Skripsi bagi banyak mahasiswa memang menjadi momok tersendiri. Tidak sedikit yang tersendat kelulusannya hanya karena terganjal tugas akhir ini. Sebenarnya skripsi sama saja seperti tugas-tugas harian lainnya. Hanya saja, dalam skripsi kita dituntut untuk bisa mempertahankan ide atau gagasan kita, setidaknya di depan para dosen penguji. Saya pun sempat mengalami penyakit sejuta umat dalam menghadapi skripsi, yakni insecure alias ketakutan akan ketidakmampuan saya untuk menyelesaikannya. Terlebih momok skripsi akan selalu membayangi sampai ujian pendadaran.
Untuk mengurangi rasa khawatir yang tak kunjung usai, saya mencoba membuat jadwal yang benar-benar saya taati. Awalnya, saya menargetkan akhir 2019 sudah ujian seminar proposal. Tapi, saya malah terbuai karena terlalu fokus menuntaskan tanggung jawab saya di organisasi. Meskipun judul sudah di-acc sejak akhir Oktober, sampai Natal tiba pun belum saya sentuh sedikit pun skripsi saya. Saya pikir, dibawa santai saja, masih bisa, kok, terkejar selesai bulan Mei dan ikut wisuda Agustus.
Mengawali tahun baru, saya bikin resolusi paling realistis: kejar tayang proposal skripsi agar bisa ujian seminar proposal secepatnya. Bersamaan kejar tayang proposal tersebut, berita COVID-19 sudah tersebar ke penjuru dunia. Ketakutan pun mulai bermunculan di mana-mana. Saya, sih, menanggapinya dengan santai. “Ah, peduli kucing. Penting skripsi saya selesai. Lagian tidak akan ngefek juga ke skripsi saya,” pikir saya. Bak ibu yang sedang hamil, saya mencoba fokus seratus persen kepada sang buah hati—skripsi—dan tidak mau berpikir terlalu jauh dari apa yang sedang ada di depan mata.
Pertengahan Februari saya sudah seminar proposal. Tapi, bukannya langsung mengerjakan Bab IV, saya malah berleha-leha tak melakukan apa pun selama sebulan. Ketika saya sudah mengumpulkan niat dan semangat untuk kembali berperang, tak disangka-sangka corona akhirnya masuk juga ke Negeri Khatulistiwa ini. Seketika juga semua aktivitas terhenti. Saya masih santai-santai saja waktu itu, belum panik seperti orang kesurupan, sebab saya lihat baru di Jakarta saja ada yang kena. Di Jogja sendiri, sih, masih aman-aman saja. Eh, tapi, kok, seminggu-dua minggu kemudian makin gila saja perkembangannya.
Tak pernah terpikirkan oleh saya jika efek COVID-19 akan benar-benar membuat stres. Bagaimana tidak? Aktivitas luring terhenti dan tak semua orang, perusahaan, atau lingkungan kerja mampu beradaptasi secara cepat, tak terkecuali administrasi kampus dan pelaksanaan penelitian saya. Tiga minggu setelah kasus pertama diberitakan, universitas saya langsung menutup semua akses ke kampus. Aktivitas administrasi kampus pun boleh dibilang dalam dua minggu pertama benar-benar lumpuh. Rencana saya untuk melakukan penelitian dan wawancara ke beberapa instansi harus benar-benar tertunda. Selama bulan Maret saya pusing tujuh keliling.
Waktu corona masih di Negeri Tirai Bambu, saya masih berniat untuk datang langsung ke instansi tempat penelitian saya di Surabaya, Bandung, dan Makassar. Sebenarnya itu ide cukup nekat, karena dosen pembimbing saya menyarankan untuk sekadar mengambil data di kota tempat saya kuliah saja. Tapi, kalau tidak hajar sepenuhnya, rasanya seperti ada yang kurang. Saya cukup menyesal juga tidak langsung mengeksekusi penelitian setelah seminar. Pembenaran saya, sih, namanya juga mahasiswa; malas itu bukan penyakit tapi memang sudah mendarah daging saja. Mau tidak mau saya harus cari “jalan tikus” biar target wisuda Agustus tetap terkejar.
