Komunitas Kuliner Semarang kembali menghelat event Festival Kuliner Pulang Semarang. Festival tersebut berlangsung selama sepuluh hari, 21—30 April 2023 bertempat di Metro Point Kota Lama atau seberang kantor Satlantas Polrestabes Semarang.
Hari Kamis (27/4/2023) saya menyempatkan berkunjung ke festival yang diikuti 50 stan kuliner itu. Di sana, saya menemui Firdaus Adinegoro, pendiri komunitas Kuliner Semarang dan penggagas Festival Kuliner Pulang Semarang. Pak Firdaus juga merupakan sosok yang pernah menggagas Hari Lumpia Nasional beberapa tahun lalu.
Saya sempat berbincang hangat dan santai dengannya. Kami ngobrol terkait penyelenggaraan festival kuliner yang ia gagas. Selain itu juga banyak membahas khazanah kuliner Semarang.
Latar Belakang Festival Kuliner Pulang Semarang
Pak Firdaus dan tim pertama kali mengadakan Festival Kuliner Pulang Semarang tahun 2015. Penyelenggaraan event ini berbasis komunitas, karena setahun sebelumnya, Pak Firdaus terlebih dahulu membentuk komunitas Kuliner Semarang di Facebook. Kini anggotanya mencapai lebih dari 270 ribu.
Kesuksesan festival kuliner yang pertama itu disusul penyelenggaraan di tahun-tahun berikutnya. Sehingga Festival Kuliner Pulang Semarang menjadi agenda rutin tahunan komunitas Kuliner Semarang.
Festival Kuliner Pulang Semarang kali ini adalah penyelenggaraan keenam. “Sempat absen dua tahun karena pandemi Covid-19, yaitu tahun 2020 dan 2021,” tutur Pak Firdaus.
Saat saya tanya ke Pak Firdaus tentang alasan menggelar festival tersebut, Pak Firdaus hanya menjawab singkat, “Karena kesulitan mencari makan (saat lebaran).”
“Jadi, tidak ada misi khusus gitu, misalnya untuk mengangkat kuliner tradisional Semarang?” tanya saya.
“Misi itu hadir seiring penyelenggaraan festival. Saya memfasilitasi sejumlah stan yang secara khusus menyediakan kuliner tradisional khas Semarang,” jawabnya.
Frasa “Pulang Semarang” ia pilih karena festival ini memang berlangsung saat momen lebaran. Sehingga para pemudik yang pulang ke Semarang atau sekedar lewat kota ini bisa singgah dan berkunjung ke festival untuk menikmati ragam kuliner yang ada.
Animo masyarakat terhadap festival kuliner ini, menurut Pak Firdaus, cukup besar. Setidaknya terlihat pada jumlah kunjungan, yang setiap harinya dapat menembus 5.000 hingga 6.000 pengunjung.
Sementara itu, berkaitan dengan ragam kuliner yang dijual di festival, berdasarkan informasi Pak Firdaus, dari 50 stan kuliner yang berpartisipasi, 60 persen di antaranya merupakan stan kuliner tradisional. Sementara sisanya berupa stan kuliner modern atau kekinian. Ragam pilihan itu menjadi magnet tersendiri bagi para pengunjung.
Menyantap Nasi Glewo Koyor yang Langka
Semarang memiliki ragam kuliner khas yang kaya. Banyak di antaranya sangat populer di kancah gastronomi nasional. Sebut saja lumpia, tahu petis, tahu pong, tahu gimbal, soto, nasi ayam, nasi goreng babat, mi kopyok, bakmi, dan gule kambing Bustaman. Semuanya tersedia di Festival Kuliner Pulang Semarang.
Namun, sejak awal, saat saya hendak berkunjung ke festival ini, saya lebih tertarik untuk berburu dan menyantap makanan khas Semarang yang sangat langka. Kuliner itu adalah nasi glewo koyor. Sajian berkuah khas Semarang ini pernah populer di era 1970—1980-an, tetapi sekarang sudah sulit ditemui.
Pada tahun 2017, pernah ada sebuah kedai di daerah Miroto, Semarang Tengah yang mengangkat kuliner tersebut. Bahkan sempat ikut membuka stan di Festival Kuliner Nusantara Lezaatnesia di tahun yang sama. Saat itu bertempat di Pasaraya Sri Ratu, Jalan Pemuda, Semarang.
