Setelah dua tahun tak digelar akibat pandemi, tradisi samenan kembali dihelat di berbagai sekolah di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kemeriahan pun tumpah. Guru, siswa, dan para orang tua berbaur dan berpawai bersama. Adapun warga sekitar sekolah ikut meraup cuan dari dagangan yang mereka tawarkan di sepanjang acara samenan.
Kamis (22/6/2023) pagi, jalan kecil di depan SDN Mandalasari, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, telah dipenuhi oleh para pedagang. Padahal, hari-hari biasa, jalan tersebut merupakan zona terlarang untuk mereka. Tapi, khusus hari itu, mereka diperbolehkan menggelar dagangan.
Dua orang ibu muda agak terhuyung menggotong dongdang melewati para pedagang. Kedua ibu itu kemudian masuk ke area sekolah yang terlihat mulai ramai.
Dongdang (bahasa Sunda) adalah tempat membawa makanan atau barang hantaran saat hajatan atau pesta maupun peristiwa istimewa lainnya.
Dongdang yang dibawa kedua ibu muda itu telah dihias dan terisi dengan sejumlah makanan ringan. Tak lama kemudian muncul pula beberapa ibu lainnya yang membawa dongdang berbeda.
Dongdang tersebut nantinya akan digotong dalam arak-arakan pawai samenan hari itu. Masing-masing kelas menyiapkan satu dongdang.
Sementara itu, di seberang sekolah, di sebuah tanah lapang, kelompok marching band siswa tengah melakukan persiapan. Adapun di beberapa sudut sekolah, terlihat beberapa ibu tengah mendandani putra-putrinya yang hendak ikut pawai dan juga akan tampil dalam pentas seni.
Samenan merupakan tradisi yang selama berpuluh-puluh tahun di gelar di banyak sekolah di seantero Kabupaten Sukabumi. Selain sebagai ajang acara perpisahan kelas enam, samenan ini juga menjadi ajang perayaan kenaikan kelas. Tak sedikit sekolah di Kabupaten Sukabumi memulai ritual samenan-nya dengan melakukan pawai terlebih dahulu.
Menilik asal-usul katanya, samenan boleh jadi berasal dari kata ‘samen’ (bahasa Belanda). Glosbe, kamus online Belanda-Indonesia, memberi terjemahan kata samen sebagai ‘bersama’, ‘bareng’, ‘bersama-sama’.
Di acara samenan, siswa, guru, dan juga para orang tua memang berkumpul bersama-sama. Mereka berkumpul untuk melepas siswa yang telah lulus dan juga untuk merayakan para siswa yang berhasil naik kelas.
Menurut, pengamat sejarah Sukabumi, Irman Firmansyah, seperti dikutip Bachtiar Chamsyah (2022), selain berasal dari kata ‘samen’, kemungkinan lain samenan berasal dari frasa bahasa Belanda yakni ‘slagen voor het examen’, yang bermakna lulus ujian.
Terlepas dari asal-usul sejarah katanya, tradisi samenan yang telah rutin dihelat saban tahun di Kabupaten Sukabumi ini sempat terhenti setidaknya selama dua tahun gara-gara pandemi COVID-19. Baru pada tahun 2023 inilah acara samenan kembali digelar di sekolah-sekolah di Kabupaten Sukabumi, termasuk di SDN Mandalasari.
Antusias siswa, guru, orang tua, dan warga sekitar sekolah pun begitu kentara menyambut samenan pertama kali yang digelar pasca pandemi ini.
Maka, begitu aba-aba pawai samenan SDN Mandalasari pagi itu segera dimulai, para siswa dan para orang tua bergegas berbaris dalam kelompok masing-masing. Adapun warga langsung berjejer di tepi jalan untuk melihat pawai arak-arakan samenan.
Tak lama, dentuman bass drum berbaur dengan tabuhan snare drum terdengar. Disusul kemudian dentingan xylophone yang ditingkahi bunyi cymbal dan disambung dengan suara pianika. Barisan pawai samenan pun mulai bergerak.
Beberapa guru senior berjalan berdampingan dan berada di barisan paling depan. Di belakang mereka adalah kelompok marching band. Baru kemudian kelompok siswa dan para orang tuanya. Sejumlah orang tua berjalan di dalam barisan sembari menggotong-gotong dongdang.
Guru-guru yang lain ada yang ikut masuk dalam barisan. Sementara beberapa lainnya mengawal pawai dari sisi kanan dan belakang.
Terlihat sejumlah orang tua keluar barisan dan sibuk mengabadikan putra-putrinya yang tengah berpawai, menggunakan ponsel berkamera. Ada yang memvideo. Ada pula yang memotret. Begitu juga warga yang melihat iring-iringan pawai, sebagian ikut mengabadikan pawai samenan itu dengan ponsel mereka.
Dari depan sekolah, pawai samenan SDN Mandalasari berjalan ke arah timur, ke daerah Tando. Saya ikuti pawai tersebut. Saya berjalan di pinggir kelompok marching band yang mengenakan seragam dengan dominasi warna merah. Terdengar nyaring lagu “Naik Becak” karya Ibu Sud dimainkan oleh kelompok marching band itu.
Begitu sampai di daerah Tando, rombongan pawai samenan SDN Mandalasari berhenti sejenak untuk mengatur dan merapikan barisan. Lantas, mereka berputar arah menuju daerah Selakaso untuk kemudian kembali ke sekolah mereka.
Sampai di sekolah, peserta pawai langsung beristirahat. Sebagian siswa dan orang tuanya langsung menyerbu penjual makanan dan minuman yang sejak pagi telah bersiap menggelar dagangan mereka di depan sekolah.
Kelar istirahat, para siswa dan orang tua berkumpul di depan panggung sederhana yang berdiri tepat di halaman tengah sekolah. Mereka mengikuti prosesi pelepasan siswa kelas enam. Sangat boleh jadi ada setangkup rasa haru menyelinap dalam benak mereka yang hadir tatkala di ujung prosesi, para siswa kelas enam itu naik ke atas panggung dan menyanyikan lagu “Pileuleuyan” (bahasa Sunda), yang secara harfiah artinya selamat tinggal.
Beres prosesi pelepasan siswa kelas enam, acara samenan dilanjutkan dengan pentas seni antar kelas yang menampilkan aneka ragam seni kreasi siswa dari tiap-tiap kelas.
Tepuk tangan susul-menyusul bergemuruh sebagai apresiasi untuk masing-masing penampilan yang telah usai ditampilkan di atas panggung.
Celetukan guyon dalam bahasa Sunda dan gelak tawa kadang terdengar dari beberapa sudut halaman sekolah, baik yang dekat dari panggung maupun yang agak jauh dari panggung. Semua terlihat senang dan gembira.
Di depan sekolah, para pedagang terlihat menebar senyum sumringah lantaran cuan yang berhasil diraup berkat acara samenan.
Acara samenan di SDN Mandalasari hari itu berlangsung hingga ba’da Ashar. Momen ini mungkin saja bakal menjadi kenangan tersendiri bagi para siswa dan mungkin bakal selalu diingat hingga puluhan tahun ke depan saat mereka menua, sebagai bagian dari kisah indah masa kecil mereka tatkala duduk di bangku sekolah dasar, yang tidak bakal pernah terulang lagi hingga kapan pun.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.