Semasa Corona

Dalgona dan Melodi “Pupus”

Pandemi mengajarkan saya cara membuat kopi dalgona.

Suatu hari, Nyonya berkata bahwa ia akan meracik sebuah minuman yang sedang viral di Instagram. Ketika ia menyebut nama minuman itu, telinga saya salah dengar. Telinga kiri sedang cuek, sementara telinga kanan masih mengantuk.

“Drogona?”

Nama itu bikin saya ingat Khal Drogo, salah seorang tokoh sangar dalam serial terbaik sepanjang masa (menurut saya): Game of Thrones.

“Bukan,” katanya. “Dalgona.”

Ia beri penjelasan sedikit soal minuman itu. Katanya, itu minuman viral setelah diminum oleh seorang artis Korea Selatan. Jangan minta saya menyebutkan namanya. Nama Korea yang saya hafal cuma Komang, Mekanin, Gwedopang, Ahn Jung-hwan, Park Ji-sung, Ban Ki-moon, dan tiga generasi keluarga Kim di utara.

“Mirip latte,” ujarnya. “Tapi kalau yang ini yang jadi topping kopi, bukan susu.”

Saya bayangkan sebentar. Ternyata sukar.

Lalu ia ke dapur. Beberapa menit kemudian ia kembali lalu berkata, “Nggak bisa.”

Saya tertantang.

“Sini aku bikin,” ujar saya.

Saya lalu ke dapur. Saya tanya bahan-bahannya. Kopi (kami hanya punya kopi yang digiling kasar), gula, air, katanya. Setelah semua ada di mangkuk, saya ambil saringan teh untuk mengaduk mangkuk berisi calon kopi dalgona itu. Saya aduk dengan bersemangat. Satu menit, lima menit, sepuluh menit. Harusnya lima menit sudah jadi. Daging di persimpangan antara telapak tangan dan jari kelingking saya mulai perih. Rasanya seperti habis diamplas. Semangat menipis. Setelah lima belas menit menjadi alat pengaduk, saya menyerah.

“Nggak bisa,” ujar saya, memperlihatkan kepadanya kubangan hitam dalam mangkuk.

Tapi saya masih penasaran. Ia ternyata sedang membuka-buka video tutorial membuat dalgona di YouTube. Saya nimbrung. Memang cepat sekali mbak-mbak di video itu membuatnya. Mbak-mbak di kanal YouTube itu sedang memamerkan adonan dalgona yang mengental dan berbuih. Sungguh lihai. Saya hampir tak bisa membedakan apakah ia sedang meracik adonan dalgona atau sekadar membolak-balik telapak tangannya. Kurang dari lima menit jadi.

“Kayaknya mesti pakai kopi tanpa ampas, deh,” Nyonya menarik kesimpulan.

Keesokan harinya, sepulang belanja bahan-bahan makanan, Nyonya dengan gembira mengeluarkan kopi tanpa ampas—dan sebuah pengaduk adonan berwarna hijau. Ia ambil mangkuk, dimasukkannya bahan-bahan ke dalam wadah itu, lalu ia beraksi membuat adonan dalgona. Kopi tanpa ampas itu bekerja dengan baik. Sebentar kemudian, dua gelas kopi dalgona terhidang di meja. Embun menggumpal di bagian luar gelas kemudian meliuk-liuk turun perlahan-lahan ditarik gravitasi.

Ada sensasi aneh waktu menyeruput kopi (atau susu?) dalgona pertama kali. Susu dan adonan kopinya terasa sama-sama keras kepala dan hanya menyatu ketika sudah sama-sama mengisi rongga mulut.

Tapi enak. Saya suka. Sejak hari itu, sering sekali saya membuat kopi dalgona.


Pandemi juga mengajarkan saya memainkan solo—melodi gitar—lagu “Pupus.”

Ketika masih aktif bermain musik waktu SMP dulu, memainkan melodi lagu “Pupus” adalah hal yang mustahil bagi saya. Sebab pertama, grup band kami memainkan cover lagu-lagu beraliran pop punk gubahan Green Day dan Blink-182. Sebab kedua, kemampuan bermain gitar saya tak mendukung untuk itu. Saya pernah les gitar di sebuah kursusan, waktu SMP kelas 2. Tapi saya kabur di bulan kedua karena bosan; setiap pertemuan hanya diisi dengan latihan senam jari—ascending dan descending dan picking. Jadi, malas senam membuat jari-jari saya kaku seperti akar bonsai. Akibatnya, skill saya cuma mentok pada memainkan power chord dan melakukan palm-muting.

Sebenarnya ada sebab ketiga: tahun 2002, ketika Cintailah Cinta—album Dewa yang di dalamnya ada lagu “Pupus”—dirilis, YouTube belum ada. (Itu adalah masa kejayaan majalah MBS.) Saya bahkan belum pernah sepertinya mendengar istilah “tutorial.” Di SMA, beberapa tahun setelah itu, sebenarnya ada kawan yang jago sekali main gitar. Saya yakin sekali dia bisa memainkan melodi “Pupus.” Tapi saya terlalu gengsi untuk belajar kepadanya.

Tapi saya tak berhenti main gitar selepas SMP. Saya terus menggenjreng gitar. Selera musik saya pun makin fleksibel. Ketika kuliah, amarah masa remaja saya mula mereda dan saya mulai menikmati musik-musik dari genre yang secara musikalitas lebih disiplin ketimbang pop punk.

