Seorang laki-laki paruh baya mulai menghentakkan alu, diikuti oleh dua orang ibu-ibu. Alunan gejog lesung menyambut kehadiran kami sore itu di Desa Wisata Cikakak. Terdengar begitu harmonis. Saya kerap menemui pertunjukan gejog lesung ketika berkunjung ke desa-desa wisata, meski tak semua menyuguhkannya sebagai penyambutan pengunjung. Namun tentu saja, nada yang dihasilkan berbeda-beda antara satu desa dengan desa lainnya.
“Silahkan mencoba, Mbak!” ujar bapak paruh baya tersebut. Saya dan Hanif—rekan perjalanan kala itu—pun mengambil alih dua buah alu, memegangnya dengan erat, lalu mengikuti petunjuk dari beliau. Sore itu, suara jegog lesung kami memecah kesunyian Pendopo Pakoso, tempat yang menjadi pusat seni dan budaya desa ini.
Usai mengeluarkan cukup banyak tenaga untuk menghentakkan alu, kami berbincang sejenak mengenai Desa Wisata Cikakak yang baru kali pertama kami kunjungi ini sembari berjalan kaki menuju Azacraft—pusat souvenir dan oleh-oleh Desa Wisata Cikakak. Di sana, Pak Bahrudin dan pemilik ruang menyuguhkan hidangan utama yang sejak dari Purwokerto memenuhi isi pikiran.
Sejujurnya, dua hal yang membuat saya tertarik datang mendadak ke sini yakni karena ayam gecok—yang kata Pak Bahrudin sangat enak—dan juga karena penasaran dengan sentra ciu Cikakak—yang belakangan lebih dikenalkan sebagai “tirta brahma”. Saya ceritakan nanti kenapa nama baru ini muncul.
Baru-baru ini saya memang punya ketertarikan akan proses pembuatan minuman alkohol, ciu salah satunya. Saya bahkan sempat mengunjungi Bekonang dengan membawa rasa penasaran bagaimana proses pengolahan ciu di sana. Namun sayangnya, saya tak berani mengetuk satupun rumah produksi ciu. Seorang teman berkata, “Kalau nggak ada kenalan di Bekonang, nggak usah ke sana. Nanti kenapa-napa.” Rasa takut kemudian menggelayuti meski rasa penasaran membuncah. Akhirnya, waktu itu saya keluar dari kawasan Bekonang tanpa membawa cerita.
Saatnya mencicipi ayam gecok
Sambil menyendok sepiring nasi, Mas Andi yang adalah carik sekaligus penggiat wisata di Desa Wisata Cikakak mulai menceritakan kisah-kisah menarik. Dimulai dari proses pembuatan ayam gecok yang rasanya sangat cocok dengan lidah saya.
“Ayam gecok menjadi salah satu kuliner khas di sini, kerap disajikan pada pembukaan acara adat maupun hajat. Terbuat dari bahan utama ayam kampung yang ditumbuk dan dibakar, lalu disiram santan kelapa lengkap dengan bumbu yang dibakar juga,” jelasnya.
Menariknya, santan yang digunakan untuk membuat ayam gecok tidak dimasak bersama dengan ayam di atas panggangan api. Santan dibuat dari kelapa parut yang disiram air panas, tidak direbus lagi setelahnya, langsung dituangkan ke dalam ayam yang sudah dibumbui. Aromanya makin terasa sedap karena diolah dalam tembikar.
Rasanya yang gurih menjadi lebih nikmat ketika memakannya bersama dengan oseng kuncar dan juga orek taoge muda. Kedua hidangan ini terasa pedas. Pas dengan kuah ayam gecok yang asin.
Tidak ada penolakan dari lidah saya yang baru kali pertama memakan oseng kuncar. Renyah karena dimasak tidak terlalu matang. Orek taogenya juga tampak familiar baik dari segi rasa maupun bentuk. Awalnya saya mengira ini adalah tempe kering, tetapi setelah dilihat lebih dekat, ternyata taoge muda yang dibalut kecap dan gula jawa. Bumbu warnanya merata. Kriuk-kriuk, renyah, rasanya pedas manis.
Selain ayam gecok, di sini kita juga bisa menyantap nasi penggel, makanan yang dibagikan setelah dilangsungkannya upacara adat. Nasi penggel dipercaya membawa berkah karena mendapatkan doa dari tokoh adat setempat. Sayangnya, saat itu kami tak mencicipinya.
Setelah perut terisi penuh, saya melihat ragam oleh-oleh. Deretan kepala kera menggantung di tembok, beberapa diletakkan pada rak kayu. Kera memang menjadi salah satu ikon desa ini. Jika di Desa Sangeh, Bali, ada Monkey Forest, di sini ada Taman Kera. Kera ekor panjang hidup berdampingan dengan masyarakat di area hutan sekitar pemukiman penduduk. “Di sini terdapat tradisi Rewanda Bojana (pemanggilan kera), tradisi masyarakat sekitar untuk memberi makan kera berupa gunungan hasil bumi. Acaranya diadakan setiap tahun, ” ujar Mas Andi. Selain kepala kera yang terbuat dari batok kelapa, ada pula kerajinan lain seperti besek bambu, piring bambu, dan juga bunga hias.
Basecamp Kelompok Wanita Tani (KWT)/Mauren Fitri Azacraft, pusat souvenir dan oleh-oleh Desa Wisata Cikakak/Mauren Fitri
Perjalanan singkat dilanjutkan ke rumah sebelah yang menjadi Basecamp Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk melihat pembibitan sayuran dan menengok dapur pembuatan wajik kethek, salah satu kuliner yang kerap dijadikan oleh-oleh.
Setelahnya, kami singgah ke Masjid Soko Tunggal yang menjadi destinasi wisata religi, melihat ramahnya kera-kera di sekitar masjid, mampir ke pesarehan Kyai Tholih yang merupakan leluhur Desa Cikakak dan pendiri Masjid Saka Tunggal, serta berkunjung ke Rumah Adat Juru Kunci (Juri Kunci Lebak, Juru Kunci Tengah, dan Juru Kunci Nduwur) yang berada dalam satu kawasan.
Kementerian dalam negeri Ditjen PMD menetapkan Desa Cikakak yang terletak di Kabupaten Banyumas menjadi desa adat dalam program Pilot Project Pelestarian Adat Istiadat dan Budaya Nusantara tahun 2011. Oleh karenanya wajar saja jika kita bisa menelusuri banyak hal di sini. Mulai dari alam, adat, budaya, hingga kuliner.
Terus, jadi ke dapur “tirta brahma” nggak?
Jadi dong! Tapi akan saya ceritakan pada lain kesempatan, ya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu