Ini adalah cerita pengalaman pertamaku ke Lombok. Waktu itu, Juli 2017, aku mengambil cuti dua minggu. Rencana itu sudah tertata rapi dari akhir Maret. Tiket kereta api, tiket pesawat untuk pulang, penginapan, dan sewa motor pun sudah aku pesan dari jauh hari. Sebenarnya aku lebih menyukai perjalanan darat dan terbiasa dengan kereta api, mungkin karena bisa lebih leluasa berkelana. Namun supaya bisa tenang menyongsong akhir liburan, aku memesan tiket pesawat untuk pulang.
Pagi itu aku diantarkan udara pagi memasuki Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Aku membawa sejumlah barang termasuk lima bungkus wingko babat titipan dari temanku di Semarang yang bernama Daeng. Dia minta tolong untuk menyampaikan wingko babat itu ke teman kerjanya di Gili Trawangan.
Aku menghabiskan waktu selama di kereta dengan membaca buku, mendengarkan musik dari ponsel, dan minum kopi di gerbong restorasi. Sesekali aku berbincang dengan bapak-bapak yang duduk di sampingku atau dengan dua remaja putri yang duduk di depanku.
Sekitar pukul 22.00 WIB sampailah aku di Stasiun Ketapang setelah menempuh perjalanan selama enam belas jam. Dari stasiun ke Pelabuhan Ketapang aku jalan kaki sekitar sepuluh menit kemudian menyeberang naik feri sekira setengah jam. Di luar Pelabuhan Gilimanuk, bus Bahagia tujuan Padangbai sudah menunggu. Dalam perjalanan sekitar empat jam itu aku lebih banyak tidur.
Setiba di Pelabuhan Padangbai, sekitar pukul 6.00 WITA, aku sudah ditunggu temanku yang bernama Surya. Dia putra asli Bali yang sebelumnya sudah bikin janji denganku untuk mengitari Lombok bersama. Sebelum masuk terminal keberangkatan pelabuhan, kami cari sarapan dulu. Di kios milik seorang ibu, kami makan sego tempong, makanan berisi sayuran yang sudah direbus, gorengan tahu dan tempe, serta lauk sederhana seperti ikan dan ayam goreng, dan dibungkus daun pisang.
Tak lama setelah makan, segera kami memasuki area dermaga dan bersiap memasuki feri. Kami menikmati perjalanan di dek dekat buritan. Penyeberangan selama empat jam itu kami habiskan untuk bercerita, entah tentang perjalanan, kopi, atau pekerjaan. Setiba di Pelabuhan Lembar, kami langsung menuju Mataram menggunakan angkot. Di Mataram kami akan menyewa motor milik Pak Hamdan guna berkeliling Lombok. Awalnya aku ingin singgah di Rumah Singgah Lombok di Jalan Bangil, Mataram. Namun, karena mesti segera mengantarkan wingko babat, aku menunda rencanaku dan langsung menuju Gili Trawangan setelah mendapatkan motor sewaan.
Perjalananku sudah berlangsung selama tiga puluh satu jam ketika menginjakkan kaki di Gili Trawangan. Aku pun menelepon pemilik wingko babat itu, yaitu Kak Tita, namun nomornya sedang tidak aktif. Mungkin baterainya habis, pikirku. Lalu, tanpa pikir panjang aku dan Surya langsung menuju penginapan yang sudah kupesan melalui aplikasi daring. Setelah beres dengan check-in, aku pun langsung merebahkan tubuh di kasur. Aku terlelap hingga pukul 17.00 WITA. Begitu bangun, kuajak Surya ke pantai bagian barat untuk menikmati matahari tenggelam. Kami menyewa sepeda dari penginapan dengan biaya Rp70.000 per 24 jam. Kami menikmati tiap sudut Gili Trawangan, lalu berhenti di sebuah tempat dan bersantai di bean bag. Banyak turis lokal dan mancanegara yang juga bersantai seperti kami. Tak sedikit pula yang berfoto di ayunan tepi laut.
Jingga pun kian pudar, berganti hitam dengan jutaan kerlip bintang di langit. Kami pun kembali ke penginapan guna mengambil telepon genggamku yang tertinggal. Aku mencoba lagi menghubungi nomor Kak Tita, namun masih tak ada hasil.
“Dah, nyari makan aja, yuk? Laper banget ini,” ajak Surya.
“Yuk, lah. Siang juga belum makan kita,” sahutku.
Selesai makan di warung makan depan penginapan, kami menghabiskan malam di tepi pantai sambil melihat dari kejauhan Party Tonight yang diadakan di Sama Sama Reggae Bar. Kami kembali ke penginapan pukul 01.00 WITA. Kak Tita masih belum bisa dihubungi. Mungkin besok pagi bisa bertemu, pikirku.
