Ayam sebagai penanda pagi sudah membunyikan alarmnya. Pagi ini cukup sepi. Saya bahkan bisa mendengar denting piring dari rumah sebelah—sepertinya mereka sedang menyiapkan sarapan.
Ini hari ketiga saya di Mekko, sebuah dusun kecil di Desa Pledo, Flores Timur. Beberapa hari di sini, saya cukup semangat untuk menikmati matahari terbit di Jembatan Tambat Perahu tak jauh dari rumah tempat saya menginap. Memandang matahari terbit (bulang kalau kata orang Bajo) di balik Ile Ape (ile artinya gunung) barangkali memang takkan pernah membosankan. Tapi pagi ini saya ingin bermalas-malasan di kasur.
Tangan ini mulai meraba-raba di kasur mencari ponsel. Bukan untuk membuka media sosial atau mengecek email karena saya sudah mulai terbiasa dengan ketiadaan sinyal di dusun ini. Dunia luar yang penuh informasi, rasa-rasanya sudah cukup. Gawai itu saya gunakan untuk mencatat atau membaca eBook yang sudah lama tersimpan.
Nasi kuah kopi
Sunarto, anak laki-laki Bang Jabbar yang berumur 10 tahun, memanggil saya untuk ke dapur. Selama di Mekko, saya menginap di rumah keluarga Bang Jabbar. Di dapur ternyata semuanya sudah kumpul. Mereka bangun lebih pagi dari saya.
Dekat jendela dapur pukat sedang digantung. “Ini pukat mau kita perbaiki biar bisa digunakan lagi,” Bang Jabbar menjelaskan.
Pukat berbahan nilon itu memang rentan rusak akibat hiu. Karena pukat ini memang hanya untuk ikan-ikan konsumsi yang tidak terlalu besar mudah saja bagi hiu untuk merusaknya. Namun memperbaiki pukat tampaknya memang perlu kesabaran.
Saya melihat pukat itu dengan saksama sembari menunggu kopi. Merajut pukat ibarat menenun. Polanya tidak boleh salah, sebab itulah perajutnya harus sabar. Bahkan ada ungkapan lokal yang berbunyi begini: “Orang yang memperbaiki pukat itu ibarat orang yang sedang cemburu dan tak mau keluar rumah.” Untungnya Bang Jabbar masih punya pukat lain untuk dipakai melaut nanti.
Sekarang saya mengerti kenapa orang Bajo sering dianggap lebih suka menyendiri daripada berkelompok. Waktu mereka memang habis untuk bertahan hidup, entah melaut, menjual hasil tangkapan, belum lagi jika pukat jaring rusak, sementara untuk memperbaikinya perlu waktu yang tak sebentar dan kesabaran yang tidak sedikit.
Kopi sudah di meja. Selain itu ada juga nasi putih sisa semalam. Saya dan Bang Jabbar mengobrolkan rencana siang ini untuk menyebar pukat di laut. Namun obrolan kami terhenti saat saya melihat Bang Jabbar menuangkan kopi ke nasi putih.
“Bang, itu nasi dikasih kuah kopi?”
“Iya. Memang di sini sudah biasa. Jika tak ada lauk yang dimakan, kopilah yang kami tuang. Biar ada rasa sedikit nasinya,” Bang Jabbar menjawab, seperti heran melihat reaksi saya.
Saya coba menelaahnya: nasi kuah kopi. “Kuliner khas nih bang!” ucap saya. Seisi dapur tertawa.
Menyebar pukat di perairan Mekko
Barangkali gambaran betapa teriknya siang ini adalah begini: taruh telur di atas batu, ketika diambil kembali akan jadi telur setengah matang. Panas itu bersama-sama dengan angin yang meniupkan debu membuat saya memilih bermalas-malasan saja di teras rumah.
Konon dahulunya Mekko adalah sebuah pasar, lokasi bertemunya orang Bajo dengan orang gunung atau daratan. Bisa ditebak, orang Bajo dan orang gunung kawin-mawin sehingga kedua budaya bercampur. Namun meskipun begitu masyarakat Mekko kontemporer tetap bergantung pada laut.
Tak hanya memancing, mereka juga menjaring ikan dengan pukat bahkan bom ikan. Apa pun akan mereka tangkap asal punya nilai jual.
Dahulu, sebelum dilarang, mereka bisa menjual berpuluh-puluh hiu tiap harinya. (Pesisir timur Pulau Adonara ini memang terkenal sebagai nursery hiu.) Namun saat ini sudah tidak. Mereka beralih menjadi nelayan ikan dan bergabung membentuk Kelompok Pariwisata Berbasis Masyarakat “Bangkit Muda-Mudi Mekko.” Sehingga jika ada wisatawan yang datang mereka bisa mendapat penghasilan tambahan sebagai pemandu atau juru mudi kapal.
Selepas zuhur barulah kami melaut. Saat air sedang surut beginilah waktu yang tepat untuk menyebar pukat. Kami tidak sendiri, ada beberapa nelayan lain juga yang berangkat ke laut mendayung sampannya.
Sampan kami berisi tiga orang, yakni Bang Jabbar, Sunarto, dan saya. Tak sampai 10 menit kami tiba di perairan Pulau Keroko. Pulau tak berpenghuni ini adalah salah satu lokasi tempat masyarakat Mekko mencari ikan. Jernihnya air laut ditambah teriknya matahari membuat karang dan ikan di laut kelihatan jelas dari permukaan.
Pukat sepanjang hampir 30 meter dengan lebar satu meter mulai diturunkan pelan-pelan. Tak boleh kusut, agar nanti banyak ikan yang tersangkut. Saya pikir kami akan menunggu pukat itu di laut. Ternyata, kata Bang Jabbar, nanti malam pukat itu baru diambil. “Bisa gosong kita di laut (kalau pukatnya ditunggu),” selorohnya.
Perlu waktu 40 menit untuk mengambil pukat
Sehabis magrib, dengan senter di kepala, kami kembali lagi menuju laut. Flores adalah tempat paling menggiurkan untuk melihat bintang di malam hari. Taburan bintang yang acak tak ubahnya seperti lampu kota dari kejauhan.
Tapi ada sesuatu yang lain, yang jarang saya lihat di tempat-tempat lain, yakni bulan terbit. Saya berada di Mekko pada saat yang tepat. Purnama. Sensasi melihat bulan terbit tak ubahnya seperti sensasi menyaksikan matahari terbit. Tapi, tak seperti mentari yang membawa siang, bulan mengantarkan malam pada dunia.
Akhirnya sampan kami tiba di ujung pukat yang ditandai dengan gabus putih yang mengapung. Gerakan mengangkat pukat adalah kebalikan dari menyebarnya. Kami mengangkatnya pelan-pelan sambil memperhatikan apakah ada ikan yang tersangkut di jaring.
Hari ini perlu waktu sekitar 40 menit untuk mengambil pukat. Tangkapan kami beragam, dari mulai ikan tuda, kakatua, ekor kuning, sampai sotong. Esok subuh ikan-ikan itu akan dibawa ke pasar. Menurut Bang Jabbar tangkapan kali ini tidak terlalu banyak, namun cukup untuk membeli beras.
Begitulah. Hidup sebagai nelayan adalah tentang ketidakpastian. Tapi, apa mau dikata, itulah cara mereka untuk terus menggelayut dalam roda kehidupan.
Perjalanan ke Dusun Mekko, Flores Timur, ini dilakukan bersama @wwf_id dalam rangka Peresmian Pusat Informasi Wisata Mekko oleh Kelompok Bangkit Muda Mudi Mekko.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.