Biasanya di hari Minggu aku menyempatkan diri untuk berolahraga. Seperti lari, jalan kaki, atau sekedar bersepeda. Namun, hari Minggu pagi ini sedikit terasa berbeda karena aku berencana mengikuti kegiatan memotret suasana Pasar Jatingaleh bersama kawan-kawan dari komunitas Hunting Pasar Semarang.
Sebelum pandemi COVID-19, komunitas Hunting Pasar Semarang rutin mengadakan kegiatan memotret suasana pasar tradisional. Berpindah dari satu pasar ke pasar lainnya. Namun pada tahun 2020, saat pandemi COVID-19 melanda, mereka vakum mengadakan kegiatan selama beberapa waktu.
Penghujung tahun 2022, situasi pandemi membaik. Komunitas ini kembali menggeliat. Tetapi sayangnya, beberapa kali kegiatan dibatalkan karena di hari berlangsungnya acara, hujan turun sepanjang hari. Dan, akhirnya Pasar Jatingaleh menjadi pasar pertama yang mereka kunjungi setelah hiatus selama hampir tiga tahun.
Aku, yang gemar blusukan ke pasar-pasar tradisional sudah sudah sejak lama penasaran kegiatan ini. Secara kebetulan, Pasar Jatingaleh terletak tidak jauh dari rumahku. Pun, Pasar Jatingaleh memiliki bentuk bangunan yang unik dan cerita sejarah yang sangat panjang. Alasan-alasan tersebutlah yang membawaku hadir pagi itu.
Sejarah Singkat Pasar Jatingaleh
Keberadaan daerah Jatingaleh tidak lepas dari cerita Sunan Kalijaga, saat itu beliau sedang mencari pohon jati yang akan digunakan sebagai tiang Masjid Agung Demak. Di daerah ini, Sunan Kalijaga menemukan pohon jati yang ketika ditebang bukannya roboh, tetapi malah berpindah tempat (ngaleh). Oleh sebab itu, Sunan Kalijaga memberikan nama Jatingaleh (pohon jati yang berpindah) untuk tempat ini.
Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda menjadikan Jatingaleh—yang berbatasan langsung dengan daerah perbukitan Gombel—sebagai daerah perbatasan di bagian selatan Kota Semarang. Bahkan Belanda mendirikan sebuah pos perbatasan di sini. Orang-orang yang melintasinya berasal dari Kabupaten Semarang, Ungaran, Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya.
Jatingaleh terus berkembang pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari munculnya perkampungan-perkampungan warga. Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun sebuah pasar karena di dekat sana juga terdapat sebuah markas militer. Sekitar tahun 1930–1931, arsitek asal Belanda yang bernama Thomas Karsten diberi kepercayaan untuk membangun Pasar Jatingaleh.
Ciri khas Pasar Jatingaleh terletak pada tiang yang berbentuk seperti cendawan atau jamur dan ventilasi pada atap bangunan. Ventilasi tersebut berfungsi sebagai sirkulasi udara dan sumber penerangan alami pada pasar.
Pasar Jatingaleh menjadi pasar rintisan dengan konsep tiang cendawan yang kemudian diterapkan oleh Thomas Karsten pada pembuatan Pasar Johar tahun 1936. Ia berharap, kelak Pasar Johar akan menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara pada masanya.
Memotret Suasana Pasar Jatingaleh
Terhitung ada tujuh orang mengikuti kegiatan ini. Semuanya laki-laki. Kami mengawali kegiatan dengan berdoa, perkenalan diri, dan tentu saja mempraktikkan beberapa arahan yang diberikan selama kegiatan berlangsung. Arahan tersebut salah satunya yakni, kami harus meminta izin kepada pedagang atau siapa pun yang akan kami potret. Sebuah hal dasar sebagai bentuk menghormati dan persetujuan kepada orang tersebut.
Tidak ada rute khusus ketika berkeliling Pasar Jatingaleh. Kami memasuki pasar melalui pintu utama, kemudian berpencar sesuai dengan keinginan masing-masing. Begitu menginjakkan kaki di dalam pasar, tiang-tiang cendawan dan ventilasi berukuran besar yang menjadi ikon dari bangunan Pasar Jatingaleh menyambut. Kondisi bangunan pasar pun masih berdiri kokoh meski telah melewati perubahan zaman.
Para pedagang dan pengunjung tidak terkejut melihat kami yang berkeliling pasar sambil membawa kamera di tangan. Sepertinya mereka sudah tahu jika kami sedang memotret di Pasar Jatingaleh. Barangkali, mereka sudah biasa melihat orang-orang seperti kami ini. Pun, para pedagang juga tidak keberatan ketika kami meminta izin untuk memotret mereka. Bahkan beberapa dari mereka malah meminta untuk kami potret.
