NusantarasaTravelog

Claypot Popo Pukul 5 dan Pempek Cawan Putih Sebelumnya

“Mbak masih tutup. Baru buka lagi jam 5.”

Kalimat itu terus muncul dari saya selama beberapa kali ketika kebanyakan tamu Claypot Popo datang celingak-celinguk ingin dine in di kedai makanan Cina daerah Sabang itu. Hasil duduk — bengong — ngobrol — makan roti srikaya — menginformasikan kedai tutup ke banyak orang — akhirnya berbuah manis. Pukul 5 kurang, bak tamu kehormatan, saya bersama Gema sudah diberi jalan khusus membelah antrian sebagai pengunjung pertama yang masuk ke Claypot Popo setelah terpaksa menunggu nyaris satu jam karena masih penuh dan resto rehat sejenak.

Saya lekas menghampiri seorang kasir berkerudung dengan wajah tampak mulai lesu di bawah tangga. Pesanan saya kala itu menu yang belum pernah saya coba sebelumnya: nasi telur dadar. Untuk Gema yang baru pertama berkunjung, misua telur asin mungkin jadi salah satu pilihan yang cukup tepat. Bakso goreng yang berdesakan di toples besar sempat menggoda, tapi saya urungkan mengingat belum lama melahap 3 roti kukus. Dan sembari saya memesan, Gema lekas ke lantai dua untuk ambil posisi andalan saya dan kawan-kawan biasa ke sini: loteng.

Dihiasi beberapa lampion mini yang menggantung seadanya dan meja serta kursi ala kadarnya pula, kami santap makan malam yang lebih awal dari seharusnya. Chilli oil tentu wajib siap di atas meja untuk menambah cita rasa menu yang entah mengapa tingkat kepanasannya tidak seperti biasa. Sesekali lalu lintas Sabang yang belum begitu padat terlihat dari celah dinding seng menambah keseruan petang itu pada penghujung Mei 2022.

Nasi telur dadar di Claypot Popo
Nasi telur dadar dan misua telur asin di Claypot Popo/Dewi Rachmanita Syiam

Nasi telur dadar di Claypot Popo bukan sembarang menu biasa. Walau tergolong menu sederhana, tapi cita rasanya dahsyat. Nasi yang berada di bagian paling bawah bukan sembarang nasi putih. Ia memiliki harum yang semerbak dan rasa gurih hasil tumisan bersama sedikit sayuran serta bawang putih. Di atasnya telur dadar yang punya tekstur maupun kegurihan yang pas pula. Perawakannya tak seperti telur dadar nasi padang maupun telur dadar gobal gabul yang minyaknya melimpah. Telur dadar di Claypot Popo seperti telur dadar rumahan yang buat kita semakin rindu kehangatan masakan ibu atau nenek.

Sedangkan misua telur asin memang menjadi menu andalan banyak orang. Misua dimasak dengan kematangan yang pas atau al dente bila disandingkan dengan pasta dari Italia. Kehalusan dan ketipisan mi itu berbalut apik dengan campuran telur asin yang tidak amis. Bumbu gurih menjadikannya sajian hangat nan lezat. 

Perjalanan saya dengan Gema ke Claypot Popo sebenarnya random. Sehabis menemani Gema makan pindang patin, saya yang hanya makan tekwan masih lapar dan sudah kepikir santap nasi telur dadar. Mengunjungi Pempek Cawan Putih untuk makan pindang dan tekwan pun random bin tak terencana. Dari yang semula ingin ke Bogor, lalu Pasar Baru, berujung makan di Sabang. Aneh sekali.

“Kalau ketahuan Emak gue makan pindang pakai sendok garpu, bisa diomelin gue,” kata Gema sembari menyiapkan tangannya untuk segera melahap nasi yang menguning setelah tercampur kuah pindang yang segar meski cenderung agak manis.

Pindang patin
Pindang patin/Dewi Rachmanita Syiam

Pindang patin di Pempek Cawan Putih daerah Sabang juga mungkin dapat dikatakan cukup otentik. Menurut beberapa kawan yang asal Sumatera sih demikian. Hal itu salah satunya bisa terlihat dari cara penyajiannya dengan wadah khusus. 

Pindang patin sendiri merupakan panganan khas Palembang dan mungkin daerah sekitarnya yang masih rumpun Melayu. Pengolahannya pun gampang-gampang susah, terlebih memang dahulu disajikan di tengah aktivitas masyarakat yang padat sehingga membutuhkan olahan yang praktis. Selain patin, pindang juga biasa dimasak bersama bahan-bahan lain, seperti udang, belida, dan lainnya. Bumbunya pun khas Indonesia yang kaya rempah: kunyit, serai, lengkuas, cabai, dan asam kandis. 

Walau sepertinya ada penyesuaian rasa untuk orang Jawa yang cenderung suka manis, pindang patin di resto yang tak begitu besar di bilangan Sabang itu patut dikunjungi kembali, apalagi harganya pun masih terjangkau.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.

Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mencicipi Kue Karawo yang Dihiasi Lukisan Tangan Para Ibu Gorontalo