Masa-masa yang begitu mengasah kemampuan main gitar saya adalah ketika dapat lungsuran gitar kopong bersenar nilon hampir hancur dari kawan saya, yang di belakang tabung resonansinya ada stiker Prosus Inten warna kuning. Senarnya, ketika gitar itu pertama kali tergeletak di kamar saya, ada lima. Selang sebentar, satu senar lagi putus. Dengan sisa empat senar itu saya belajar banyak lagu—juga melatih jari-jari kiri menari-nari pada pola diatonik dan pentatonik.

Malam-malam di sekretariat organisasi juga berperan dalam memelihara kemampuan bergitar saya. Pencapaian saya di masa itu—ketika indeks prestasi pada kartu hasil semester terlalu memalukan untuk dicetak—adalah berhasil memainkan lagu “KKEB” yang dinyanyikan Andre Hehanusa. Buat amatiran, ya, ini adalah sebuah pencapaian.

Jari-jari saya pun semakin luwes. Kelingking yang waktu SMP tak berdaya sekarang bisa diandalkan untuk menjangkau fret-fret yang mustahil dicapai jari manis. Sekarang saya sudah santai saja memainkan intro “Little Wing.”

Kelincahan jari saya—dan asam garam kehidupan yang sudah dilaluinya—akhirnya menemukan alasannya ketika pagebluk. Bosan dalam ruangan, saya mencari cara untuk melewatkan waktu. Mengombinasikan YouTube, Spotify, dan situs web Ultimate Guitar, saya belajar lagu-lagu baru.

Selama beberapa waktu, saya tenggelam dalam “Starman” dan “Space Oddity” yang dinyanyikan David Bowie. Lalu Spotify membawa saya pada “Don’t Speak,” lagu legendaris No Doubt. Sudah lama saya ingin belajar solo “Don’t Speak” yang memikat itu. Lewat mendengar, saya berhasil menemukan beberapa baris nada. YouTube membantu saya menemukan sisanya. “Don’t Speak” saya ulang terus sampai bisa memainkannya sambil merem-melek.

Lalu, merasa percaya diri, beberapa hari yang lalu saya mencari tantangan lebih. Dan langsung saja saya memikirkan “Pupus.” Tapi apa saya bisa belajar solo lagu legendaris itu dengan gitar kopong yang fret atasnya sudah banyak yang mati ini? Sempat saya ragu. Jangan-jangan “Pupus” masih jauh dari rengkuhan saya. Tapi saya cuma ingin belajar. Rasa-rasanya tak ada yang salah dari itu. Lihat saja nanti.

Saya jelajahi YouTube. Ada satu video yang tampaknya menarik, kanalnya Sobat P. Judul videonya, saya tulis sebagaimana adanya, “Tutorial Gitar Melodi Dewa 19 – PUPUS By Sobat P [Detail & Slow Tempo].” Ah, cocok. Saya perlu yang detail dan “slow.”

Sobat P saya simak dari awal hingga akhir, lalu saya ulang-ulang. Sakti juga dia. Sakti tapi begitu rendah hati. Kerendahan hati Sobat P membuat saya bisa memainkan solo “Pupus” hampir sampai akhir. Saya menemukan masalah ketika mesti mencapai fret-fret atas dan melakukan “bending” maut alat Andra Ramadhan. Tapi, sembari menemukan cara mengatasi lick pamungkas itu, saya ulang-ulang terus nada-nada awal solo “Pupus.”

Malamnya saya hampir tak bisa tidur. Sebelum mengistirahatkan badan, saya sempatkan menonton beberapa tutorial “Pupus” yang lain. Saya teliti cara mereka memainkan nada-nada tinggi dan cara jari mereka menari-nari di leher instrumen itu. Tak ingat saya memang, tapi bisa jadi malam itu saya mimpi memainkan solo lagu Dewa itu.

Keesokan harinya, seperti hari-hari lain semasa pandemi, saya bangun menjelang tengah hari. Saya langsung mengambil gitar dan melatih kembali jari-jari saya untuk memainkan “Pupus.” Berpuluh-puluh kali repetisi kemudian akhirnya saya bisa memainkan solo “Pupus” sampai tuntas. Saya bahagia meskipun jari-jari saya merana. Terus saja lagu itu saya ulang-ulang. Saya sampai mencari backing track lagu itu demi melatih kemampuan menyesuaikan permainan gitar dengan tempo lagu. Saya, saya ulangi lagi, bahagia.

Sampai naskah ini ditulis, saya masih tak percaya bisa memainkan solo “Pupus.” Nada-nada syahdu yang dicuplik Andra Ramadhan dari pustaka Semesta itu, bagi saya, seolah-olah memuai, membuka, menampakkan detail-detailnya yang selama ini tersembunyi oleh kecepatan kehidupan saya, ketika pagebluk ini, dan membuatnya bisa dimengerti amatiran kelas teri seperti saya ini.

Omong-omong, kumis baplang saya baru saja dipotong tadi sore. Agak sedih sebenarnya, sebab mulanya saya ingin memelihara kumis itu sampai vaksin COVID-19 ditemukan. Entah kapan. Tapi, kumis cuma benda. Saya masih punya resep dalgona dan solo gitar “Pupus” untuk dijadikan kenang-kenangan semasa corona. Dua hal itu, saya yakin, takkan pernah hilang, sebab ia tertanam dalam kenangan. Meskipun suatu saat kedua hal itu takkan lagi saya ingat karena sudah pikun, ia akan tetap ada dalam jaringan otak saya, menempel di lokus-lokusnya, dan akan kembali menyatu dengan Semesta ketika saya akhirnya menutup mata.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *