Saat kejenuhan menghampiri diri yang terjebak dalam rutinitas, melakukan perjalanan jauh dengan cara yang berbeda dari sebelumnya barangkali bisa menjadi jawaban. Karena keseharian yang monoton itulah, saya menyanggupi menjadi pemandu untuk dua orang kawan yang sedang berlibur ke Yogyakarta.

Jarum arloji menunjukkan pukul 13.45 WIB ketika saya tiba di parkiran depan poliklinik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Jumat, 2/6/2023). Sehari sebelumnya, saya bersama Eka dan Nurul, dua orang kawan saya asal Subang, Jawa Barat, telah bersepakat untuk menjadikan masjid kampus ini sebagai titik kumpul sebelum berangkat bersama ke Gunung Api Purba Nglanggeran, Gunungkidul dengan berboncengan mengendarai sepeda motor.

Dengan ekspresi wajah menahan terik matahari, Eka dan Nurul mengaku sudah lama menunggu saya. Saya menghampiri mereka sembari mencoba menenangkan dan meyakinkan bahwa penantian mereka akan terbayarkan dengan perjalanan di hari ini. 

Tak lama, Asrijal, kawan satu daerah dan satu prodi selama kuliah S1 juga datang dan menggenapkan rombongan kami menjadi empat orang. Serentak kami memulai perjalanan menuju lokasi, meninggalkan Kota Yogyakarta yang teriknya saya rasakan membasahi jersey tandang Timnas Sepakbola Indonesia di balik jaket outdoor yang saya kenakan.

Perjalanan kami menuju Gunung Api Purba Nglanggeran yang terletak di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul memakan waktu sekitar 50 menit. Estimasi waktu ini termasuk ketika mampir di salah satu minimarket untuk membeli cemilan. Lokasi gerai ini berada di Piyungan, sesaat sebelum menanjak ke “lantai dua Yogyakarta”, sebutan popular untuk menggambarkan Kabupaten Gunungkidul yang terletak di jajaran Pegunungan Sewu.

Roda kendaraan dengan mulus melewati jalur menanjak dan berkelok-kelok ala pegunungan. Kami pun mengikuti petunjuk jalan dan melewati jalan kabupaten hingga tiba di di Desa Nglanggeran—sebuah desa wisata yang baru-baru ini mendapatkan penghargaan Desa Wisata Mandiri Inspiratif dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada 2 Desember 2021, Nglanggeran juga berhasil masuk dalam salah satu desa wisata terbaik di dunia oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO), sebuah badan PBB yang memiliki kewenangan dalam mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Gunung Api Purba Nglanggeran
Pintu masuk sekaligus pos registrasi Gunung Api Purba Nglanggeran/Ammar Hilmi

Setibanya di sana, kami membeli tiket masuk seharga Rp15.000/orang dan membayar parkir motor. Usai menunaikan ibadah salat Asar, barulah kami memulai pendakian menuju ketinggian kurang lebih 700 mdpl.

Melansir dari situs gunungapipurba.com, material batuan penyusun Gunung Nglanggeran merupakan endapan vulkanik tua berjenis andesit (Old Andesite Formation). Jenis batuannya antara lain breksi andesit, tufa, dan lava bantal. Singkapan batuan vulkaniklastik yang ditemukan di Gunung Nglanggeran kenampakannya sangat ideal dan oleh karena itulah maka, satuan batuan yang ditemukan di Gunung tersebut menjadi  lokasi tipe (type location)  dan diberi nama Formasi Geologi Nglanggeran.

Berbeda dengan jalur pendakian pada umumnya yang didominasi oleh vegetasi rapat dan pohon-pohon yang menjulang tinggi, pepohonan di jalur Gunung Api Purba tidak terlalu lebat sehingga kita masih dapat permukiman penduduk. Tingkat kemiringan jalur juga tidaklah terlampau ekstrem sehingga aman bagi orang yang belum pernah mendaki sebelumnya. Beruntunglah kami, meski di awal terkesan shock dengan trek yang dilalui namun langkah demi langkah tetap terlewati. 

Kedua kawan saya, Eka dan Nurul rupanya tidak menyangka jika kami akan mendaki. Hal ini sangat kontras dengan outfit mereka kenakan yang lebih cocok untuk wisata-wisata ‘santai’. Efeknya, beberapa kali kami harus singgah beristirahat untuk mengatur pernafasan. Beruntungnya, mereka telah punya pengalaman mendaki gunung, tidak begitu kaget meski persiapan fisik kurang.

Beberapa kali kami melewati jalur sempit yang berada di celah-celah bebatuan besar. Saking sempitnya, jalur hanya mampu dilewati oleh satu orang saja. Untuk keamanan, di beberapa bagian jalur telah terpasang alat bantu yang memudahkan wisatawan melewati jalur. Tangga besi misalnya, sangat membantu kami dalam menapaki batu-batu besar. Begitupun dengan tali webbing di beberapa titik sangat efektif menjaga kami agar tidak terpeleset.

Sekitar satu jam perjalanan dengan diselingi beberapa kali istirahat, tibalah kami di puncak Gunung Api Purba, titik tertinggi Yogyakarta. Tekstur puncak berupa bebatuan purba membuat pohon sama sekali tidak tumbuh di area ini. Di sekeliling tampak perkampungan warga yang terlihat kecil. Vegetasi terbuka membuat angin bertiup kencang menerpa kami. Beberapa orang mendirikan tenda di camp area yang sebelumnya kami lewati sesaat sebelum mencapai puncak.

Di sebelah barat matahari semakin turun yang menandakan sebentar lagi siang berganti malam. Kurang lebih 30 menit kami duduk dan berbincang di puncak sembari menikmati senja. Selepas itu, tentu saja bergegas turun agar saat tiba di pos registrasi suasana belumlah terlalu gelap.

Jalur turun yang kami lalui berbeda dengan jalur saat naik. Barangkali karena jalur sempit tadilah yang membuat pengelola kawasan akhirnya menyediakan jalur yang berbeda untuk turun. Perjalanan ke bawah, memakan waktu kurang dari satu jam.

Setelah istirahat dan menunaikan ibadah salat Magrib, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah warung makan yang berada di kawasan Bukit Bintang. Sembari memandangi gemerlap lampu rumah-rumah penduduk dari kejauhan, kami pun kembali mengobrol santai membicarakan lelah hari ini. Hangatnya obrolan ini, ternyata mampu menghilangkan kejenuhan saya yang perlahan tapi pasti suatu saat akan terjebak kembali pada rutinitas yang sama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar