Sekitar dua bulan lalu, saya pergi ke luar sore-sore mengendarai sepeda motor. Langit cerah dan udara sepertinya segar. Tapi saya tak bisa menghirupnya karena hidung dan mulut tertutup masker. Semenjak kasus pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan, tak pernah lagi saya berkendara tanpa masker. Terlalu berisiko.
Selesai urusan, saya kembali lewat jalan yang sama. Ketika melintas di samping tanah lapang, saya lihat matahari sudah amat condong di ufuk barat. Cahaya oranye terpancar ke mana-mana. Matahari sedang di atas atap. Saya lambatkan laju sepeda motor. Karena jalanan kecil itu sepi—daerah itu memang sepi, saya bisa curi-curi pandang ke arah matahari.
Elok sekali. Keelokan seperti itu yang sering saya lewatkan sebelum pandemi. Jarang sekali saya berdiri di luar sore hari untuk menerima cahaya senja yang memeluk tubuh saya seperti pelukan seorang sahabat hendak berangkat berkelana sembari berkata, “Aku akan kembali.” Padahal matahari terbenam bisa setiap hari saya lihat; yang perlu saya lakukan hanya membuka pintu.
Ini jelas perasaan saya saja yang berbicara. Tapi, sore itu, ketika saya meluncur naik sepeda motor di jalanan kecil itu, waktu terasa berjalan lebih lambat. Beberapa detik di ruas jalan itu terasa seperti bermenit-menit. Di ujung lapangan, ketika matahari sudah tak tampak lagi karena terhalang dahan-dahan pohon, mata saya tiba-tiba saja berembun seperti seorang anak TPA yang baru saja menyelesaikan muhasabah pertamanya.
Ah, nanti ketika semuanya membaik saya akan lebih sering melihat matahari.
Lewat berita, saya tahu nanti dini hari akan ada gerhana bulan. Satelit alami bumi itu akan berubah warnanya menjadi senada stroberi. Bulan purnama stroberi. Bulan purnama stroberi, semasa corona.
Maka tadi, ketika hari sudah gelap, saya melongok ke luar memastikan hari cukup terang untuk melihat bulan. Lewat celah pintu garasi saya mendapati purnama bersinar, perlahan-lahan naik, bermain-main bersama gemawan tipis. Sebagian besar muka sang candra bersinar terang, sebagian kecil, mengikuti pola yang barangkali acak, agak gelap. Samar-samar, saya bisa melihat “wajah di bulan.”
Terus saya jalan cepat ke dalam mengambil kamera saku. Itu kamera tahan banting. Bisa dibawa ke dasar laut sampai kedalaman 30 meter, tanpa pelindung. Dia juga tak pernah mengeluh dibawa ke gunung-gunung tinggi. Hujan atau panas terik dia tak peduli. Sangar dia memang.
Tapi kamera itu ternyata tak cukup berdaya untuk memotret purnama. Terbatas sekali jangkauannya. Sampai perbesarannya mentok, dia hanya sanggup membingkai purnama sebagai bola pingpong yang mengambang di atas pagar. Akhirnya saya cuma melihat bulan penuh dengan mata telanjang, sampai rombongan awan datang dan menutupinya.
Sebelum corona, saya mungkin takkan ragu mengajak Nyonya pergi ke sebuah tempat terbuka untuk melihat purnama. Mungkin ke Gumuk Pasir, bisa juga ke Kaliurang, atau ke Plengkung Gading. Di sana saya akan meletakkan kamera di suatu tempat, memilih mode pengambilan gambar time-lapse, lalu kami akan menunggu kamera itu selesai memotret beberapa ratus bingkai.
Sekarang perjalanan seperti itu jadi terasa tak masuk akal. Kini, untuk pergi ke luar, semua mesti didasarkan pada urgensi. Tak perlu ke dunia luar untuk hal-hal yang tak perlu. Lagipula, bulan akan di situ-situ saja. Dia hanya akan berputar-putar saja mengelilingi bumi yang juga berputar-putar saja mengelilingi matahari.
Ah, nanti ketika semua membaik saya akan lebih sering melihat bulan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.