Meskipun saya merasa senang #dirumahaja, ternyata masa-masa karantina tidak semenyenangkan itu juga. Padahal, kalau dipikir-pikir, ini adalah kesempatan besar untuk bisa tetap berada di rumah tanpa perlu alasan apa pun. Hari-hari pertama, semua terasa bisa teratasi. Tapi makin ke sini ternyata semakin tidak mudah. Barangkali karena sebetulnya saya tidak benar-benar di rumah, tetapi di kos, yang berarti saya sendirian tanpa ada keluarga yang menemani.
Selain itu saya memiliki mental illness berupa borderline personality disorder (BPD) atau gangguan kepribadian ambang. Seorang dengan BPD memiliki emosi yang cenderung tidak stabil, khususnya jika mendapatkan pemicu tertentu. BPD ini ternyata sangat memengaruhi kondisi saya dalam menjalani masa karantina. Ada perasaan takut, cemas berlebih, dan terpenjara. Padahal, seperti yang sudah saya tuliskan pada alinea pertama, saya adalah orang yang betah untuk tidak bepergian ke mana-mana.
Sepanjang masa karantina ini saya selalu memikirkan bagaimana keluarga di rumah, khususnya bapak. Bapak adalah seorang driver ojek online. Artinya, rezeki bapak berada di jalan; bapak harus keluar rumah. Bapak tidak bisa bekerja di rumah seperti orang-orang lainnya. Saya sangat khawatir dan cemas. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada bapak? Bagaimana kalau ini, bagaimana kalau itu….
Setiap malam, bapak selalu menyempatkan untuk video call. Setiap malam itu pula saya cerewet mengingatkan bapak untuk jaga kebersihan, jaga jarak, dan jaga-jaga yang lainnya. Kecemasan itu membuat saya susah tidur selama satu minggu lebih. Di situlah saya menyadari saya harus segera berkonsultasi.
Suatu ketika saya tidak bisa tidur hingga pagi dan akhirnya memutuskan untuk menghubungi psikiater saya untuk menceritakan kondisi. Pagi itu juga sang psikiater meminta saya datang ke rumah sakit untuk konsultasi. Kecemasan itu datang lagi dan bertambah, sebab saya harus datang ke rumah sakit yang jadi salah satu rujukan bagi pasien COVID-19. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Jika tidak datang, saya harus bergelut dengan perasaan cemas yang mengganggu terus menerus. Akhirnya, dengan kondisi belum tidur semalaman, saya datang mengenakan masker dan pakaian yang rapat.
Ketika memasuki lobi rumah sakit, ternyata banyak sekali pengunjung hari itu. Ingin sekali menangis melihatnya. Saya memang selalu merasa tidak nyaman berada di rumah sakit. Seperti memberikan aura negatif bagi pikiran saya. Saya takut, tapi harus tetap tenang. Setelah menunggu beberapa saat, psikiater datang dan saya mendapat antrean pertama untuk konsultasi. Saya diberi resep obat untuk dua bulan. Obat itulah yang akan membantu diri saya agar lebih stabil sehingga mudah istirahat.
Di bagian farmasi, saya diberi tahu bahwa ternyata obat yang bisa ditebus hanya untuk maksimal satu bulan. Itu berarti bulan depan saya harus datang lagi untuk menebus obat berikutnya. Saya bingung sekali saat itu. Rumah sakit sangat saya dihindari, tapi justru saya harus datang lagi ke sana untuk mendapatkan suplai obat selanjutnya. Lagi-lagi saya hampir menangis.
Bagaimana bisa di masa-masa seperti ini saya malah harus bolak-balik ke rumah sakit? Kenapa tidak diberikan kemudahan saja atau apalah yang membuat pasien tidak perlu berkali-kali datang ke rumah sakit hanya untuk menebus obat? Bagaimana dengan pasien lain yang rumahnya berada di luar kota? Berbagai pikiran dan pertanyaan datang silih berganti menyibukkan kepala.
Sebetulnya resep itu bisa ditebus di apotek luar rumah sakit. Tetapi, katanya, belum tentu obat itu ada. Pun ada, tentu harganya lebih mahal. Saya coba bernegosiasi dengan petugas farmasi; tetap saja resep hanya bisa ditebus untuk satu bulan. Lagi-lagi saya tidak punya pilihan lain.
Baiklah.
Satu bulan telah berlalu. Fase depresi dan senang saya lewati berkali-kali dan bergantian seperti sebuah siklus yang akan selalu dan harus dihadapi, mulai dari tidur seharian, tidak ingin melakukan apa pun, hingga memaksa diri untuk bangun dan memulai hal-hal positif. Semua tetap bergantung pada keputusan diri sendiri tentang apa yang akan dilakukan.
Berbagai hal telah saya lakukan untuk tetap waras, mulai dari mandi berlama-lama sembari karaoke gratis, beli makanan yang saya suka, atau olahraga ringan.
Hampir sebagian besar teman sudah pulang ke kampung halaman masing-masing, berkejaran dengan kebijakan pemerintah daerah di berbagai penjuru yang sudah mengeluarkan imbauan untuk tidak mudik. Sementara saya tetap berada di sini, di kos tercinta, ternyaman…. tetap sendiri.
Tapi saya tahu, saya tidak sendiri. Ada keluarga, kekasih, dan teman yang selalu ada untuk saya. Saya bisa menghubungi mereka kapan pun. Dukungan dari mereka sangat menguatkan saya untuk bertahan di masa pandemi ini.
Satu lagi. Ada satu hal yang tidak pernah saya lakukan karena memang saya merasa sulit melakukannya. Anehnya, semasa corona ini saya coba lakukan dan bisa!
Hal itu adalah tulisan ini.
Love.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
2 komentar
Aku, yang engga tau punya penyakit mental atau engga, ngerasa pusing dengan ke-overthinking-an yang melanda semasa #dirumahaja ini. Apalagi yang benar benar sudah sampai harus minum obat seperti itu untuk menenangkan diri..
Semangat ya, Hanum.
Semoga tetap bisa menulis, karena aku percaya selain menulis bisa menjadi jembatan meraih mimpi, menulis itu obat yang menyembuhkan.
Semoga kamu juga merasakan makna “sembuh” itu.
Love u.
Kayaknya ini tetanggaku di Berkoh?