Fabio Parasecoli, seorang profesor sekaligus direktur departemen Food Studies di New York University, adalah salah satu dari sekian banyak akademisi dan penggiat studi makanan yang saya ikuti di Twitter.
Kicauan beliau sering saya pantau tidak hanya karena ketertarikan saya terhadap isu pangan dan dinamika sosial yang menyertainya tapi juga karena kepiawaiannya menulis makanan secara pop. Ringan, tapi serius. Fabio telah lama menjadi koresponden tetap sebuah majalah Italia yang memuat isu kuliner, wine, dan perkembangan makanan, Gambero Rosso.
Pada suatu pekan, satu kicauan Fabio di Twitter menjadi inspirasi awal tulisan ini dibuat:
Cuitan Fabio terasa dekat dengan keseharian. Beberapa kali saya dan kawan-kawan membuka percakapan dengan bertukar resep, membicarakan cara membuat makanan tertentu, serta bereksperimen dengan berbagai macam jenis masakan baru. Tentu saja pandemi membuat kita semua menghadapi masalah. Maka lazim bagi setiap orang untuk tidak merasa baik-baik saja. Membicarakan kemelut dan kesedihan tentu tidak mudah bagi sebagian orang. Fabio benar, tapi ada yang kurang. Resep tidak hanya menggantikan perjalanan-perjalanan yang tertunda, membicarakan makanan ternyata juga dapat menggantikan hal-hal yang tidak tersampaikan melalui kata yang menghubungkan kita.
Bagi saya, pandemi tidak hanya memberi ruang dan jeda pada banyak hal dalam hidup. Corona dan dampak yang mengakibatkan anomali dalam hari-hari saya telah menstimulasi pemikiran-pemikiran baru tentang hubungan manusia dengan kegiatan memasak dan makan.
Makanan, bukan sekadar kebutuhan jasmaniah
Studi mengenai makan dan makanan memiliki sejarah panjang dalam ilmu antropologi. Tidak hanya persoalan kontribusi makanan terhadap kesehatan tubuh (yang tentu saja sudah dipelajari lebih dalam oleh studi nutrisi dan gizi), studi makanan dalam antropologi mengangkat persoalan sosial yang lebih luas terkait peradaban manusia dan penganannya. Isu politik-ekonomi sumber daya, konstruksi sosial-identitas-memori makanan dalam komunitas sampai kajian nilai simbolis maupun material dari rantai komoditas adalah beberapa dari irisan-irisan yang dicakup oleh studi ini (Mintz dan Du Bois, 2002).
Bagi kita, manusia, makan tidak akan pernah menjadi kegiatan yang murni didorong oleh kebutuhan biologis. Makan adalah kegiatan yang sosial, publik dan politis. Makanan adalah adalah barang yang dibagikan. Orang-orang makan bersama, hampir semua acara publik ada kegiatan makan bersama-sama, waktu makan adalah waktu di mana keluarga atau bahkan komunitas berkumpul. Makanan memberikan kesempatan bagi kita untuk memberi, menerima dan mengekspresikan altruisme kepada yang dekat, atau bahkan kepada yang asing. Makanan tidak hanya menjadi simbol tapi juga realitas dari privilese, kelas sosial, tanggung jawab moral, dan pelarian.
Makan-makan bersama, tapi masing-masing
Selama dua bulan terakhir, sepertinya semua orang yang saya kenal melalui media sosial seperti Twitter dan Instagram sedang atau telah memasak. Tidak hanya itu, unggahan dan konten media sosial tentang makanan pun bertebaran. Dari mulai hasil karya masakan sendiri, pengumpulan donasi dan pembagian makanan sebagai bentuk gerakan sosial, sampai hasil kiriman kerabat atau teman dalam rangka merayakan hari raya. Makanan adalah bentuk selebrasi yang dimanifestasikan ke dalam aksi mengunggah makanan tersebut di media sosial.
Makanan bermaksud untuk menunjukkan perasaan, aksi, sikap, ataupun strategi si pengirim dan penerima. Dalam bahasa Carole Counihan (2013), seorang antropolog, giving food is an important way (for individuals) to be actors in the public sphere and build social alliances. Melalui makanan, seseorang dapat membangun aliansi sosial dalam ruang publik. Berbagi makanan serta berbagi pengalaman bagaimana cara membuatnya juga dapat membantu menciptakan rasa kebersamaan, sementara, di saat yang bersamaan, faktanya kita sedang terisolasi secara sosial.
Kembalinya kita ke dapur
Home cooking merayakan kembali kejayaannya melalui aturan jarak sosial yang mengharuskan banyak orang untuk bekerja dan berkegiatan di rumah. Limitasi terhadap aktivitas di luar ruangan membuat orang-orang kembali ke dapur. Makan adalah kegiatan fungsional dan esensial, mendukung kesehatan, juga tentu saja penting untuk memerhatikan asupan gizi di tengah pandemi seperti ini. Makanan rumahan juga relatif lebih murah dari makanan yang dipesan secara daring. Sehingga masak tidak hanya menjadi suatu kebutuhan yang harus dilakukan di rumah, tapi juga menyenangkan.
Tentu saja tidak semua orang memiliki kemewahan waktu yang berlimpah selama pandemi. Beberapa orang dengan pekerjaan yang mengharuskan mereka keluar rumah dan para orangtua dengan anak-anak kecil yang masih membutuhkan perhatian tentu saja kewalahan. Tetapi, ada banyak orang dengan ketersediaan waktu yang banyak mulai memasak menu-menu yang tidak sempat mereka buat sebelum aturan tinggal di rumah diberlakukan. Roti buatan sendiri sampai mi dan pasta dari adonan sendiri, misalnya.
Memasak memberikan perasaan bahwa kita tetap bergerak, produktif dan mencapai sesuatu meski di rumah, atau di dapur saja. Saya sendiri sangat menikmati memasak karena dapat membuat saya melupakan ketakutan dan kekhawatiran saya selama pandemi. Memasak adalah kegiatan yang memiliki urutan dan pola yang harus dipikirkan. Setelah meracik bumbu, maka tunggu sebentar agar dapat dimarinasi, lalu jangan lupa panaskan minyak, tunggu sampai suhu yang tepat, lalu goreng sampai kecokelatan, jangan lupa siapkan wajan yang lain untuk membuat saus dan panci yang lain untuk merebus sayuran.
Kembali ke dapur dan memasak membuat saya harus hadir, mindful. Saya harus eling sepenuhnya atau urutan masak akan berantakan dan makanan saya tidak jadi seperti yang saya harapkan.
Referensi
Forson, P. W. and Counihan, C. (2013) Taking Food Public: Redefining Foodways in a Changing World. doi: 10.2752/175174412X13414122383006.
Mintz, S. W. and Du Bois, C. M. (2002) ‘The Anthropology of Food and Eating’, Annual Review of Anthropology, 31(1), pp. 99–119. doi: 10.1146/annurev.anthro.32.032702.131011.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Kadang-kadang menulis tapi lebih sering jadi pembaca, pemerhati isi keranjang belanjaan orang di antrean supermarket, suka baca buku sastra, dan suka minum teh susu tanpa gula.