bakal gula sabu.
Kale Lele sedang menumbuk sirih pinang dan diganggu oleh cucunya yang mendekap erat tangannya yang masih kekar. Giginya yang sudah kurang kuat harus dibantu alat besi untuk menumbuk sirih dan pinang yang keras, yang kalau dikunyah bisa merontokkan giginya seketika.
Kaki kurus itu dengan cekatan mengambil kuda-kuda. Pohon setinggi 10 meter itu dipanjat hanya dalam waktu hitungan detik. Sarung tenun Samarinda berwarna hijau dengan aksen kotak-kotak tidak pernah terpisah dari pahanya, ikut bergelayut terbawa angin dan tenaga yang datang dari kakinya.
Ajo rima leba lara ubu lara meha
Do’anga mata mara dahi tu ya do kehi’a ajo dara damu keri mata
Gel’a djami ina moi dila
Mami moko nga’a mate namone
Do ja’u ru jara.
Robe ngakebe’e hilo nga do mangngu lai
Jaga wada ripi mangu doke hiji howo.
Syair-syair terus berkumandang dari mulutnya di ketinggian, tercampur dengan melodi yang dimainkan angin yang terbawa dari pantai. Apa gerangan yang dipikirkan oleh leluhur orang Sabu hingga bisa mewariskan syair indah ini sebagai kebiasaan?
Kaleb Piga kemudian memberitahu saya bahwa dulu orang-orang yang naik pohon lontar, bersama-sama menyanyi dari atas, hingga menimbulkan keramaian di Sabu yang sepi.
Lontar adalah pohon kehidupan Sabu. Sabu adalah pulau sejuta lontar. Gula sabu sudah dikenalkan kepada orang-orang Sabu sejak mereka keluar dari rahim ibunya. Lontar memberikan daun, buah, air, gula, hingga kayu bakar untuk orang-orang Sabu. Dari lontar juga, kebudayaan Sabu berkembang. Daun menjadi atap, buah menjadi makanan, air menjadi arak dan gula, kayu menjadi bahan bakar untuk dapur tetap mengepul.
***
Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.
Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.