Siang itu, belum ada satu butir nasi yang masuk ke perut sejak pagi. Saya lalu teringat beberapa hari sebelumnya, Rifqy merekomendasikan cukup banyak tempat makan yang bisa jajal satu per satu selama di Malang. Namun, hingga hari terakhir saya di sini, tak satupun yang sempat saya singgahi. Dengan impulsif, saya memutuskan untuk mencicipi salah satu dari daftar tersebut. Adalah rawon rampal—kuliner legendaris khas Kota Malang yang sudah ada sejak 1957—sebagai penutup perjalanan.
Ketika tiba, saya dihadapkan pada sebuah bangunan klasik layaknya rumah hunian berwarna cokelat–merah. Bentuknya memanjang ke belakang. Halamannya tak luas, hanya cukup untuk memarkir beberapa mobil saja. Di bagian depan, terpampang plang “RAWON RAMPAL” dengan warna senada. Posisinya begitu tinggi, sehingga saya harus melongok ke atas untuk membacanya dengan jelas.
Bagian dalam warung mengingatkan saya pada warung-warung serupa di kawasan Kota Lama Semarang. Lawas, terkesan. Kursi “kondangan” saya menyebutnya, tertata rapi di samping meja persegi panjang yang jumlahnya hanya empat buah. Di temboknya, selain tergantung menu warung ini, juga ada jam klasik dan beberapa foto tua. Saya tidak terlalu memperhatikan, tapi tampaknya foto tersebut merupakan foto “orang-orang penting” yang pernah berkunjung ke sini.
Segera saya mendatangi si empunya. Kaca lebar memisahkan kami saat berinteraksi. Mungkin untuk menaati protokol kesehatan. Seorang bapak paruh baya berkaus hijau yang menanggalkan maskernya di dagu, tampak sibuk di depan saya, ia mengambil piring dan menanyai lauk kepada pengunjung laki-laki yang berdiri di sebelah kanan saya.
Di belakangnya, aroma sedap menguar dari dua buah panci alumunium besar. Satu panci berisi kuah soto, satu lagi panci berisi kuah rawon. Gelembung-gelembung disertai suara air mendidih terdengar tipis. Mumpal-mumpal, kalau orang Jawa bilang. Dari baunya, terbayang rasa gurih di setiap tetesnya.
Usai menyiapkan pesanan laki-laki tadi, ia kemudian menanyai apa yang ingin saya makan. “Tiga porsi rawon rampal campur, yang satu porsi nasinya setengah saja,” jawab saya cepat. Masih dari bilik kaca, ia tampak cepat menyiapkan pesanan. Mengambil piring, menuangkan nasi putih, lalu menambahkan irisan daging sapi di atasnya. Terakhir, ia tuangkan kuah rawon dengan warna cokelatnya yang khas ke dalam piring, lengkap dengan topping kecambah mentah dan sambal.
“Ada tambahan lain?” tanyanya lagi sambil menyodorkan satu nampan berisi tiga piring nasi rawon rampal.
Karena tak ingin menambah menu lain, saya bergegas membawa nampan tersebut ke meja di depan. Menaruhnya satu per satu di hadapan masing-masing kawan jalan saya seraya berkata “Nih, makan enak kita hari ini.”
Saya punya cara tersendiri untuk mencicipinya, yakni dengan menyeruput kuah rawon untuk merasakan kelezatannya, lalu melanjutkannya dengan menyantap irisan daging sapi yang punya potongan cukup besar, tebal, tetapi empuk. Baru setelah menyantap kesemuanya bersama nasi. Sempurna untuk saya.
Memang tidak salah jika orang banyak rekomendasikan kuliner satu ini, kelezatannya yang tersohor sangat terbukti. Aroma gurih hingga rasa rempah-rempah yang kuat, membuat saya tak berhenti mengunyah. Selain menggunakan resep turun-temurun, cara memasak yang masih tradisional menggunakan kayu bakar menjadi satu rahasia umum yang menjadikan Rawon Rampal punya rasa dan aroma khas.
Seporsi Rawon Rampal pun ludes kurang dari 10 menit. Sisa-sisa kuah rawon yang pekat tanpa lemak saya seruput habis. Sungguh tak rela menyisakannya.
Usai si empunya memperbolehkan saya melihat-lihat dapur, saya menuju para ibu yang sedang asik berbincang sembari mengiris daging sapi.
“Niki daging kagem rawon kaleh soto, Bu?” “Nggeh, Mbak,” jawabnya serentak.
Di depan mereka, agak ke sebelah kanan, deretan tungku-tungku besi yang nampak sudah berkarat namun nampak kokoh berjajar. Apinya sudah padam, hanya abu yang tersisa. Ada sekitar lima tungku seingat saya, kesemuanya digunakan untuk memasak daging, hingga kuah. Dua buah panci besar dan satu wajan besar “nangkring” di atasnya. Ketika saya tanya isinya apa, salah seorang ibu menjawab isinya adalah stok kuah rawon untuk hari ini.
Untuk sajian esok hari, dapur Rawon Rampal sudah bersiap meraciknya hari ini. Tentu, mereka harus memasak berpanci-panci besar kuah rawon dan pelengkap lainnya. Para ibu tampak asyik mengiris daging, kemampuan mengiris dagingnya tampak tak jauh beda dengan pedagang tempe mendoan. Iris tipis-tipis untuk paru sebagai menu pelengkap, sedangkan iris tebal untuk daging rawon.
“Senjata” mereka juga lengkap. Selain pisau besar, asahan dari pisau yang terbuat dari batu selalu ada di sampingnya. Sesekali kami bercanda sembari berbincang. Supaya tak dikerumuni lalat, sebuah kipas angin menyala di sisi para ibu. Menghempas serangga dari ordo Diptera ini. Di belakang mereka, seorang ibu lain sedang “memberesi” cabai dan beberapa rempah lain untuk bumbu.
Saya kembali ke dalam warung. “Satu panci rawon itu bumbunya satu kilogram,” ujar si Bapak sembari mengaduk-aduh kuah rawon untuk memisahkan endapan bumbunya. Sesaat kemudian, saya melunasi hidangan yang sudah masuk ke dalam perut dan berpamitan. “Wah, lumayan juga ya Rp50.000 untuk satu porsi rawon rampal. Tapi sebanding sama rasanya sih,” celetuk saya kepada dua rekan perjalanan sembari berjalan ke tempat parkir.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.