ItineraryPilihan Editor

Resensi: To Ado Re!

Nenek Na, panggilan akrab Aminah Sabtu, tentu saja pernah muda. Tapi, tak seperti saya yang menghabiskan masa remaja dengan menikmati produk-produk budaya pop, Nenek Na melewatkan masa-masa kejayaannya dengan mendambakan Nusantara yang merdeka.

Karena itu ia tak ragu-ragu ketika Abdullah, sepupunya, memintanya untuk menjahit bendera merah putih. Tahun 1946 ketika itu. Dullah muda dan kawan-kawannya, yang baru saja dapat berita bahwa Indonesia telah merdeka, ingin mengibarkan bendera di Desa Mareku, Tidore.

Aminah tak menunggu lama. Dikumpulkannya segala sumber daya yang tersedia. Malang, ia tak punya benang untuk menjahit Merah Putih. Tapi akalnya panjang. Ditumbuk-tumbuknya daun nanas sampai seratnya keluar. Serat-serat daun nanas itulah yang kemudian dijadikan benang untuk menggabungkan kain merah dan putih.

to ado re

Halaman judul “To Ado Re!”

Abdullah dkk. mengibarkan bendera yang dijahit Aminah Sabtu pada Minggu pagi, 18 Agustus 1946. Tak hanya itu, para pejuang itu memaku sebuah papan bertuliskan: “No palisi toma gare to hobalu ni gonoti, to sodalu to mayobi.” Artinya, “Siapa berani menurunkan ini bendera, datang merdeka diganti dengan nyawa” (hal. 101).

Pasukan Jepang yang masih menduduki Tidore muntab. Dullah ditangkap, diinterogasi, bahkan disiksa. “Singkat cerita Abdullah dilepas pulang ke rumahnya dengan luka lebam dan gigi depan yang patah,” tulis Sofyan Daud (hal. 102).

Cerita heroik itulah yang membuat orang-orang di Mareku melaksanakan upacara bendera setiap tanggal 18 Agustus. Sekarang, di situs pengibaran Merah Putih yang dijahit oleh Aminah Sabtu itu, berdiri sebuah monumen bersahaja berupa sebuah tiang bendera dan prasasti.

Kepingan-kepingan cerita Tidore

Kisah Aminah Sabtu di atas bukan saya dapat dari buku-teks sejarah di sekolah. Cerita itu saya sarikan dari pengalaman anggota-anggota Komunitas Tidore untuk Indonesia yang beruntung pernah menginjakkan kaki di pulau kecil dekat Halmahera itu.

Tak seperti pejalan pada umumnya, petualangan Komunitas Tidore untuk Indonesia tak hanya berakhir dalam kenangan—atau postingan Instagram. Mereka menuliskannya lalu mengumpulkannya dalam sebuah buku berjudul To Ado Re! A Memorable Adventure to the Land of Exotic Beauty.

To Ado Re! menampar saya. Membacanya membuat saya prihatin pada diri sendiri. Bagaimana bisa saya tak tahu apa-apa tentang Tidore? Padahal kerajaan bahari itulah yang dulu menguasai Nusantara bagian timur. Eko Nurhuda, sang editor, dalam prolog menulis bahwa “sepertiga wilayah NKRI dulunya merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Tidore. Termasuk Papua dengan gunung-gunung emasnya.”

to ado re

Buku To Ado Re! A Memorable Adventure to the Land of Exotic Beauty/Fuji Adriza

Dalam teks-teks tentang Indonesia bagian timur yang beredar di Indonesia, Tidore memang jarang disebut. Namanya tidak semasyhur Banda Neira dan Pulau Run yang jadi panggung perebutan “sphere of influence” kekuatan-kekuatan Eropa zaman baheula. Tidore juga tidak setenar Pulau Buru dan cerita-cerita seru tentang tahanan politik di sana—Pram, misalnya.

Namanya pun kalah pamor dari Ternate dan Sultan Baabullah. Baru-baru ini saja nama Tidore kembali muncul ketika Pulau Maitara yang hanya selemparan batu dari Tidore dijadikan gambar dalam pecahan Rp 1.000.

Maka, bagi saya sensasi membaca To Ado Re! seperti menyusun keping-keping puzzle dari tokoh kartun yang belum pernah saya tonton filmnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *