Ketika diajak Nyonya untuk menonton Marlina the Murderer in Four Acts (Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak), saya tak punya ekspektasi apa-apa.
“Genrenya apa?” Ketika saya tanya padanya, ia menjawab, “Sate Western.” Makhluk apa pula itu? Semacam BBQ? Karena tak punya gambaran sama sekali, akhirnya tanggal 7 November kemarin saya manut saja untuk nonton di salah satu bioskop yang terbilang baru di Yogyakarta.
Setiba di sana, lobi bioskop sudah penuh. Entah kenapa hari itu para calon penonton tampak tidak biasa. Dandanan mereka lain—unik, ajaib, artsy. Saya merasa seperti sedang antre masuk aula konser Taman Budaya Yogyakarta, atau pembukaan pameran lukisan di Bentara Budaya, atau konser kelususan mahasiswa ISI. Banyak yang gondrong.
Saya sempat menggerutu dalam hati karena filmnya telat dimulai. Bukan apa-apa. Karena acara pemutaran film ini diadakan di bioskop, dan berbayar, saya menduga filmnya akan mulai tepat waktu, pukul 13.00. Tiba di sana sekitar 10 menit sebelum jadwal, kami baru masuk studio sekitar 40 menit kemudian.
Digendam Marlina the Murderer in Four Acts
Kekesalan karena film telat diputar mendadak hilang begitu “babak pertama” Marlina dimulai. Film itu begitu membius, adegan-adegannya seperti ajian gendam yang membuat mata, telinga, dan otak terlena. Sinematografinya indah dan elegan. Pas; tak ada yang terasa berlebihan.
Marlina benar-benar memanfaatkan keindahan latar, yakni Pulau Sumba, meskipun tidak mengabadikannya secara vulgar. Saya tak ragu-ragu menyandingkan Marlina dengan film-film lawas seperti The Third Man (1949) atau The Last Emperor (1987), dua dari sedikit film yang disebut-sebut sebagai gambar bergerak yang aspek sinematografinya patut mendapat pujian.
Musik latarnya juga istimewa dan, yang paling penting, ditempatkan pada waktu-waktu yang pas sehingga tak berisik dan mengganggu. Komposisi ala Ennio Morricone yang didominasi raungan trumpet dan buaian akordion begitu menyatu dengan nuansa latarnya, yang kering kerontang seperti di film-film koboi. Kalau saja saya masuk ke studio waktu film sudah dimulai, tanpa melihat posternya, pasti saya akan menyangka kalau ini adalah salah satu film yang dibintangi Clint Eastwood atau Paul Newman.
Marlina adalah film kedua yang saya tonton di bioskop yang bisa membuat mata saya fokus seratus persen ke layar—meskipun duduk di pinggir!—setelah La La Land tahun kemarin (2016). Rasanya, keempat babak dalam film itu berakhir begitu cepat. Begitu Marlina rampung, sebagian besar penonton langsung bertepuk tangan. Tapi ada juga yang cuma diam karena masih terjebak dalam cerita. Kalau saja penonton film berhak minta encore seperti penonton konser musik, saya pasti sudah teriak sekuat tenaga: “ENCORE!”
Perpaduan tangan dingin Mouly Surya, ide cerita Garin Nugroho, dan skenario Rama Adi ternyata menghasilkan sesuatu yang segar. Mereka berhasil membungkus isu-isu berat, feminisme dan ketimpangan, ke dalam sebuah film yang ringan.
Penuh dengan dialog dan adegan lucu, tak terhitung berapa kali saya dibuat tertawa getir oleh Marlina. Hampir tak ada celah kosong pada film ini yang jamak ditemukan dalam film-film Indonesia kebanyakan.
Perkenalkan: genre “Satay Western”
Selepas film, ada sesi perkenalan dari penyelenggara Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2017. Kemudian diadakan sesi tanya jawab dengan mereka yang terlibat dalam pembuatan film Marlina.
Sutradara Marlina, Mouly Surya, yang sebelumnya menggarap Fiksi. (2008) dan What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013), sempat ditanyai oleh seorang penonton mengenai asal muasal istilah Satay Western.
