Travelog

Cerita dari Atas KM Dobonsolo

Kereta api yang membawa saya dari Yogyakarta menuju Surabaya tiba di Stasiun Gubeng pukul sebelas lewat sedikit waktu setempat, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam.

Usai melaksanakan salat dan beristirahat beberapa saat, saya kemudian beranjak dari stasiun Gubeng menuju Pelabuhan Tanjung Perak. Keluar dari stasiun saya memilih menumpang mobil karena barang bawaan yang cukup banyak. Kendaraan roda empat ini lalu melaju di jalan Surabaya yang terik. Surabaya sore itu yang tampak teramat sibuk, serupa rumah yang sedang menggelar hajatan. 

Sesampainya di Pelabuhan Tanjung Perak, saya kemudian masuk menuju ruang tunggu yang telah dipenuhi penumpang lain, mereka menghampar berkelompok di lantai, di atas koran dan karpet-karpet sederhana yang cukup untuk menghangatkan tubuh.

Stasiun Surabaya Gubeng
Stasiun Surabaya Gubeng/Fatimah Majid

Melakoni perjalanan laut di Indonesia, khususnya di Indonesia bagian tengah dan timur, memang cukup sulit. Jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal tidak menentu. Maka jika tidak ingin ketinggalan, harus sering-sering mengecek jadwal keberangkatan di website Pelni. Jika jadwal sudah “pasti” juga harus tiba di pelabuhan selambat-lambatnya sehari sebelum jadwal keberangkatan. 

Sembari Menunggu Kapal

Begitu mendapatkan kursi, saya mendudukkan tas yang saya panggul; satu tas carrier, tas ransel dan koper. Lalu menarik napas lega karena sudah bisa meluruskan kaki. Ini merupakan pengalaman pertama saya berlayar seorang diri. Dulu sekali, waktu masih duduk di bangku sekolah menengah atas, terakhir kali saya naik kapal dari Kalimantan ke Sulawesi bersama bapak dan adik laki-laki saya. 

Petang itu, dari balik kaca transparan, saya menyaksikan Kapal Dharma Kencana yang tengah bersandar memuntahkan barang-barang dan penumpang. Kapal Dharma Kencana itu sangat besar nan megah berwarna putih yang memenuhi dermaga. Dari informasi yang saya dapatkan di YouTube, itu adalah kapal bekas pakai dari Jepang.

Di tempat lain, Kapal Kelimutu tujuan Jakarta yang tengah sandar tengah memuat barang. Sembari memasukkan barang-barang ke lambung kapal. Truk-truk berukuran sangat besar yang entah memuat apa ikut memenuhi dermaga, serta mobil-mobil yang mengantre panjang, untuk masuk ke dalam kapal. 

Menjelang Magrib, siluet-siluet kapal mulai tampak jelas, di belakangnya matahari masih memancarkan sinar. Semburat senja tampak sangat anggun. Sayangnya, saya hanya bisa menyaksikannya dari balik kaca. 

Mustahil berada di tempat ramai di Indonesia tanpa mengobrol.  Selama menunggu di ruang tunggu pelabuhan, beberapa penumpang lain tampaknya penasaran terhadap saya. Mungkin karena melihat saya melakoni perjalalanan seorang diri dengan barang bawaan yang cukup banyak. Mereka bolak-balik ke kursi tempat saya duduk, mengajak berkenalan, bertukar cerita, menawari bantuan menjagakan barang bawaan, bahkan menyodorkan makanan. Tidak berapa lama kemudian, beberapa dari mereka duduk membelakangi kursi yang saya tempati, membawa gitar dan menendangkan beberapa buah lagu.

Tak berenti di situ, sampai di atas kapal, mereka terus membantu, membawakan barang, mencarikan tempat di atas kapal. Terkadang saya merasa seperti penumpang istimewa karena terus mendapat bantuan dari mereka, dan kadang-kadang merasa bingung harus dengan cara apa membalas kebaikan mereka semua.

Dobonsolo Bersandar

Mendadak terdengar suara klakson dari cakrawala memecah keheningan. KM Dobonsolo telah tiba. Suaranya lebih dulu terdengar. Perlahan KM Dobonsolo muncul. Kecil, lalu perlahan membesar, sampai akhirnya bersandar di dermaga. Massa beraksi. Orang-orang mulai membereskan tikar masing-masing, bersiap menyongsong perjalanan panjang melintasi lautan.

Setelah semalaman berada dalam posisi duduk tegak di kursi, sungguh nyaman rasanya bisa meluruskan kaki di tempat datar. Saya berbaring dengan posisi yang cukup nyaman. 

Di atas kapal, setiap ranjang sudah dilengkapi dengan lubang pengisi daya, tempat menyimpan barang bawaan, pendingin ruangan sentral—meskipun tidak begitu terasa, tetapi cukup untuk mendinginkan dek kapal, juga tong sampah yang ada hampir di setiap sudut kapal. Kamar mandinya pun selalu dibersihkan.

Pagi hari datang dalam sekejap. Pengumuman melalui pengeras suara memberitahukan waktu azan Subuh telah tiba. KM Dobonsolo perlahan meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak.

Pada bulan Ramadan, kapal menyediakan makanan untuk sahur. Penumpang yang akan menunaikan ibadah puasa, dapat mengambil makanan dengan membawa tiket masing-masing yang sudah diberi tanda oleh kru kapal. Setelah mendengar pengumuman dari balik pengeras suara, saya bergegas mengambil makan, kemudian sahur, lalu menunaikan salat Subuh di musala kapal. Kemudian menghabiskan waktu menyambut matahari pagi yang perlahan memakan habis gelap langit malam.

Tak berapa lama berselang sejak kapal mulai berlayar, kelucuan-kelucuan mulai bermunculan yang membuat saya tidak mampu menahan tawa. Selama di atas kapal, saya dan penumpang lain banyak bertukar cerita, saling melempar beberapa pertanyaan. Saat mulai merasa bosan, mereka akan mulai mengeluarkan gitar dan menendangkan beberapa buah lagu, memecah kehingan di atas kapal.

Lembayung matahari tenggelam seiring kumandang azan Magrib dari balik pengeras suara sebagai pertanda sudah saatnya berbuka puasa. Saya naik di atas dek kapal untuk menyaksikan siluet senja nan indah dan meneguk air putih untuk berbuka puasa. Setelah itu turun dan bergegas menuju musala.

Pelabuhan Anging Mamiri Makassar
Pelabuhan Anging Mamiri Makassar/Fatimah Majid

Kapal bersandar mendekati pukul 11.00 WITA di pelabuhan Makassar. Kami turun dengan perasaan lega. Sebelum berpisah di Pelabuhan Makassar, saya mengambil beberapa foto mereka berlatar masjid berwarna biru di pelabuhan, sayangnya tidak ada foto bersama. Surabaya–Makassar merupakan pelayaran pertama saya seorang diri. Bertemu dengan orang-orang baru yang menyenangkan, makanan dingin dengan sayuran layu, percakapan ngalor-ngidul, dan segala senang dan haru di atas kapal yang tak akan terlupa.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Menulis untuk memaknai hidup. Punya mimpi keliling Indonesia.

Menulis untuk memaknai hidup. Punya mimpi keliling Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menuju Makassar dengan Kapal Pa’gae dari Pulau Pandangan