Meski tersekat batas wilayah, masyarakat suku Moi masih tersebar hingga ujung barat Kabupaten Tambrauw. Menawarkan wisata pengamatan burung hingga kegiatan literasi.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Penyunting: Mauren Fitri ID
Foto: Deta Widyananda

Pada 2008, Kabupaten Tambrauw terbentuk setelah memekarkan diri dari Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari. Sepuluh tahun kemudian, kabupaten terluas di Provinsi Papua Barat Daya ini mendeklarasikan diri sebagai “Kabupaten Konservasi”, dikukuhkan lewat Peraturan Daerah Kabupaten Tambrauw Nomor 5 Tahun 2018. Ketetapan ini menimbang keberadaan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang mencapai 70 persen, rumah bagi banyak masyarakat adat, di antaranya suku Abun, Ireres, Mpur, Meyah, dan Moi.
Di antara komunitas adat tersebut, posisi suku Moi termasuk unik. Dampak pemekaran kabupaten baru juga menempatkan suku terbesar di Sorong Raya itu berdiri pada ‘dua kaki’. Terdapat satu nama kampung dalam versi masing-masing wilayah, yaitu Klabili versi Sorong dan Klabili versi Tambrauw. Kedua kampung terletak bertetangga, berada di satu jalan poros yang sama, dan hanya terpisah hutan lebat.
Menurut penduduk Moi di Klabili sisi Sorong (Distrik Makbon), mereka tetap bertahan karena merasa lebih dekat dengan pusat kota dan pemerintahan Kabupaten Sorong di Distrik Aimas. Sementara penduduk Moi di Klabili, Distrik Selemkai, sisi pantai utara (pantura) Tambrauw—selanjutnya cukup disebut Klabili—tidak terlalu mempermasalahkan persoalan administrasi kewilayahan tersebut.
Kepala Kampung Yoram Kalami (28)—mungkin termasuk kepala kampung termuda di provinsi ini—mengungkapkan tak ambil pusing tentang tapal batas suku Moi di Klabili. Ia bersama masyarakat, khususnya generasi muda, lebih fokus membangun kampung dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki. Salah satunya ekowisata birdwatching atau pengamatan burung (paksiwisata).

Paksiwisata di Klabili
Hutan alam di Klabili masih berada satu daratan dengan Lembah Klasow, hutan tropis terakhir suku Moi di Papua Barat Daya. Terinspirasi oleh Malagufuk di Malaumkarta Raya, setidaknya kurang dari sepuluh tahun terakhir Klabili tengah membangun citra sebagai kampung ekowisata pengamatan burung (bahasa Moi untuk burung: keln). Sama-sama dihuni orang-orang Moi, kedua kampung seperti berbagi tugas menjaga hutan adat sekaligus mengundang penggila paksiwisata singgah ke Klabili.
“Tujuan kami mengelola ekowisata [Klabili] di Distrik Selemkai itu untuk mengembangkan ekonomi rakyat. [Dari] yang dulunya ekonomi belum stabil, tapi dengan adanya pariwisata ekonominya semakin stabil,” terang Yoram. Perputaran ekonomi dari ekowisata—mencakup retribusi adat dan paket pengamatan burung—bisa memberi dampak positif, antara lain untuk biaya anak-anak sekolah serta pemasukan dan pemberdayaan para mama yang memasak untuk tamu. Orang-orang muda bisa aktif menjadi pemandu dan porter.
Tidak hanya itu. Ekowisata juga menjadi salah satu pendekatan terbaik untuk memanfaatkan potensi alam, tanpa harus merusak alam itu sendiri. Kegiatan jasa yang memperhatikan pelestarian lingkungan bisa berdampak pula pada terjaganya ekosistem hutan Klabili, sumber kebutuhan hidup masyarakat, hingga habitat alami burung-burung endemik Papua. Paksiwisata telah menumbuhkan kesadaran, dari yang dulu memburu burung, kini menjaga burung.