Jalan skripsi saya saat corona bisa dibilang memotong arus dan tidak menaati prosedur. Supaya selesai sebelum Lebaran, saya nekat mencari dan menghubungi narasumber alternatif selain yang seharusnya saya datangi di tiga kota besar tadi. Syukurnya, semua narasumber yang saya hubungi langsung bersedia dan tidak keberatan apabila saya hubungi hanya lewat WhatsApp dan saya wawancara secara daring. Bahkan, saya tidak membawa surat izin penelitian dari kampus. Narasumber sudah aman, sekarang saya butuh data lainnya. Saya coba korek informasi dari kampung halaman untuk mencari responden. Ternyata cukup susah kalau tidak pakai surat resmi. apalagi bagi mahasiswa peneliti seperti saya yang tidak punya terlalu banyak jejaring.
Pengerjaan skripsi benar-benar saya kebut satu bulan penuh sepanjang April. Saya sudah seperti romusa rasa-rasanya, mengerjakan skripsi tiada henti dan tanpa pandang waktu, begadang sampai tidur hanya beberapa jam tiap harinya selama sebulan, hanya untuk melayani tuan yang bernama skripsi. Tapi, lebih baik jangan terlalu berlebihan seperti saya, sebab saya harus membayar “utang” dalam bentuk gejala tifus pascaskripsi. Kerja, kerja, kerja—tifus.
Untuk menyiasati data yang belum sepenuhnya saya dapat, kadang saya menggunakan hipotesis atau asumsi pribadi terlebih dahulu. Baru nanti saya ubah dan sesuaikan apabila data benar-benar sudah ada. Untungnya asumsi saya hampir sembilan puluh persen sesuai dengan data yang akhirnya saya dapatkan. Coba kalau tidak, bisa-bisa harus kerja dua kali.
Ketika selesai, naskah skripsi langsung saya kirimkan kepada dosen pembimbing. Dan kesusahan/kesulitan sepertinya memang selalu beriringan dengan kemudahan. Setelah sebulan kerja rodi, saya seperti merdeka dari penjajahan.
Awalnya, saya pikir proses revisi naskah skripsi akan memakan waktu hingga sebulan. Sudah banyak cerita soal proses revisi skripsi yang berlangsung berminggu-minggu, jadi barangkali lumrah saja saya berasumsi demikian. Tapi, nyatanya, keesokan hari setelah saya kirimkan, dosen pembimbing saya mengirimkan revisian. Benar-benar terkejut saya. Total, saya hanya perlu waktu tiga hari untuk memoles naskah sampai menjadi sempurna dan siap untuk dihidangkan. Saya apresiasi betul dosen pembimbing saya; benar-benar mengerti dan memahami mahasiswanya, meskipun dirinya dikenal perfeksionis.
Badai corona memang benar-benar memaksa semua umat manusia untuk berubah dan beradaptasi kembali untuk bisa bertahan. Kaget dan tersendat-sendat karenanya memang keniscayaan. Tapi, bukan berarti tidak bisa melaluinya juga.
Sudah hampir sembilan bulan hidup di tengah pandemi, saya kira corona bukan momok yang sangat menakutkan, tapi juga tidak bisa diremehkan. Syukurnya, hampir semua lini sudah beradaptasi—dan saya harap kamu juga demikian. Apabila sekarang di tengah-tengah pandemi begini kamu sedang mengerjakan skripsi, semoga cerita saya bisa sedikit menolong.
Tapi, saran utama saya, sih, paling penting jaga kewarasan diri saja dulu. Habis itu baru mengurus skripsi.
Seorang pelamun dan penagih utang bank berdomisili di Jakarta, suka bercerita pengalaman manis bersama yang termanis