Melancong ke Lembang, Bandung Barat, rasanya kurang lengkap jika tidak mencicipi ketan bakar dan tape bakar—orang menyebutnya dengan nama colenak.

Pukul 06.23, sebuah sepeda motor berjalan melambat dan kemudian berhenti di depan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jalan Pasir Kaliki (Paskal), di seberang Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Kota Bandung, Minggu, awal Oktober 2021 lampau. Sang pengendara kemudian memarkir motornya menghadap ke Jalan Pasir Kaliki. 

Tak lama kemudian, dua sepeda motor lain yang juga melambat, akhirnya berhenti. Seperti pengendara sepeda motor pertama, dua pengendara sepeda motor itu pun memarkir sepeda motor mereka menghadap ke Jalan Pasir Kaliki. 

Mendekati pukul 07.00, jumlah sepeda motor yang di parkir di depan SPBU Pasir Kaliki itu makin bertambah.

SPBU Pasir Kaliki
SPBU Pasir Kaliki/Djoko Subinarto

Urang geus di hareup SPBU Paskal jeung barudak. Ku urang ditungguan,” kata salah seorang pengendara berbicara dalam bahasa Sunda via telepon genggam dengan kawan lainnya yang entah sedang di mana (Aku sudah di depan SPBU Paskal bersama anak-anak yang lain. Aku tunggu kamu sekarang).

Nyaris saban Minggu pagi, SPBU di Jalan Pasir Kaliki itu menjadi tempat rendezvous para kawula muda belia yang akan melakukan Sunmori (Sunday Morning Ride). Dari depan SPBU itu, biasanya mereka melaju ke arah utara, menuju kawasan Lembang.

Ada yang memang hanya sampai Lembang, dan hang out di sana hingga siang menjelang, kemudian merayap lagi ke pusat Kota Bandung. Ada juga yang meneruskan perjalanan sampai Subang sebelum turun ke Bandung menjelang petang.

Selain di depan SPBU Jalan Pasir Kaliki, tempat rendezvous lainnya adalah di depan sebuah restoran cepat saji di Jalan Setiabudi dan di depan Masjid Al-Furqan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

  • Makam Oto Iskandar Dinata
  • Masjid Agung Lembang
  • Jalan Raya Lembang

Seperti kawasan Puncak, kawasan Lembang menjadi primadona bagi para pelancong. Sebelum adanya pandemi COVID-19 dan diberlakukannya pembatasan kegiatan masyarakat, kemacetan pasti menghiasi jalur Bandung-Lembang setiap akhir pekan dan hari-hari libur lainnya. Saat macet menyergap, jarak Bandung-Lembang yang cuma sekitar 14 kilometer, bisa ditempuh dalam waktu 1,5-2 jam. 

Beragam jenis dan fasilitas wisata dapat kita jumpai di sepanjang jalur Bandung-Lembang. Lembang sendiri adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Udara Lembang yang sejuk membuat orang kerasan dan betah berlama-lama menghabiskan waktu di kota ini. 

Seperti kebanyakan kota lainnya di Pulau Jawa, Lembang memiliki alun-alun. Masjid Agung Lembang berada persis di sisi barat alun-alun. Saban Minggu Pagi, Alun-alun Lembang senantiasa ramai. Tak sedikit orang tua yang sengaja mengajak jalan-jalan putera-putrinya yang masih kecil di Alun-alun Lembang.

Tak jauh dari Alun-alun Lembang, sekitar 2,5 kilometer, ke arah Bandung, terdapat makam Pahlawan Nasional Oto Iskandar Dinata. Oto adalah salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang dibentuk tanggal 1 Maret 1945. Oto juga terlibat dalam keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pengganti BPUPK.

Sajian ketan bakar

Berada di sekitar Alun-alun Lembang, kurang lengkap rasanya kalau tidak mencicipi sajian ketan bakar dan colenak. Ketan bakar disajikan dengan tambahan sambel oncom, sementara colenak dihidangkan dengan kuah gula aren. Keduanya paling nikmat disantap saat masih dalam keadaan hangat.

Di Lembang, jongko para penjaja ketan bakar dan colenak dapat kita jumpai mulai dari pasar buah di sisi barat hingga sebelum Pasar Panorama di sisi timur.

Para kawula muda yang sedang melakukan Sunmori begitu sampai daerah Lembang, tak jarang mengaso sejenak sembari mencicipi ketan bakar atau colenak, sebelum meneruskan perjalanan ke Cikole atau Subang. Begitu juga yang baru pulang dari Cikole atau Subang, sebelum turun ke Bandung, tak jarang mereka nyam-nyam dulu ketan bakar dan colenak di Lembang.

Saya sempat mampir ke salah satu jongko penjual ketan bakar dan colenak, yang lokasinya tak jauh dari Pasar Panorama Lembang. Pemilik jongkonya seorang perempuan, sudah rada sepuh. Oleh para pelanggannya, ia biasa dipanggil Mamih.

Tatkala saya singgah ke jongkonya pagi itu, Mamih langsung menyapa saya dengan ramah.

Ketan bakar dan colenak
Ketan bakar dan colenak/Djoko Subinarto

“Mau ketan bakar atau colenak?” Tawarnya.

Saya kemudian memesan dua ketan bakar dan dua colenak. Satu ketan bakar dan satu colenak untuk disantap di tempat. Adapun satu ketan bakar dan satu colenak lainnya untuk dibawa pulang.  

Mamih mengaku sudah berjualan sejak tahun 1980-an, saat masih era Presiden Soeharto. Dan ia tetap bertahan sampai sekarang.

“Dulu jualannya di pasar buah. Tapi, tahun 90-an lantas pindah ke sini, dekat Pasar Panorama,” jelasnya.

Menurut Mamih, pandemi COVID-19 membuat usahanya agak tersendat. Lebih-lebih ketika berlangsungnya PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). “Selama PPKM, bukan hanya pembeli yang berkurang, pasokan bahan juga ikut tersendat,” papar Mamih.

Mamih pun berharap pandemi benar-benar berakhir. “Kalau nanti ke Lembang lagi, mampir lagi ke sini” kata Mamih, saat saya hendak merayap turun ke Bandung.

“Siap. Insya Allah, Mih,” balas saya, seraya meninggalkan jongkonya yang saat itu mulai ramai didatangi sejumlah pembeli yang hendak mencicipi ketan bakar dan colenak bikinannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar