Interval

Menyigi Brenggolo dengan Kopi dan Kolaborasi

Pariwisata bisa melengkapi pengembangan kopi robusta Brenggolo di masa mendatang. Ada dua jalan, yaitu cara termurah yang mudah dan melenakan atau cara termahal untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rony Tri SP, Rifqy Faiza Rahman, dan Wonogirich


Usai tur kebun, panitia Suro Brenggolo 2023 membagi peserta menjadi tiga kelompok besar. Dua kelompok pria diinapkan di dua rumah yang terletak dekat dengan kantor Poktan Argo Wilis. Sementara kelompok perempuan menginap di rumah warga tak jauh dari masjid dusun di timur laut. Tim TelusuRI bersama enam pegiat kopi dari Wonogiri dan Sukoharjo menempati rumah milik Pak Narimo (68), yang berada di seberang kediaman Pak Doni—halamannya jadi tempat parkir kendaraan peserta.

Sama seperti petani kopi lainnya, rumah Pak Narimo tidak lepas dari segala pernak-pernik berbau kopi. Halaman rumah terpakai untuk menjemur kopi. Sudut ruang tamu, tempat peserta tidur, tersimpan setidaknya 10 karung berisi biji kopi dengan bobot masing-masing lebih dari setengah kuintal. Bahkan di kamar cucunya, Bayu Saputra, yang memiliki interior kekinian, tertempel aneka quotes tentang kopi dan kehidupan. Terakhir, yang hampir selalu ada sepanjang waktu, segelas kopi panas. Kopi seakan telah menyatu dalam nadi dan darah Pak Narimo dan warga Gemawang. Tiada hari tanpa kopi. Dalam satu hari, minimal empat gelas kopi hitam robusta harus masuk ke lambung. Jika kurang dari itu, menurut Pak Narimo, “Perutku malah kembung, ndas iso ngelu (kepala bisa pusing).”

Menyigi Brenggolo dengan Kopi
Pak Narimo (membawa cangkul, dua dari kanan) usai mendampingi Mbah Sadiman menanam bibit pohon beringin dekat mata air bersama pegiat kopi lainnya/Deta Widyananda

Jika tidak salah ingat, saya dan tim sudah meneguk kopi empat kali dalam waktu kurang dari delapan jam sejak kedatangan. Masing-masing segelas di acara pembukaan, setelah tur kebun, di rumah Pak Narimo, dan malam tasyakuran 1 Suro. Apa yang dialami Pak Narimo tentu sangat berlawanan dengan kami, khususnya Deta, fotografer TelusuRI. Semalaman dia bergelut dengan sakit kepala dan perut kembung karena “efek samping” kebanyakan kopi.

Budaya kopi yang menjalar di Brenggolo, dengan sendirinya, sudah menjadi daya tarik nilai lokal yang khas. Menurut pandangan saya, Gemawang jangan hanya berjalan di zona nyaman menjadi sektor hulu secara “mentah” saja. Ada banyak jalan yang bisa digapai dengan melihat lebih jauh, mendengar lebih tajam, dan merasakan lebih dalam.

Melihat Sisi Lain

Penyelenggaraan Suro Brenggolo, seperti kata Heriyudin (20), adalah sejarah baru bagi kampungnya. Setelah pendirian Poktan Argo Wilis pada 2017, acara tersebut seakan melegitimasi jejak serta pencapaian yang telah Pak Darmo dan Pak Yahmin ukir di Dusun Gemawang. Walaupun sederhana, setidaknya kopi robusta Brenggolo kian tersebar lewat banyak jejaring. Media sosial, khususnya, benar-benar menjadi senjata ampuh mengakomodasi angan-angan untuk maju dan bertumbuh lebih besar.

Salah satu potensi yang bisa memanfaatkan kesempatan tersebut adalah mengembangkan ekowisata. Ekowisata bukan hanya dinyatakan sebagai sebuah sektor semata, melainkan prinsip atau kaidah ideal untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan dari hulu ke hilir. Dalam beberapa aspek, penerapan ekowisata bisa jadi memerlukan ongkos yang mahal daripada menggalakkan turisme massal yang lebih murah dan mudah.

Menurut M. Nurdin Razak, praktisi ecotourism dan penulis buku Ekowisata: Manajemen Kawasan Konservasi, ekowisata tidak melulu bicara soal kecintaan pada alam dan alasan ekonomi (penghasilan). Mahalnya ekowisata adalah sebagai bentuk penghargaan atau apresiasi tinggi pada wawasan dan pengetahuan terhadap suatu potensi dan seisinya. Ia pun menyarankan jalan teraman, yaitu pengelolaan berbasis pengalaman, storytelling, dan memaksimalkan panca indra sebagai nilai tambah.

Menyigi Brenggolo dengan Kopi
Pemandangan Gunung Lawu dari titik tertinggi Desa Brenggolo/Rifqy Faiza Rahman

Dalam ranah kepariwisataan, kopi bisa menjadi literasi pelengkap bahkan dasar dari ruang-ruang pengembangan lainnya. Namun, tentu ada batasan-batasan yang harus menjadi pagar supaya tetap lestari dan berkelanjutan. Masyarakat Gemawang, Brenggolo, harus menjadi pemeran utama di tempatnya sendiri. Mereka adalah filter terbaik untuk mencegah potensi eksplorasi berlebihan dari aktivitas wisata dan elemen lainnya yang ke depan mungkin jalan beriringan bersama kopi. Tapal batas untuk menjaga daya dukung optimal yang tidak membebani lingkungan Dusun Gemawang. Falsafah Jawa yang berbunyi “desa mawa cara, negara mawa tata” (setiap daerah memiliki adat istiadat atau aturan yang berbeda) adalah pondasi dan bekal penting sebelum menerima perubahan dari luar.

Bicara soal pengalaman dan tutur cerita, para anggota Poktan Argo Wilis dari lintas generasi sesungguhnya telah memiliki modal besar tersebut. Akan tetapi, penggawa Gemawang tak perlu memaksakan diri harus menguasai segala lini di luar perkopian. Sekalipun kelak akan terbiasa menjadi mandiri, mereka bisa menghemat banyak aspek jika berkolaborasi dengan sejumlah pihak yang relevan dan memberi manfaat.

Koneksi Lintas Komunitas

Bila ekowisata menjadi alternatif program untuk digabungkan dengan kopi, maka yang paling krusial adalah soal mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Brenggolo, terutama Gemawang, sudah punya sumber daya alam paling fundamental dan harus dijaga dalam jangka panjang. Di hari kedua acara (19/07/2023), selepas Subuh, saya dan Rivai, rekan setim, melihat potensi besar tersebut dan menilai bahwa daya tarik alam Brenggolo bisa dimaksimalkan.

Kami menyaksikan panorama mengagumkan dengan radius pandang hampir 360 derajat dari puncak tertinggi Brenggolo. Pak Darmo dan orang-orang Gemawang menyebutnya Gunung Pepe. Ketinggiannya hampir mencapai 1.015 meter di atas permukaan laut (mdpl). Terdapat dua buah menara pemancar untuk jaringan telekomunikasi atau internet. Selain matahari terbit, tersaji gugusan perbukitan dan Gunung Lawu tepat di utara. Bergerak ke barat, di kejauhan terpaku kokoh Gunung Merapi dan Merbabu. Selanjutnya sampai ke selatan, Pegunungan Sewu yang terbentang dari Gunungkidul, melintasi Wonogiri sampai Pacitan bisa jadi laboratorium edukasi geologi. Menguak sejarah bumi selatan Jawa dari masa purba hingga saat ini. Pemandangan ini, kalau saya sebut, merupakan kombinasi maut untuk mengangkat nama Brenggolo selain sebagai salah satu sentra kopi robusta Wonogiri.

Memulai sesuatu yang benar-benar baru memang tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Tatkala budidaya kopi pertama kali muncul menggantikan cengkih dan komoditas nonproduktif lainnya, perjuangan Pak Darmo dan Pak Yahmin ibarat menyusuri belantara tanpa peta dan peralatan memadai. Di balik tekad dan optimisme, keduanya seperti bertaruh sendirian dengan waktu dan siklus alam. Jika duet musisi Ananda Badudu dan Rara Sekar sudah hadir di era itu, barangkali tembang “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti” akan menjadi musik latar mereka di tengah kebun kopi prematur nan sunyi.

Menyigi Brenggolo dengan Kopi
Peserta bersama panitia dan warga Poktan Argo Wilis foto bersama di akhir sesi Suro Brenggolo di depan rumah jemur kopi. Kolaborasi lintas komunitas adalah jalan terbaik untuk sama-sama berkembang/Wonogirich

Saat itu, sangat mungkin istilah kolaborasi belum muncul sebagai sebuah gerakan populer. Maka Suro Brenggolo adalah momentum yang tepat untuk memulai langkah berikutnya. Wonogirich dan Salaga ID besutan Yosep Bagus Adi bersama kawan-kawannya sudah menunjukkan itu. Bukti nyata betapa sinergi antarkomunitas sangat penting agar makin berkembang. Baik industri kopi itu sendiri, maupun pihak-pihak yang memiliki gairah besar pada pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.

Kopi adalah sektor yang membutuhkan koneksi dan merawat interaksi satu sama lain. Menyatukan frekuensi agar kemauan untuk saling belajar dan berproses memang tidak boleh berhenti. Cita-cita besar tak akan tercapai dengan meneriakkan slogan-slogan kosong saja, tanpa keteguhan hati dan kerja keras.

Menerangi Brenggolo tidak hanya dengan kopi sebagai pelita tunggal. Apa pun yang telah hadir dan tumbuh mengalir di sekitar kopi, mulai dari sumber air dan vegetasi lainnya, lalu tekad baja dari pribadi petani yang bersahaja, adalah sebuah dream team terbaik untuk “menang” di saat ini dan masa depan. Seperti tersirat dari lantangnya pesan Mbah Sadiman di akhir acara siang itu, “Kopi Brenggolo, semangatlah! Semangatlah! Supaya kopinya berkualitas unggul!”

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari seri liputan TelusuRI ke Wonogiri yang dapat Anda baca dalam tajuk Suro Brenggolo.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Atmosfer Egaliter Suro Brenggolo Wonogiri