Meskipun lahir di Kalimantan Selatan, sampai berusia seperempat abad saya belum pernah sekali pun main ke Loksado, Hulu Sungai Selatan. Namanya hanya saya dengar lewat pelajaran geografi di sekolah.

Maka ketika sepupu saya yang paling bontot mengajak liburan bersama keluarganya ke Loksado, saya senang hati mengiyakannya. Di hari keberangkatan, dengan riang saya menenteng ransel merah kesayangan lalu melompat ke mobil paman.

loksado

Sungai Amandit yang dikelilingi perbukitan Loksado/Endah Wulandari

Perjalanan dari rumah saya di Banjarbaru menuju Loksado memakan waktu sekitar 3 jam. Di Kandangan, Ibu Kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, kami sempat berhenti untuk makan siang. Menunya ketupat kandangan dengan lauk ikan haruan. Nikmat!

Setelah piring kami bersih, mobil melaju lagi. Semakin lama aspal yang kami lewati semakin menyempit. Jalan pun mulai naik turun. Rumah-rumah mulai berganti dengan hutan dan sungai yang berkelok.

Paman mematikan pendingin mobil dan membuka jendela. Udara segar beraroma tanah dan daun mulai memenuhi hidung. Ah… Aroma liburan!

loksado

Rakit bambu sedang konvoi di Sungai Amandit/Endah Wulandari

Menjelang sore, mobil kami mulai melambat di jalan tanah. Satu-dua, rumah panggung mulai tampak. Setiba di depan bangunan semipermanen bertuliskan “Loksado Outbond” yang terletak tepi sungai, mobil benar-benar berhenti.

“Kita menginap di sini,” ujar paman dengan ceria. Ternyata bangunan agak terbuka itu lantainya hanya dilapisi tikar bambu, sementara angin dingin sudah mulai memeluk tubuh. Sial! Saya tak bawa selimut!

loksado

Dayungnya adalah sebilah bambu panjang/Zeckho Koko

Berakit-rakit di Sungai Amandit Loksado

Keesokan paginya saya dibangunkan oleh aroma nasi goreng buatan paman. Kami sarapan di tepi sungai ditemani debur Sungai Amandit dan kicauan burung. Ujar paman kami akan naik rakit hari ini, karena itu tak perlu mandi dulu. Saya dan dua sepupu manut saja.

Setengah jam kemudian rakit kami datang. Paman memesan dua rakit karena rombongan kami berjumlah lima orang sementara satu rakit hanya bisa dinaiki oleh tiga penumpang dewasa.

Tidak ada pelampung atau peralatan pengaman lainnya. Yang ada hanya ada satu tempat duduk panjang yang juga terbuat dari bambu. Kami duduk berbaris. Sandal kami dilepas dan diikat supaya tidak hanyut. Kami seutuhnya jadi penumpang.

loksado

Saat arus deras, rakit dijaga untuk selalu di tengah/Endah Wulandari

Kami tidak dibekali dayung. Hanya bapak pengemudi rakit kami yang memegang “dayung.” Kata dayung saya beri tanda kutip karena dayung itu hanya sebilah bambu panjang, bukan dayung “modern” seperti untuk arung jeram.

Rakit kami mulai meluncur mengikuti arus Sungai Amandit. Saat arus deras, nakhoda rakit kami memastikan kalau rakit kami tetap di tengah, tentu saja menggunakan bambu itu. Saat arus sedang lambat, dayung bambu itu digunakan untuk mendorong rakit agar terus maju dan tidak tersangkut batu.

loksado

Jeram Sungai Amandit/Endah Wulandari

Sepanjang perjalanan adalah hutan. Batu-batu sungai besar-besar, pohon-pohon menjulang tinggi, dan di atas sana burung-burung sibuk lalu-lalang—sekali saya melihat buaya kecil sedang asyik berjemur.

Ketika makan siang di atas rakit

Di tengah perjalanan, paman meminta agar rakit kami diarahkan ke tepian. Kedua rakit kami pun berhenti dekat sebuah jembatan gantung.

Rupanya sudah hampir tengah hari. Waktunya makan siang. Dengan bekal yang sudah dipersiapkan sebelum naik rakit tadi, kami menyantap makan siang di atas rakit yang mengambang di permukaan Sungai Amandit Loksado.

loksado

Perbukitan hijau yang memagari Sungai Amandit/Zeckho Koko

Tak jauh dari tempat rakit kami berhenti, serombongan anak-anak sedang berenang. Melihat kami sedang makan siang, mereka mendekat. Tapi barangkali bukan makanan yang menarik mereka untuk mendekat—sepertinya mereka takjub dengan kamera DSLR paman.

Paman lalu menantang mereka. Ujarnya, siapa yang berani terjun dari jembatan gantung akan difoto dengan kameranya yang hebat itu. Gayung bersambut. Tantangan paman diterima oleh semua anak.

loksado

Seorang anak meloncat dari jembatan gantung/Zeckho Koko

Mereka bergegas ke tengah jembatan. Mengikuti aba-aba paman, satu per satu dari mereka terjun ke sungai. Saat melihat hasil fotonya, mereka cekikikan, gembira tak karuan melihat aksi mereka terabadikan. Paman pun menghadiahi keberanian mereka dengan setumpuk kue—bekal kami yang kebanyakan. Anak-anak kecil tadi menyambut kue-kue itu dengan gembira.

Ditemani suara binatang hutan Loksado yang sahut-sahutan dengan debur Sungai Amandit, kami pun melanjutkan perjalanan hingga ke garis akhir di Desa Tanuhi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

3 komentar

Pandu Aji 10 Juni 2018 - 15:20

Seru main di sini, waktu kehabisan air, buka botol tampung air sungai dan minum aja :D. seger seger aja, enggak sakit perut setelahnya.

Reply
Editorial telusuRI 11 Juni 2018 - 11:37

Yoi Kak. 🙂

Reply
Ozaki 8, Tantangan yang Cuma Bakal Diterima Pasukan Kamikaze 29 Januari 2021 - 11:51

[…] Kalau mau yang berbeda, bisa coba menjelajah dengan rakit di Sungai Amandit Loksado.  […]

Reply

Tinggalkan Komentar