Arah SinggahTravelog

Wahyu dalam Pengolahan Sampah Lembongan

Saya memasuki sebuah halaman yang dipenuhi kaleng rongsok yang sudah dipenyek, hingga ketika menginjakkan kaki di atasnya terasa seperti berjalan di atas tumpukan aspal. Saya kemudian masuk dan menemui segerombolan manusia yang sedang duduk di atas dipan. Kesemuanya memperhatikan saya dengan keheranan.

Lahan Wahyu Segara
Lahan Wahyu Segara/Tim Arah Singgah

“Selamat siang Pak, boleh saya masuk?”

Mereka semua serempak menjawab salam, saya kemudian memperkenalkan diri dan maksud tujuan saya datang ke sini. Seorang bapak yang nampak berusia 50-an dengan rambut gondrong terikat, menyambut saya  dengan senyum yang terkembang di bibirnya. Setelah selesai menyalami satu per satu, si Bapak kemudian mempersilakan saya duduk di sampingnya dan memperkenalkan diri sebagai Putu Gondrong.

Mengingat urusan sampah bukanlah urusan remeh, patut kiranya Putu Gondrong diapresiasi untuk mengentaskan masalah sampah di Lembongan (M. Irsyad Saputra)
Mengingat urusan sampah bukanlah urusan remeh, patut kiranya Putu Gondrong diapresiasi untuk mengentaskan masalah sampah di Lembongan/M. Irsyad Saputra

“Orang-orang lebih ingat kalau Putu Gondrong, semacam nama panggung lah,” kelakarnya yang memiliki nama asli Putu Asmara.

Siang itu menjadi medan perbincangan seputar sampah di Nusa Lembongan dan bagaimana  Putu Gondrong mengelolanya dan kemudian menghasilkan uang dari sana.

“Saya sih secara nggak sengaja ke sini, ingin jalan-jalan aja,” terangnya memulai pembicaraan.

“Tapi memang basic saya sendiri di Denpasar adalah pengolahan sampah,” lanjutnya.

Masalah sampah memang menjadi momok bagi semua tempat, namun bagi Nusa Lembongan, sampah yang dihasilkan oleh limbah rumah tangga dan aktivitas pariwisata bukan lagi sekedar momok yang bisa dihindari, namun harus dikelola agar pulau kecil ini tidak terkubur oleh timbunan sampah. Kehadiran Putu Gondrong, bukan sekedar untuk mengolah sampah menjadi uang, tapi juga membebaskan pulau ini dari sampah. Untungnya, ajakannya untuk memerangi sampah diterima dengan tangan terbuka oleh semua pihak.

Dukungan dari semua pihak juga turut andil atas pengolahan sampah milik Putu Gondrong (M. Irsyad Saputra)
Dukungan dari semua pihak juga turut andil atas pengolahan sampah milik Putu Gondrong/M. Irsyad Saputra

Namun, pengelolaan sampah di Nusa Lembongan bukan tanpa halangan. Masalah utama di pulau-pulau kecil adalah transportasi dari dan ke pulau besar yang cukup mahal untuk ukuran pengelolaan dan manajemen, yang mana di Lembongan sendiri masih menggunakan kapal kayu untuk pengangkutan sampah ke Denpasar. Pengolahan sampah di Lembongan hanya terbatas pada pencacahan dan pengepresan. Sampah-sampah ini sebagian besar berasal dari sampah hotel dan restoran, sisanya merupakan sampah rumahan.  

Pada 2017, pengolahan sampah masih dilakukan secara manual, yang sampai saat ini sudah semakin diperlengkapi dengan alat-alat pencacah bantuan dari KKP. Untungnya juga, keahlian Putu dalam mengolah sampah membuat mesin ini menjadi awet dan tidak cepat rusak.

“Karena mendapatkan subsidi minyak dari KLHK, kami mengambil sampah rumahan secara gratis dari masyarakat di sini. Kalau masyarakat mau memilah sampah, kami akan memberikan nilai ekonomi pada masyarakat tersebut.”

Sampah kardus yang sudah dipilah,dan siap untuk diolah (M. Irsyad Saputra)
Sampah kardus yang sudah dipilah, dan siap untuk diolah/M. Irsyad Saputra

“Kalau saya punya barang [sampah] seperti ini di Denpasar, mungkin saya milyuner. Tapi karena dipotong biaya transportasi, bayaran tenaga kerja, biaya hidup, jadi pada intinya saya di sini menjalankan kepedulian dan bisnis.”