Dari kiri atas, searah jarum jam: julang papua, owaki pasifik, paok hijau-papua, cekakak-pita bidadari, dan paok mopo-papua.
Buku Panduan Pemantauan Burung (Keln) di Selemkai (2023) yang disusun kelompok Sanggar Seni Budaya Alam Semesta Selemkai (SALSES) dan LSM Kaoem Telapak, mencatat sedikitnya 54 spesies burung yang berhasil didokumentasikan. Beberapa yang populer di antaranya cenderawasih mati-kawat/twelve-wired bird of paradise (Seleucidis melanoleucus), cenderawasih raja/king bird of paradise (Cicinnurus regius), cenderawasih kuning-kecil/lesser bird of paradise (Paradisaea minor), paok mopo-papua/red-bellied pitta (Erythropitta macklotii), paok hijau-papua/eastern hooded pitta (Pitta novaeguineae), cekakak-pita bidadari/red-breasted paradise-kingfisher (Tanysiptera nympha), serta mambruk/western crowned pigeon (Goura cristata).
Burung-burung tersebut umumnya mesti dijumpai di pedalaman rimba sekitar kampung, setelah berjalan kurang lebih 4–5 kilometer pulang-pergi (PP). Sejumlah burung endemik juga masih mudah dijumpai di hutan Distrik Selemkai yang mengapit jalan poros Sorong–Tambrauw. Pasangan julang papua/blyth’s hornbill (Rhyticeros plicatus) acap terbang rendah dan bertengger di dahan pohon tinggi, baza atau owaki pasifik/pacific baza (Aviceda subscristata) yang mirip elang, sejumlah nuri dari famili Psittaculidae di ranting-ranting berdaun lebat, hingga kicauan kakatua jambul kuning/sulphur-crested cockatoo (Cacatua galerita) yang melengking.
Seperti halnya Malagufuk, wisatawan mancanegara mendominasi daftar kunjungan di Klabili. Sorong–Tambrauw menjadi salah satu titik pola perjalanan paksiwisata di Papua, selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura. Setidaknya, Malagufuk tidak berjalan sendirian, beban daya dukung lingkungannya (kapasitas optimal kegiatan wisata) terbagi dengan kampung kecil di kabupaten tetangga. Tambrauw telah memiliki ujung tombak Kabupaten Konservasi, salah satunya Klabili.

Wisata pantai dan literasi di Della
Terletak di pesisir, Kampung Della menawarkan pengalaman perjalanan yang kontras dibandingkan dengan Klabili. Kampung ini berada di 1,5 kilometer dari jalan poros Sorong–Tambrauw, menuruni jalur cor yang curam hingga bibir pantai. Jika di Klabili didominasi oleh keluarga bermarga Kalami, masyarakat Kampung Della rata-rata bermarga Gifelem dan Safisa. Masih serumpun dalam suku besar Moi.
Berbeda dengan Malaumkarta yang lautnya relatif teduh karena adanya Pulau Um, ombak di Della lebih besar. Pada bulan-bulan September hingga Februari, ketinggian ombak bisa mencapai 3–5 meter. Arus ombak bisa secara beruntun bergulung-gulung menyentuh daratan kampung, sehingga Della terkenal dengan sebutan “Pantai 1001 Ombak”. Selama periode itu pula Della akan menjelma sebagai spot favorit para peselancar dari berbagai daerah.
Sejauh ini belum ada retribusi khusus untuk kunjungan wisata ke Della. Namun, biasanya warga terbuka jika ada pengunjung yang membutuhkan jasa lebih untuk memasak, mencarikan ikan atau kelapa, maupun kegiatan berkemah di pantai. Di luar jam sekolah, akan mudah menjumpai anak-anak seusia SD di Della untuk diajak bermain di pantai.


