Solor adalah pulau kecil yang terdiri dari tiga kecamatan, yakni Kecamatan Solor Barat, Solor Selatan, dan Solor Timur. Kampung Edy berada di Desa Labelen (Gorang), Solor Timur, bersebelahan dengan Kampung Lamakera.
Karena kampung itu terletak di pesisir, wajar saja kalau sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan. Solor sendiri bisa dikatakan sebagai pemasok terbesar hasil laut Kabupaten Flores Timur.
Namun, jadi nelayan di Solor punya tantangan tersendiri. Alih-alih dekat pantai, fishing ground mereka berada bermil-mil jauhnya sehingga perlu keberanian ekstra untuk menjalani profesi nelayan.
Edy Topan, pemuda asal Solor berusia 25 tahun, sedikit berbeda. Bukannya mencari ikan, di laut ia malah menyelam. Beberapa waktu yang lalu, mewakili Misool Baseftin, ia menemani saya melihat bawah laut Dusun Mekko, Flores Timur, yang dikenal sebagai nursery hiu.
Sayang sekali karena Edy dan kawan-kawannya harus kembali hari itu juga ke Larantuka kami tak sempat mengobrol saat di Mekko. Namun kami sepakat untuk bertemu lagi di markas Misool Baseftin yang letaknya tak jauh dari pelabuhan penyeberangan Larantuka-Adonara.
Beberapa hari kemudian, diantar oleh Bang Ayom, kami menyusuri jalanan Larantuka untuk ke Misool Baseftin. Di sana Edy sudah menunggu. Jabat hangat dan akrabnya membuat saya tak canggung untuk berbincang sembari menunggu jadwal keberangkatan pesawat menuju Kupang.
Diver pertama Solor
Dari obrolan singkat itu, saya jadi tahu bahwa laut bukan hal baru bagi Edy. Ayahnya adalah seorang nelayan yang jauh-jauh mengarungi lautan dari Buton, Sulawesi Tenggara, ke Solor untuk mengubah nasib.
Selepas SMA, sulung dari lima bersaudara itu menempuh pendidikan tinggi di Jurusan Budidaya Perikanan, Program di Luar Domisili (PDD) Politeknik Pertanian Negeri Kupang di Ende.
Ketika kuliah itulah Edy mengambil sebuah keputusan yang nantinya akan menentukan jalan hidupnya: ikut program magang tiga bulan di Yayasan Misool Baseftin.
Yayasan Misool Baseftin merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi laut dan pemberdayaan masyarakat nelayan. Mereka berkolaborasi secara langsung dengan pemerintah setempat lewat Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Flores Timur.
Edy ditempatkan pada Tim Survei Megafauna dan Pendampingan Masyarakat Nelayan di Bagian Pengolahan Hasil Tangkapan Nelayan. Tugas itu tentu saja membuatnya mesti belajar selam.
Selepas magang, ia meneruskan kuliah sampai lulus. Begitu mengantongi ijazah, ia pun kembali ke Misool Baseftin untuk menjadi asisten peneliti. Tak lupa ia terus mengembangkan kemampuan scuba diving sampai akhirnya memperoleh lisensi selam di Labuan Bajo—dan, barangkali, menjadi putra Solor pertama yang mengantongi lisensi selam.
Sepulang dari Labuan Bajo, Edy mulai menyadari bahwa kondisi laut di Flores berpotensi untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata selam. Namun menurutnya masyarakat setempat belum menyadari potensi itu.
Sampai sekarang sudah sekitar 1,5 tahun Edy Topan menekuni scuba diving. Selama itu pula ia menjelajah lokasi-lokasi penyelaman di sekitar Nusa Bunga. Hampir seluruh titik penyelaman di Flores Timur—sampai Lembata—sudah pernah disambangi olehnya.
“Potensi di Flores Timur dari laut itu sangat tinggi”
Bagi Edy Topan, menyelam lebih dari sekadar rekreasi. Saat ngobrol-ngobrol dengannya, dengan yakin ia menceritakan alasannya untuk terus menekuni diving.
“Saya memilih untuk belajar diving disamping karena kesukaan saya dengan dunia bawah laut juga untuk memberikan pemahaman ke masyarakat untuk kehidupan yang berkelanjutan dari kehidupan laut,” tutur Edy.
“Potensi di Flores Timur dari laut itu sangat tinggi … dapat menunjang perekonomian masyarakat sampai … anak cucu jika itu memang benar-benar dijaga dan dilestarikan terus… jika kita tetap dengan cara seperti ini tidak akan mustahil besok atau lusa sudah habis dan itu hilang,” lanjutnya bersemangat.
Namun, upaya untuk menanamkan pemahaman itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tak jarang Edy dan Misool Baseftin mesti menghadapi resistensi penduduk setempat.
Mengubah pola hidup yang selama ini dijalani memang tidak mudah, misalnya mengubah kebiasaan menggunakan bom atau menangkap megafauna demi kebutuhan ekonomi.
Tapi ternyata tak cuma itu. Edy bercerita ia pernah kesulitan ketika membawa tamu dari luar negeri ke kampungnya. Kedatangan orang asing masih dianggap warga setempat sebagai hal yang bisa mengubah budaya lokal.
Diving sendiri sebenarnya memang belum begitu populer di kalangan penduduk lokal Flores Timur. Edy bercerita bahwa banyak teman sekolahnya dahulu yang kaget mengetahui sekarang ia menjadi seorang diver. Bagi mereka diving itu sangat mahal, tak terjangkau.
Tapi Edy berharap bukan hanya dia yang bisa menikmati keindahan bahwa laut Flores Timur. “Harapan saya untuk anak muda asal Gorang [adalah agar] jangan pernah sia-siakan kesempatan hidup … untuk traveling di alam laut milik kita [sendiri].”
Perjalanan ke Dusun Mekko, Flores Timur, ini dilakukan bersama @wwf_id dalam rangka Peresmian Pusat Informasi Wisata Mekko oleh Kelompok Bangkit Muda Mudi Mekko.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.
Mantap ka’ ed
Salam Manta