Aku menekan tombol shutter secara perlahan. Mengabadikan keadaan pasar dan para pedagang yang sedang beraktivitas. Terus berkeliling pasar sambil melihat aktivitas para pedagang melayani pembeli. Saking asyiknya, tiba-tiba aku sudah berada di bagian belakang pasar. Di sini aku berhadapan dengan dua kios penggilingan daging.
Suasana tampak lebih sepi pengunjung jika dibandingkan bagian utama pasar. Namun, suara mesin penggiling daging sangatlah berisik. Suara bisa memekakkan telinga, meskipun aku berada di luar kios. Para pegawai tampak tidak terganggu dengan suara mesin tersebut. Mereka tetap tenang saat memasukan daging dan tepung ke dalam mesin. Di dinding kios tertulis harga jasa penggilingan daging. Harga tersebut belum termasuk dengan tepung, bumbu, dan bahan lainnya. Kios ini juga menjual tepung dan bahan lainnya sebagai bahan pelengkap adonan bakso.
Biasanya, permintaan penggilingan daging meningkat pada Hari Raya Iduladha. Orang-orang yang mendapatkan daging kurban, hanya perlu membawa daging yang sudah dibersihkan ke kios ini. Menggiling, dan mengolahnya bersama bumbu dan tepung sesuai takaran hingga menjadi adonan bakso.
Pasar Jatingaleh seperti halnya pasar tradisional lainnya. Ada berbagai macam kios, mulai dari kios daging, ikan, kelontong, sayur, jajanan, hingga kios pakaian. Dari semua kios yang ada, kios bumbu dapur milik pasangan suami istri menarik perhatianku.
Aku berhenti dan mengobrol dengan berbincang dengan mereka. Sayangnya, aku lupa menanyakan nama mereka berdua. Dari cerita mereka, aku tahu bahwa mereka sudah lebih dari 30 tahun berjualan di sini.
“Pada awalnya kami berjualan beras dan sembako, Mas.”
“Karena banyak saingan, akhirnya kami beralih menjual bumbu dan rempah-rempah,” jelas ibu penjual bumbu.
Selain menjual bumbu dan rempah, mereka berdua juga menjual jamu racikan, dan meracik bumbu aneka makanan seperti rendang, gulai, juga tengkleng.
Bisa dibilang bumbu dapur dan rempah-rempah di kios ini lengkap. Ada jahe, kunyit, kencur, temulawak, lengkuas, pala, kapulaga, daun salam, daun jeruk, hingga kayu manis. Mereka mendapatkan pasokan bumbu dapur dan rempah-rempah dari petani di sekitar Kota Semarang. Mulai dari Salatiga, Kabupaten Semarang, hingga Boyolali.
Pagi itu, saat tangan sang istri sibuk meracik bumbu, mulutnya memberikan banyak sekali penjelasan mengenai manfaat masing-masing rempah. Aku seperti sedang mengikuti sebuah kelas perkenalan aneka rempah Nusantara. Sama halnya dengan penggilingan daging, permintaan bumbu dapur meningkat ketika Hari Raya Iduladha. Saat orang-orang memiliki banyak persediaan daging kurban.
Sebenarnya perkenalanku dengan pasangan suami istri ini sudah terjadi saat aku masih kecil. Ibuku sering mengajakku ke kios ini. Di kios ini, ibuku sering membeli bumbu dapur dan jamu racikan. Dari dulu hingga sekarang, ibu menjadi pelanggannya. Tak jarang, ibu mendapatkan tambahan bumbu dan rempah-rempah dari pasangan suami istri ini.
Penjual bumbu dapur dan rempah-rempah di Pasar Jatingaleh tidak banyak. Hanya ada 2–3 kios saja. Kios milik pasangan suami istri ini merupakan yang terlengkap jika dibandingkan kios lain.
Aku lalu pamit dan berterima kasih kepada keduanya karena telah mengizinkan singgah, berbincang banyak hal tentang rempah, hingga memotret aktivitas mereka. Kemudian, aku menyusul teman-teman Hunting Pasar Semarang yang sedang beristirahat di bagian pasar.
Kegiatan ini ternyata menyenangkan. Di setiap sudut pasar tradisional, aku menemukan aktivitas yang melibatkan masyarakat dengan berbagai status sosial dan latar belakang. Jika ada kesempatan lain lagi, akan aku akan mengulangi apa yang sudah aku lakukan hari ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.