Menulis adalah pekerjaan untuk menjaga agar api harapan terus menyala. Demikian kata Pramoedya.
Kawan, aku akan menuliskan kepadamu bagaimana kami para narapidana merayakan Idul Fitri di balik jeruji lapas kota kecil ini.
Kami di sini mungkin lebih beruntung daripada kau yang berada di luar sana. Kami bisa menjalani salat Id secara berjemaah. Ratusan orang, sehabis salat Subuh kami sibuk mempersiapkan diri. Akan tetapi, kami tidak bisa merayakan lebaran bersama orang tua, istri, anak-anak, ataupun sanak famili. Soal yang disebut terakhir ini, Kawan, kami barangkali tidak seberuntung kau.
Setelah melakukan salat Id berjemaah, kami berbaris lalu bersalaman dan berpelukan, merasakan buncah di dalam diri, rasa yang sama sebagai orang-orang yang senasib. Aku tidak dapat membendung rasa ini, melihat tatap-tatap mata yang tidak dapat berbohong akan rindu kepada orang-orang yang disayangi di luar sana.
Kehilangan momen. Mungkin itu yang pantas kami terima. Kehilangan momen berbakti kepada orangtua, melihat anak tumbuh, mencari nafkah untuk keluarga, mengejar cita-cita ataupun menatap wajah istri yang sedang terlelap.
Lapas memberikan fasilitas untuk melakukan video call di lebaran ini, dan juga menerima titipan barang dari keluarga. Di masa pandemi tidak ada besukan. Kami sangat memahami hal tersebut; satu orang terpapar maka mungkin kami yang ratusan orang ini akan terpapar juga karena kami hidup berkumpul.
Melakukan panggilan video dengan orangtua di kampung sana cukup membuatku bahagia. Bertatap dengan orangtua, saudara, dan juga keponakan membuat lara di dalam hati sedikit berkurang.
Kawan, mungkin kau tahu anggapan masyarakat di luar sana tentang kami yang di balik jeruji ini: sampah masyarakat, manusia tak berguna, hingga penjahat. Akan tetapi kami ini juga manusia sama seperti kau. Kami juga mempunyai rasa kasih sayang, dan juga rindu.
Rindu.
Aih, rasa ini, Kawan. Aduuuuh….
Hanya butuh setengah hari untuk silaturahmi sesama napi di lapas kota kecil ini. Sisanya kembali kepada rutinitas biasa. Menenun hari demi hari, entah seperti apa tenunan itu ketika aku bebas nanti.
Sebelum menutup cerita ini, aku mau memberitahukanmu: ada seorang perempuan yang hadir di dalam perjalananku di balik jeruji. Dia itu fans beratnya Pramoedya Ananta Toer. Sementara aku, sebelum ditangkap, cuma baru baca Bumi Manusia. Sebagai manusia Indonesia yang literasi rendah aku tidak terlalu banyak tahu tentang Pram.
Kawan, kami berinteraksi melalu surat-surat. Dia memintaku untuk membaca semua karya Pram. Dia mengirimiku beberapa buku dan tentu saja tiga dari Tetralogi Buru. Tidak hanya itu saja, aku juga mulai mencari literatur-literatur tentang Pram. Perempuan itu mencekokiku; mungkin dia tahu aku masih bodoh.
Setelah menamatkan Tetralogi Buru, aku kembali mengirimi dia surat menceritakan bahwa apa yang kurasakan selama melakukan perjalanan keliling Indonesia sama dengan apa yang terjadi di zaman Minke. Cuma, bedanya sekarang “dijajah” oleh bangsa sendiri. Cakar-cakaran sesama anak bangsa masih sama—apalagi aparatur-aparatur yang berlagak priyayi.
Kawan! Mungkin sebagai orang yang masih bodoh dan tidak sekolah tinggi ini, dicekoki tentang Pram bagiku adalah anugerah. Apalagi yang mencekokiku seorang perempuan—masih jomblo. Penderitaan yang kualami di balik jeruji mungkin hanya seupil dari penderitaan yang dialami Pram di pembuangan.
Yang terakhir, Kawan, kau pasti ingin tahu siapa perempuan jomblo yang mencekokiku itu, ‘kan? Perempuan itu aku kenal dari buku sejarah.
*) Nama penulis disamarkan demi melindungi privasi terkait statusnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.