Pagi menjelang, harapan baru pun datang. Kubuka ponselku. Ternyata ada beberapa panggilan masuk dan sebuah pesan singkat dari Kak Tita. Isinya permintaan maaf sebab nomornya tidak aktif. Ponselnya jatuh di pantai dan mati terkena air laut, katanya. Singkat cerita, dia mengajak bertemu pukul 11.00 WITA di Juku Marlin, sebuah kafe dekat dermaga Gili Trawangan.
Pagi itu kami sempatkan untuk memasang hammock demi menikmati matahari terbit di ujung timur pulau. Lalu kami bersepeda mengitari Gili Trawangan, sebelum akhirnya sarapan di penginapan. Kami mencoba menikmati sarapan kali ini sebab siang nanti kami sudah tidak berada di Gili Trawangan lagi. Kami juga sempat meracik kopi di dapur. Usai bersantai, kami berkemas, check-out, lalu bergerak ke Juku Marlin.
Di Juku Marlin Kak Tita sudah menunggu.
“Kak Tita, ya?” sapaku.
“Iya. Ini Ivan dari Semarang pasti?” tebaknya.
Setelah menyerahkan wingko babat, kami diajak menyantap sajian istimewa yang rupanya sudah dibayar oleh Kak Tita.
“Terima kasih, lho, Van, wingko babatnya. Aku suka banget oleh-oleh satu ini,” ujar Kak Tita. “Tiap kali Daeng pulang pasti aku nitip ke dia.”
“Oh, iyakah? Besok kalau ke sini lagi saya bawain, Kak,” jawabku.
“Siap, Van. Kabar-kabar, ya,” sahut Kak Tita sambil mencicipi wingko babatnya.
“Beres, Kak. Terima kasih juga jamuannya kali ini,” balasku.
Perutku terasa sangat penuh. Siang pun semakin terik. Setelah mengobrol panjang, tepat pukul 14.00 WITA aku dan Surya pamit untuk meneruskan perjalanan menuju Mataram. Rencananya kami akan ke Rumah Singgah Lombok.
Setiba di daratan Lombok, kami mengambil motor di tempat parkir. Dalam perjalanan ke Mataram, kami singgah di Pantai Setangi di utara Senggigi. Pantai itu sepi. Hanya ada beberapa pengunjung dan seorang pedagang bakso keliling di sekitar pantai. Kupasang ayunan di dekat tebing, bersebelahan dengan sepasang suami-istri muda yang sedang bersantai. Kami berkenalan dengan pasangan itu. Mereka ternyata dari Tangerang, sedang liburan di Lombok. Sang suami bernama Andre, istrinya Ana.
Lalu aku keluarkan kompor lapangan dan sebungkus kopi. Surya membantuku menggiling biji kopi Arabika dari Gunung Ungaran itu. Melihat kami sedang menyeduh kopi, Pak Andre tertarik. Rupanya ia punya kedai kopi di Tangerang. Kami pun mengobrol banyak tentang kopi dan hal-hal lain yang terkait. Ia menceritakan keinginannya membuka cabang kedai kopinya di Lombok, entah kapan. Tak kuduga, ternyata ia menyukai kopi buatan Surya. Ia pun memintaku mengirimkan sampel ke Tangerang nanti setelah aku tiba di Semarang.
Jam empat sore, Pak Andre dan Bu Ana pamit. Mereka hendak ke Gili Trawangan, tempat mereka akan menginap selama tiga hari ke depan. Aku dan Surya memilih menunggu matahari tenggelam di Pantai Setangi. Sesaat setelah matahari terbenam, kami pun meluncur ke Mataram.
Kami tiba di Rumah Singgah Lombok milik Bapak Ichsan dan Mamak Baiq ketika Mamak Baiq baru saja selesai memasak. Kami diajak makan bersama penghuni rumah. Mamak juga membikinkan kopi untuk kami. Makanan dan kopi itu benar-benar nikmat.
“Kalian berdua cuma semalam aja tinggal di sini?” tanya Bang Iyus, salah seorang tuan rumah, ketika kami mengobrol santai.
“Iya, Bang. Rencana tiga hari ke depan kami akan tinggal di daerah Kuta,” Jawab Surya.
“Oh, gitu. Oh, iya, itu Bang Arif Bandung juga mau ke Pantai Selong Belanak besok pagi. Bareng aja kalian,” balasnya.
“Oh, iyakah? Bagus, deh, kalau ada barengan,” sahutku. “Besok sebelum pulang ke Semarang kami mampir sini lagi, deh, Bang.”
Baru beberapa hari menginjakkan kaki di Pulau Lombok, sudah banyak pengalaman berharga yang kudapatkan. Aku juga dipertemukan dengan orang-orang baik yang dari mereka aku bisa mendapat cerita menarik dan ilmu yang bermanfaat serta nuansa hangat.
Malam belum habis, begitu pula cerita-cerita sekumpulan “buku hidup” berjudul Pejalan itu. Namun aku mesti segera menuju rehat sebagai persiapan memulai sebuah cerita baru.
Pekerja lepas bidang pariwisata, pemilik usaha kedai kopi, pendiri sebuah komunitas bernama "Kopi Peduli." Tinggal di Kabupaten Semarang.