“Lo ngga boleh ngelewatin yang satu ini,” ujar teman saya berapi-api. Tak lupa ia menambahkan, “Pokoknya lo belum ke Jogja kalau belum ke [sana].”
Maksud teman saya itu adalah Sate Klathak Pak Pong. Sebenarnya saya juga tak tahu apa itu sate klathak. Tapi saya terima saja ajakannya.
Untung saja kemudian dia bercerita soal sate klathak. Makanan itu kabarnya adalah warisan kuliner yang bersejarah. Konon, sebelum perang mengusir penjajah, para prajurit yang akan berangkat dikumpulkan Sultan di suatu tempat dan diberi sajian daging kambing.
Namun saking banyaknya prajurit yang harus dijamu juru masak Keraton tak punya waktu lagi untuk meracik bumbu. Jadilah sate klathak hanya diberi garam dan bawang putih. Keduanya dioleskan saat daging dipanggang. Beda sekali tentunya dengan sate ala Madura yang disajikan dengan bumbu kacang atau kecap.
Sampai di Sate Klathak Pak Pong saya terkejut. Ramainya! Kami bahkan hanya kebagian tempat di meja kecil di pojok ruangan, dekat dapur.
Tak lama setelah kami duduk, pramusajinya datang dan bilang bahwa waktu tunggu sampai makanan disajikan adalah 90 menit. “What?! Ninety minutes?” Saya sudah keroncongan memang. Namun karena penasaran saya rela-rela saja menunggu.
Sembari menunggu saya habiskan waktu mengobrol dengan teman lama saya, suaminya, dan juga kedua jagoan kecil mereka. Di sela-sela obrolan itu saya melemparkan pertanyaan: “Kenapa Pak Pong ngga buka cabang aja ya kalau setiap hari antreannya seperti ini?”
Menikmati seporsi sate klathak Pak Pong yang lezat dan penuh makna
Pertanyaan saya itu malah dijawab dengan cerita. Teman saya berkisah bahwa dulunya Pak Pong menjual sate hanya dengan gerobak kecil dan tenda. Lalu Jogja dilanda gempa dan relawan pun berdatangan.
Saat itu, setiap kali ada relawan yang makan di lapak sate klathaknya, Pak Pong tak mau menerima bayaran. Ia menggratiskan satenya bagi semua relawan yang datang. Terus dan terus begitu.
Para relawan itu pun kemudian menyebarluaskan berita tentang lapak sate klathak milik Pak Pong. Singkat cerita pelanggan Sate Klathak Pak Pong jadi semakin ramai dan rumah makannya jadi semakin besar—sampai sebesar sekarang.
Mendengar cerita itu mata saya berkaca-kaca.
Kita memang kerap menghitung hal-hal fisik saja namun mengabaikan yang tidak tampak. Nahasnya lagi kita sering mengukur kehidupan ini dengan ukuran kita, bukan ukuran Pencipta.
Kita beranggapan bahwa dunia bekerja dengan cara kita, manusia, dan lupa bahwa dunia ini memiliki hukum sebab-akibat, penuh skenario yang terkadang di luar jangkauan otak manusia. Namun, tak bisa dijangkau dengan otak bukan berarti tidak bisa dimengerti oleh hati. Hati yang tulus dan murni akan menangkapnya dan membawanya ke kehidupan nyata.
Cerita tentang kemajuan Sate Klathak Pak Pong itu membuat saya belajar banyak. Tak hanya tentang tata laku kehidupan dan tentang cara berhubungan dengan manusia lain, namun juga bagaimana berhubungan dengan Pencipta.
Sate yang saya pesan pun akhirnya tersaji di meja. Rasanya tak cuma terasa lezat di lidah, namun juga merasuk sampai hati yang terdalam. Saya seperti sedang menikmati sesuatu yang tak hanya matang secara fisik namun juga secara filosofis.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.