Mouly Surya kemudian bercerita bahwa istilah itu dicetuskan oleh Maggie Lee, kritikus film dari majalah film Amerika, Variety, yang menganggap Marlina the Murderer in Four Acts telah melahirkan genre baru di dunia perfilman indonesia. Maggie Lee terinspirasi dari terminologi Spaghetti Western, istilah yang muncul karena film-film Western yang dirilis pertengahan 60-an rata-rata diproduseri dan disutradarai oleh orang-orang berdarah Italia, seperti Sergio Leone. Kalau Italia punya spaghetti, Indonesia punya sate alias satay. Jadilah Satay Western.
“Indonesian director Mouly Surya pioneers a new genre—call it the Satay Western—with this female-driven journey of vengeance and justice.”
—Maggie Lee, Variety
Namun, genre ini pun ternyata terlahir secara tak sengaja. Yunus Pasolang, sinematografer film Marlina the Murderer in Four Acts, bercerita bahwa mulanya ia mengusulkan nuansa seperti dalam lukisan-lukisan renaisans.
Ternyata, setelah berpadu dengan geomorfologi Sumba yang kering kerontang ketika syuting, konsep yang dipilih malah membuat film ini jadi bercorak Western. Menurut Pasolang, suasananya mungkin akan berbeda kalau pengambilan gambar dilakukan pada musim hujan.
Namun, kalau dipikir-pikir, nuansa Western justru terekstraksi dari hal-hal yang tersirat dalam film Marlina, yakni penggambaran betapa tak terjangkaunya daerah Sumba oleh hukum sampai-sampai kekerasan terhadap perempuan seolah-olah sudah jadi makanan sehari-hari, dan orang-orang bebas berkeliaran membawa senjata tajam tanpa khawatir dirazia.
Mengangkat keindahan Sumba dengan cara yang elegan
Awalnya saya curiga: “Apakah Sumba dipilih belakangan sebagai latar atau memang sejak semula yang menjadi latar adalah Sumba?”
Akhirnya tanya saya terjawab saat sesi Q&A. Dari awal, Garin Nugroho yang mencetuskan ide memang membuat cerita tentang perempuan Sumba. Jadi, Sumba bukan “dipilih,” tapi memang cerita itu “harus” difilmkan di Sumba, pulau sepi di Nusa Tenggara Timur yang hanya terpaut sekitar 1,5 jam perjalanan dari Pulau Bali yang ramainya bukan main.
Berbeda dari film-film lain yang mengangkat destinasi-destinasi wisata baru sebagai latar, Marlina tidak mengekspos lokasi syutingnya secara vulgar. Justru, film ini akan memberi pemahaman pada para penontonnya bahwa di tempat yang mereka sebut sebagai destinasi wisata, ada kehidupan sehari-hari yang berjalan, yang sudah berlangsung, barangkali, sepanjang sejarah umat manusia.
Barangkali para penonton akan terpukau oleh keindahan Pulau Sumba yang terekam dalam film. Namun, cerita Marlina the Murderer in Four Acts yang kuat akan mampu mengalihkan penonton dari Sumba dan kembali fokus ke Marlina.
4 comments
[…] 2017 akan mengadakan “Open Air Cinema” di beberapa tempat di DIY sebagai rangkaian kegiatan pra-acara, saya langsung tertarik. Menonton layar tancap di era internet seperti sekarang adalah kesempatan […]
[…] Cliff by the Sea dan Princess Mononoke. Pra-acara JAFF 2017 juga seru, seperti penayangan perdana Marlina the Murderer in Four Acts dan Open Air Cinema di Tebing […]
[…] seorang koboi selalu berkuda ke mana-mana, maka penyelam berkeliaran di bawah laut dengan tabung oksigen. Pengebom ikan lain lagi. Saat […]
[…] ke Sumba rasanya muncul jauh di 2014 silam, dari film berjudul Pendekar Tongkat Emas, lalu Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang baru bisa saya tonton di sebuah tempat pemutaran film kecil di Kemang, tahun 2018 lalu. Tapi, […]