Sejak tahun 2016, saat Pemerintah Provinsi Jawa Barat membidik kopi sebagai salah satu produk unggulan untuk mendulang devisa, bisnis kopi baik olahan maupun seduh bergeliat di Jabar. Pemprov Jabar bahkan secara rutin menggelar event promosi bertajuk Ngopi Saraosna (Ngopi se-Sedapnya).
Sampai sebelum COVID-19 merebak, kedai kopi di semua kalangan tumbuh berkembang. Kalau tidak ngopi, rasanya tidak ikut tren, karena Pemprov Jabar memang mendorong tidak hanya di hilir, namun juga di hulu, dengan menggelar penanaman pohon kopi di lahan lahan kritis dan lahan pertanian yang tanahnya sesuai dengan tanaman kopi.
Nyatanya sejak 2016 wisatawan luar daerah, bila ke Bandung selalu mencari kopi, karena variannya sudah sangat beragam, sehingga mengundang penasaran para wisatawan untuk sekedar ngopi sambil nongkrong di Kota Kembang ini.
Hanya saja, semenjak masa pandemic COVID-19, kondisi 2016 tidak terlihat lagi. Terlebih, sejak April sampai Juli diberlakukan PSBB. Kondisi yang “memaksa” warga di rumah, dan dibatasinya kegiatan di ruang publik, membuat kedai kopi dan kafé terpaksa harus tutup sementara waktu. Begitupun saat pertengahan Juli, sektor ekonomi mulai dibuka kondisi tidak bisa langsung Kembali seperti saat “normal” karena warga masih tidak boleh berkerumun, sehingga restoran dan kafé hanya boleh diisi setengah dari kapasitas penuhnya.
Di pertengahan masa pandemic COVID-19, saya sempat mewawancara Ekonom Universitas Pasundan, Bandung, Acuviarta Kartabi, soal kemungkinan pulihnya ekonomi secara perlahan. Acu mengatakan di masa krisis ekonomi ini, diperkirakan UMKM masih dapat tumbuh membantu pergerakan ekonomi nasional karena roda ekonominya masih ada dan konsumen UMKM masih memiliki daya beli yang cukup. Hanya saja Acu memberi catatan, agar UMKM dapat bertahan, karena pandemi COVID-19 yang masih belum bisa dipastikan berakhirnya, maka pemerintah harus memberikan dorongan penuh agar UMKM bisa terus berjalan.
Apa yang disampaikan Acu, memang terlihat. Kedai-kedai kopi kecil khas UMKM memang masih bertahan, kontras dengan kafé besar yang mengalami pasang surut dan terlihat sudah ada beberapa yang harus tutup sementara. Haris Komeng, seorang konsultan kafé bahkan mengatakan perlu waktu untuk menumbuhkan Kembali kafé besar pada saat ini. Itu sebabnya Haris banyak bergerak di Jakarta, tempat roda ekonomi mulai terlihat bergeliat, meski PSBB Transisi masih diterapkan.
Di Bandung, meski jam buka restoran dan kafé serta pusat perbelanjaan masih dibatasi, begitu pula dengan kapasitasnya, namun bisnis kopi nampaknya masih memiliki peluang. Namun, ada sejumlah catatan yang perlu diperhatikan. Harga menjadi hal pertama yang perlu diperhatikan. Bila Haris Komeng melihat sulitnya untuk Kembali berdiri untuk kafé-kafé besar, maka dengan mematok harga di bawah kafé tersebut, masih dimungkinkan meraup keuntungan. Setidaknya ini yang saya perhatikan pada seminggu terakhir menyambangi kedai-kedai kopi yang tarifnya di bawah Rp20.000, ternyata animo masyarakat masih cukup tinggi.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tempat yang nyaman. Meski UMKM, bukan berarti cukup dengan kondisi yang seadanya. Meski tidak mewah, namun situasi yang nyaman dan membuat betah, akan menjadi magnet pengunjung. Di sepanjang Jl.Warung Contong Cimahi sampai Jl.Penembakan Utara Cimahi, kedai-kedai kopi dengan beragam variannya tumbuh cukup ramai. Seiring dengan dibangunnya Fly Over Padasuka, yang menghubungkan Jl.Penembakan Utara dengan Jl.Padasuka Kota Cimahi, maka peluang tumbuhnya ekonomi semakin terlihat.
Mereka yang melintas di jalan tersebut adalah mereka yang akan Kembali ke Padalarang dan sekitarnya, yang bisa melintas di jalan utama Bandung Padalarang. Mereka sering terlihat mampir di sejumlah kedai kopi di daerah itu, sambil menunggu volume kendaraan menurun, agar lebih nyaman berkendara Kembali ke Padalarang. Di pinggiran kota lainnya, seperti di Jl. Cihanjuang arah Parongpong, Jl. Kolonel Masturi Cimahi arah Cisarua pun kedai-kedai kopi UMKM sampai saat ini masih mampu bertahan.
Walaupun masa pandemi COVID-19 ini masih membuat ekonomi fluktuatif, setidaknya peluang bisnis kopi masih memiliki harapan karena budaya minum kopi di negeri kita sudah mengakar. Kalaupun pengunjung tidak datang langsung ke kedai, jasa ojek online dengan fasilitas membelikan dan mengantar pada konsumen masih menyimpan harapan akan tumbuhnya bisnis ini.
Bisnis kopi tidak hanya berhenti di kedai, berkebun dengan tanaman kopi ternyata memiliki peluang pula untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Dengan dukungan sejumlah desa wisata di Kabupaten Bandung, petani kopi menjadi salah tulang punggung agar desa wisata di sana dikenali. Petani kopi di Desa Rawabogo dan Desa Gambung Ciwidey, Kabupaten Bandung, bahkan sudah memiliki pembeli tetap, baik kafé, restoran, maupun produsen kopi yang cukup besar.
Apapun yang terjadi, meski pandemi COVID-19 masih berlangsung dan belum tahu kapan akan berakhir, berjuang tidak boleh surut. Setidaknya membangun usaha melalui kopi selain survival di saat sejumlah pekerja di PHK dan sejumlah orang sulit mencari kerja, juga sebagai bagian membuat ekonomi di lingkungan Anda tetap tumbuh. Bila semua berfikir ke sana, bisa jadi Analisa UMKM bisa membantu ekonomi nasional di masa krisi ini, kan terwujud.