Sayang, kabarnya kedai itu kemudian tutup permanen. Namun, bertahun kemudian, saya mendapatkan kabar baik tentang nasi glewo yang kembali hadir di Festival Kuliner Pulang Semarang tahun ini. Maka, saya pun mengagendakan untuk datang.
Ketika tiba di lokasi festival, nasi glewo adalah yang pertama kali saya cari. Begitu ketemu, saya segera memesan dan berbincang dengan pengelolanya.
Saya tidak tahu persis penyebab nasi glewo sulit eksis. Padahal ragam kuliner khas Semarang lainnya seperti soto, mi kopyok, nasi ayam, dan tahu gimbal, masih bertahan sampai sekarang.
Sego (nasi) glewo koyor sendiri, sesuai namanya, adalah nasi dengan kuah bersantan dan berbumbu rempah—di antaranya kencur—dengan protein koyor dan daging sapi. Kuahnya bercita rasa gurih-manis. Dalam penyajiannya diberi taburan bawang goreng dan emping melinjo.
Sebuah sumber menyebutkan, kata “glewo” berasal dari bahasa Jawa yang berarti aneh, linglung, atau sebutan untuk penjual gulai. Glewo berasal dari kata glewor-glewor koyore yang berarti koyor (otot) yang merumbai.
Menariknya, Ira Agustini (35), pemilik Katering Emak Liem yang membuka stan nasi glewo koyor bukanlah warga asli Semarang. Ia berasal dari Belitung. Ia ke Semarang karena bekerja, hingga kemudian menetap di sini dan membuka usaha katering. Katering Emak Liem yang ia kelola beralamat di Tlogobiru, Pedurungan, Semarang.
Sehari-hari, usaha katering yang ia kelola menerima pesanan kue dan makanan, termasuk nasi glewo koyor. Resep makanan langka ini Ira—sapaan akrabnya—dapatkan dari penjual nasi glewo koyor yang sudah meninggal dunia tahun 1955.
Sejauh ini, belum ada kedai di Semarang yang khusus menyediakan nasi glewo koyor. “Banyak warga Kauman (Semarang) yang masih bisa memasak nasi glewo, tetapi mereka tidak membuat rumah makan,” kata Pak Firdaus.
Mencicipi Es Puter Conglik yang Legendaris
Puas menyantap nasi glewo koyor, es puter Conglik adalah kuliner berikutnya yang saya cicipi. Ini merupakan es puter legendaris di Semarang. Menurut cerita, es puter Conglik telah eksis sejak tahun 1982. Perintisnya adalah Sukimin, yang punya gelar “kacung cilik” karena sudah pintar mencari uang sejak kecil.
Kata “kacung cilik” itulah yang disingkat “conglik”, yang kemudian melekat pada es puter buatannya. Sukimin mendapatkan resep es puter dari orang Belanda yang pernah ia kenal. Saat ini, es puter Conglik sangat populer dan legendaris di Kota Semarang.
Es puter adalah es krim yang pembuatannya secara tradisional dari bahan santan dan gula. Es puter bertekstur kasar, lalu untuk membekukannya dengan sebuah alat berbentuk tabung, yang diputar-putar di dalam es batu dan garam.
Di Festival Kuliner Pulang Semarang, saya bertemu dengan Sandi Marantani (35)—suami dari Ivon (44), generasi kedua pewaris resep es puter Conglik. Sandi yang langsung melayani saya.
Ada empat varian rasa es puter yang ia tawarkan, yaitu durian, kelapa, cokelat, dan alpukat. Saya pilih rasa kelapa. Taburannya (topping) adalah serutan kelapa muda, durian, dan biji mutiara.
Selain kuliner khas ibu kota Provinsi Jawa Tengah, Festival Kuliner Pulang Semarang juga menyajikan pusparagam kuliner kekinian dan tradisional khas daerah lainnya. Saya berharap event ini terus eksis. Sehingga bisa mendorong bangkitnya makanan tradisional tempo dulu yang saat ini sudah langka, seperti halnya nasi glewo koyor.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia