Dari Kampung Sarawandori, dua mobil bak Mitsubishi L200 penuh alat pertanian dan alat medis selain plus sebuah mobil gardan-ganda membawa Tim Ekspedisi menuju ke empat kampung, yaitu Ambaidiru, Manainin, Ramangkurani, dan Numaman.
Semua kampung itu, sebagaimana Sarawandori, masih berada di Distrik Kosiwo, Kepulauan Yapen. Namun, jika Sarawandori berada di pesisir, keempat kampung itu terletak di Pegunungan Muman, di daerah dengan ketinggian antara 800-1.000 mdpl. Perlu waktu 2-3 jam lewat medan terjal untuk ke sana lewat medan terjal dan jalan yang banyak belum diaspal. Sekali waktu, mobil bak Tim Ekspedisi tersangkut di tengah jalan.
Beberapa warga kampung dan bapak pendeta dari Sarawandori turut menemani kami. Dengan warga kampung-kampung yang akan kami datangi itu, penduduk Sarawandori masih satu kerabat sesama suku Onate.
Andi Leo Karubaba, warga kampung Sarawandori, bercerita waktu kecil dulu mereka terbiasa berjalan dari pesisir menuju permukiman di Ambaidiru. “Jalan dari jam 7 pagi sampai di atas bisa jam 8 malam,” kisahnya.
Sebelum dipecah menjadi empat kampung, wilayah itu dikenal sebagai Kampung Ambaidiru. Sejak dekade 1950-an, kopi sudah masuk ke wilayah itu dan kemudian dikenal secara luas. Selain kopi, Ambaidiru juga pemasok sayur dan buah untuk kota Serui. Kebun-kebun yang ada menggunakan pupuk dari kulit kopi; tanah mereka dikelola secara organik.
Di kampung Manainin, Tim Ekspedisi bertandang ke rumah Adrianus Maniamboi. Sudah delapan bulan terakhir Adrianus menjadi bendahara KUD Rimba Kakopi Ambaidiru. Kegiatan-kegiatannya itu ia selingi dengan berkebun sayur yang hasilnya sebagian dikonsumsi dan sebagian lain dijual ke pasar.
Tahun 2017, ia lulus dari Jurusan Pertanian Universitas Papua di Manokwari, Papua Barat. Alih-alih bertahan di kota, ia pulang kampung untuk menjalankan usaha pertanian kopi keluarganya. Keinginannya adalah terus menjaga kualitas kopi, bersama para petani lain di kampung.
“Kalau kita tidak melanjutkan tete pu keringat sebagai petani kopi, nanti dia punya arwah bisa menangis karena kami sebagai cucu-cucunya tra bisa jaga jati diri,” tutur Bapak dua anak itu.
Terkait dampak pandemi terhadap pertanian kopi, Adrianus mengatakan bahwa ada satu perbedaan yang terasa, yakni berkurangnya pemesanan kopi. Sebelum pandemi COVID-19, permintaan kopi bisa datang mulai dari luar Serui sampai ke Jakarta. Namun, semenjak pandemi kopi-kopi hanya dijual ke kampung-kampung di Serui.
Di rumah Yafet Rawai, Kepala Kampung Manainin, Tim Ekspedisi memberikan dukungan peralatan pertanian dan bibit kepada perwakilan dari keempat kampung.
Di sana tim juga bertemu dengan Dorteis Artemes Mora, pemuda lulusan Program Studi D3 Keperawatan Kepulauan Yapen-Serui yang sekarang jadi petugas pustu di Ambaidiru. Ia bertutur, meskipun kampung masih zona hijau COVID-19, kewaspadaan terus diterapkan. Sosialisasi soal COVID-19 masih terus dilakukan sembari melakukan pelayanan dan pengobatan di tengah-tengah masyarakat.
“Di sini masyarakat tidak memakai masker, tapi kami selalu ingatkan jika ke pasar atau ke kota wajib menggunakan masker.” ucapnya.
Dengan adanya bantuan alat medis seperti APD, masker, face shield, sarung tangan, dan alat rapid test, Dorteis merasa kebutuhan pustu cukup terpenuhi. Selama ini, jumlah alat pelindung diri sangat terbatas dan utamanya tersedia hanya di puskesmas.
Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.