Meski tidak sebanyak Klabili, tetapi jika beruntung akan menemui atraksi sejumlah satwa di Della. Beberapa di antaranya adalah kakatua jambul kuning, kakatua raja/palm cockatoo (Probosciger aterrimus) yang biasa main dan bertengger di pohon ketapang, dan kawanan lumba-lumba yang biasa menyisir dekat pesisir pantai.
Selain kegiatan wisata, ada satu hal menarik yang sedang dibangun di Della, yakni peningkatan budaya literasi. Terdapat sebuah pondok kayu untuk rumah baca “Negeri 1001 Ombak Kampung Della”. Penggagasnya Frengky Frinset Gifelem, pemuda asli Della yang juga anggota DPRD Kabupaten Tambrauw. Yoanis Kalami (19), remaja dan pemandu paksiwisata Klabili, termasuk salah seorang yang diberi mandat untuk mengelola rumah baca tersebut.
“Kakak Frengky selalu bilang ke saya, pokoknya rumah baca ini harus selalu ada kegiatan sama anak-anak,” ujar mahasiswa semester III Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sorong. Kerabat Yoram itu menambahkan, kegiatannya bermacam-macam, mulai dari membaca hingga menggambar. Pihaknya juga terbuka untuk menerima sumbangan buku-buku bacaan anak-anak. Anis, sapaan akrabnya, kerap dibantu Aten, kerabat Frengky, untuk mengurus pusat literasi kampung sekaligus mempromosikan Pantai Della. Adanya rumah baca bisa menjadi penyegaran di luar pendidikan formal lewat SD YPK Sion Della, satu-satunya sekolah di kampung tersebut.
Kiprah kreatif menjaga tanah Moi di Selemkai
Menurut Yoram, kekhawatiran terbesar masyarakat kampung (umumnya di Distrik Selemkai) adalah isu tentang rencana Proyek Strategis Nasional (PSN) yang bisa mengancam ekosistem hutan tropis Lembah Klasow. Nun di sisi barat daya, wilayah hutan itu berbatasan langsung dengan lahan konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit di Distrik Klamono dan Sayosa. Tidak hanya Selemkai, wilayah Makbon dan distrik-distrik sekitar Lembah Klasow, Kabupaten Sorong, juga mengalami tantangan serupa.
Jika hutan habis karena beralih fungsi menjadi lahan industri ekstraktif, maka hilang pula sumber kehidupan suku Moi. Falsafah suku Moi, tam sini atau hutan adalah ibu, tiada berarti. Yoram mengatakan, hutan bagi suku Moi adalah supermarket kehidupan. “Kami tidak punya [bangunan] mal. Tapi kami dari rumah ke hutan, pasti balik dengan bekal, seperti daging, sayur, dan ikan. Kami punya supermarket [alam] yang tersisa, maka itu kami sangat jaga sekali hutan kami.”
Kekhawatiran hilangnya sumber masa depan anak cucu itulah yang mendorong masyarakat Moi di Distrik Selemkai memutar otak secara kreatif. Mereka membuat SALSES, sebuah kelompok seni budaya yang bertujuan melindungi hutan adat dengan cara mengembangkan dan melestarikan tradisi nenek moyang, pemetaan wilayah adat, dan pengelolaan ekowisata. Sanggar yang berdiri pada 1 Januari 2019 itu juga memiliki tugas lain, di antaranya membuat alat musik dan penokok sagu tradisional, serta melakukan penataan taman pengamatan burung. Korneles Kalami, ayah kandung Anis, didapuk sebagai ketua.
Kiprah kreatif itu berlanjut di dunia maya. Anis memotori sekaligus menjadi kreator konten akun-akun di media sosial untuk pengarsipan, edukasi, serta promosi ekowisata dan budaya Selemkai. Di Instagram, ia mengelola pantura_selemkay, sanggar_salses, dan ekowisata_selemkay. Akun Pantura Selemkay juga eksis dengan menggunakan akun pribadi Anis di Facebook dan Tiktok, serta memproduksi ratusan video di kanal YouTube dengan lebih dari 2.700 pelanggan (subscribers).
“Saya termotivasi oleh Kakak Hormes Ulimpa, pendiri [gerakan] Papua Cerita Konservasi. Ia mengajak generasi muda di Distrik Selemkai untuk menceritakan kebudayaan dan cerita-cerita menarik dari wilayah kita masing-masing di media sosial,” ungkap Anis.


Anis (kiri), kreator konten Pantura Selemkay dan Rebecca Bisulu, orang muda Klabili yang mengenakan kostum tradisional suku Moi
Tidak hanya sekadar mempromosikan, ia juga ingin menunjukkan kepada orang-orang di luar Sorong, atau bahkan di luar Papua, bahwa ada masyarakat adat yang tinggal di tanah Moi. Ia berharap, dengan konten-konten di media sosial, generasi muda Selemkai tetap semangat bersuara untuk menjaga hutan dan budaya, serta memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Eksistensi di media sosial diharapkan turut menggerakkan kemauan pemerintah untuk memperbaiki akses jalan, jaringan seluler, dan kelistrikan.
Keterbatasan infrastruktur juga mendapat perhatian khusus dari Mehd Halouate. Tim TelusuRI berjumpa dengan Mehd di Klabili. Ia bersama seorang fotografer senior dari Belanda datang ke kampung untuk sebuah proyek buku foto burung-burung endemik. Pria asal Maroko yang lama tinggal di Indonesia itu merupakan fotografer dan pegiat konservasi—khususnya burung-burung endemik Nusantara.
Di sela-sela istirahat, pendiri Birding Indonesia (birdingindonesia.com), sebuah agen perjalanan privat yang sejak 2008 fokus menjual paket paksiwisata, menyampaikan banyak masukan untuk kemajuan pengembangan ekowisata Selemkai, khususnya Klabili. Ia menekankan perlunya perbaikan manajemen dan pelayanan, penguasaan bahasa asing, serta fasilitas menginap yang memadai untuk tamu.
Di balik potensi besar dan tantangan yang mengadang, setidaknya ada satu kabar baik lagi dari Selemkai, khususnya Klabili dan Della. Masa depan pelestarian hutan, laut, kebudayaan, ekowisata, dan literasi berada di tangan orang-orang mudanya.
Foto sampul: Lanskap Kampung Klabili yang terletak di tepi jalan poros Sorong-Tambrauw, membelah belantara Lembah Klasow
Pada Agustus–September 2025, tim TelusuRI mengunjungi Merauke (Papua Selatan), Jayapura (Papua), serta Tambrauw dan Sorong (Papua Barat Daya) dalam ekspedisi Arah Singgah: Tanah Kehidupan. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah2025.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.




