Lombok tidak hanya menyuguhkan pesona wisata alam. Kalau kamu ingin berwisata religi, kamu bisa mengunjungi banyak tempat. Sebut saja Islamic Center, Masjid Kuno Rembitan, Masjid bayan, Makam Nyatok dan masih banyak lagi.
Pada 22 Juli 2021 lalu, seorang teman mengajak saya untuk berziarah ke makam Nyatok. Saya sungguh bersemangat sebab perjalanan kali ini akan menjadi perjalan pertama saya ziarah ke sana. Kami menduga kemungkinan akan ramai pengunjung, sebab hari ini bertepatan dengan satu hari setelah perayaan Idul Adha 1442 H.
Berangkat dari Praya, kami menempuh perjalanan 25 menit menggunakan kendaraan roda dua menuju lokasi yang berada di Desa Rembitan Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Akses jalan menuju lokasi cukup bagus, tapi rasanya perlu sedikit perbaikan sebab di beberapa titik, jalan aspalnya banyak berlubang. Suasana khas pedesaan akan menemani sepanjang jalan. Ada kebun tembakau, jagung, dan tumbuhan lain.
Selama di perjalanan kendaraan kami berada persis di belakang mobil pick-up yang berisi rombongan orang tua dan anak-anak. Terlihat di tengah rombongan terdapat nampan yang berisi makanan berupa ketupat, pisang, dan buah-buahan. Kami yakin betul, tujuan kami dengan rombongan pick-up tersebut sama.
Benar saja beberapa saat kemudian kami sampai di lokasi. Lahan parkir cukup luas. Terdapat puluhan kendaraan mobil, truk, dan sepeda motor terparkir rapi.
Beranjak dari parkiran menuju makam, kami menemukan deretan panjang pedagang yang menjual air, rampai, tekel, buah-buahan, masker, dan masih banyak lagi. Dari kejauhan terlihat spanduk besar berisi himbauan bagi masyarakat agar tetap mematuhi protokol kesehatan. Di dalam area makam terdapat pohon-pohon besar seperti, pohon asam, pohon beringin, dan pohon kamboja menjadikan suasana makam teduh.
Sebelum mulai berziarah, kami sempat mengobrol dengan salah satu pengelola makam yakni Kemban. Kemban sudah menjadi penjaga makam selama puluhan tahun. Laki-laki 70 tahun itu menceritakan bahwa leluhur mereka—Wali Nyatok, memberikan pesan peziarah hanya bisa berkunjung pada hari Rabu. Leluhur tersebut adalah wali yang menyebarkan Islam di Lombok bagian selatan.
“Memang sudah menjadi sudah menjadi pesan dia [Nyatok]. Dia kan wali, dia berpesan bahwa hanya bisa dikunjungi hari Rabu, entah apa itu alasannya. Kami hanya bisa menjalankan pesan itu.” Kata Kemban pada saya.
Kemban mengatakan, masyarakat percaya para peziarah yang berkunjung selain hari Rabu akan mendapat kesialan. “Tidak ada yang berani mengunjungi makam ini di luar hari Rabu, kalau ada akan dapat kale (sial),” ungkap Kemban.
Makam dengan luas 15 hektar ini memiliki puluhan makam dengan satu makam inti yaitu makam Wali Nyatok. Makamnya ditandai dengan pagar kayu yang mengelilingi makam dan batu nisan besar. Setiap minggu ratusan hingga ribuan orang datang untuk berziarah, mereka berasal dari pelbagai macam wilayah yang ada di Lombok.
“Selalu ramai ratusan sampai ribuan orang, tidak hanya dari Lombok dari luar juga ada,” ungkap Kemban.
Setelah mengobrol cukup lama, Kemban pun mempersilahkan kami berziarah. Sebelum memasuki makam terlebih dahulu mengisi daftar buku pengunjung. Untuk memasuki makam, peziarah diharuskan melepas alas kaki. Perempuan yang sedang menstruasi juga dilarang memasuki area makam.
Pintu masuk makam tidak terlalu tinggi, sehingga saat masuk kita harus menundukkan kepala. Di dalam area makam Nyatok puluhan orang duduk mengelilingi makam terlihat khusuk berdoa. Ada yang berdoa menunduk tanpa suara dan membaca surah yasin. Ada juga yang menaburkan rampai kemudian membasuh wajah selepas bedoa dengan air.
Beberapa orang terlihat menaruh uang di atas badan makam sebagai amal. Uang itu nantinya akan diambil oleh petugas makam dan digunakan sebagai perawatan dan pengembangan makam.
Selepas berziarah, teman saya kemudian mengajak saya untuk melihat suasana sekitar. Terdapat dua bangunan bersebelahan dengan posisi salah bagunan lebih depan. Bangunan tersebut bertiang kayu dan beratapkan ilalang. Salah satu digunakan sebagai tempat berzikir peziarah laki-laki dan bangunan yang satu digunakan para perempuan untuk menaruh makanan yang dibawa dari rumah. Ada juga masyarakat yang beristirahat di bawah pohon rindang sambil menyantap bekal.
Sebelum bertolak pulang, kami singgah sejenak di salah satu lapak pedagang, di sana kami memesan kopi dan mencicipi tekel. Tekel ialah makanan khas Lombok yang dibuat dengan ketan, kemudian dicampurkan dengan kelapa parut. Dibungkus dengan janur kuning dan diikat dengan tali. Selama kami duduk, lalu lalang penziarah terus berdatangan semakin siang semakin ramai.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Nirma. Menyukai perjalanan dan menonton film.