Memang kalau soal kepedulian terhadap alam, kita tidak bisa hanya sekedar peduli dan membiarkan perut kita kosong karena kepedulian, kan? Apalagi semisal hanya mengandalkan uluran tangan dari para donatur. Pasti ada dua sisi ataupun beberapa sisi dari pengelolaan lingkungan, salah satunya untuk bertahan hidup dan menghasilkan uang. “Ada di satu sisi saya harus peduli, dan di satu sisi saya harus menjalankan bisnis. Untuk apa? Ya untuk membayar anak-anak, dan sebagai penghasilan sendiri secara pribadi.”

Salah satu sampah paling umum di Lembongan adalah botol bir (M. Irsyad Saputra)
Salah satu sampah paling umum di Lembongan adalah botol bir/M. Irsyad Saputra

Memang, awal mula mengolah sampah bukanlah berasal dari niat kepedulian terhadap lingkungan, melainkan melihat peluang yang tidak banyak digeluti orang. Sebagian dari kita tentu menganggap sampah sebagai sesuatu yang tidak patut, konotasinya selalu negatif dan kesannya selalu buruk. Putu kemudian melihat peluang tersebut, kenapa tidak mengolah sampah saja? Yang bisa dimulai dengan modal berapapun, kompetisi yang tidak terlalu ketat, dan pastinya juga mudah. Meskipun pengolahan sampah di Lembongan baru dimulai semenjak enam tahun yang lalu, Putu Gondrong sudah bergelut dengan sampah semenjak tahun 1989. Di saat orang-orang Bali melihat pariwisata sebagai titik kunci, Putu justru melihat sampah sebagai potensi.

“Mereka buang, saya pungut, lalu saya jual.”

“Disaat itupun saya berpikir ‘kayaknya jadi pemulung tuh nggak susah kelaparan deh, yang penting nggak malu aja’,” tuturnya.

Meski orang tuanya berprofesi sebagai tentara, Putu muda tidak malu untuk memilih jalan hidup bersama sampah. Sebagai anak pertama, dia juga ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan adik-adiknya, dan syukurnya, orang tuanya tidak mempermasalahkan bagaimana ia mencari uang, yang penting halal.

Selain sampah biasa, sampah organik juga menjadi perhatian Putu Gondrong (M. Irsyad Saputra)
Selain sampah biasa, sampah organik juga menjadi perhatian Putu Gondrong/M. Irsyad Saputra

“Padahal menurut orang-orang, kerja proyek lebih gede bonafitnya dibanding kerja sampah, jika diukur soal penghasilan, penghasilan lebih banyak di kerja sampah daripada di proyek, tapi pada kenyataannya tetap ini [kerja sampah] adalah pilihan terakhir.”

Menurutnya, memulung itu adalah cara efisien untuk mendapatkan uang. Kalau bisa dibilang, selama ada manusia pasti bakal ada sampah, sekarang siapa yang mau mengelola sampah sebanyak itu? Bukankah ini lahan basah yang tidak semua orang mau berebut dan tumpah ruah di dalamnya? Timbulah sebuah pemikiran ajaib dari Putu, kenapa Indonesia tak bikin sekolah khusus penanganan sampah? Sumber daya sampah ini berlimpah, dan dipastikan tidak akan pernah habis hingga hari penghakiman.

Memang, seringkali pandangan umum tentang pemulung itu adalah pekerjaan yang tak penting dan tak prestisius. Ibarat kasta, pemulung itu ada di tingkatan paling bawah, jauh dari kesan baik bahwa sebenarnya pekerjaan ini halal dan membantu mengurangi sampah.

Putu Gondrong berhasil memberdayakan beberapa orang untuk bekerja bersamanya mengolah sampah. Jumlah pekerja yang dimiliki  Putu Gondrong kini berjumlah delapan orang. Kesemuanya berasal dari daerah luar Bali, utamanya Pulau Jawa dan Madura. Karena personil yang terbatas, beberapa orang punya beberapa jabatan sekaligus. Istri Putu yang juga tidak ketinggalan ikut membantunya mengurus bisnis ini.

Bagaimana dengan orang Nusa Lembongan sendiri? Apakah mereka tidak diberdayakan?

Menurut Putu, dia sebisa mungkin senantiasa mengajak masyarakat di sini untuk bersama-sama mengelola sampah dari pulau. Tapi sayang sekali, ajakan dia seringkali ditolak oleh mereka, karena daya tarik pariwisata yang lebih kuat. Soal gaji, Putu bahkan menawarkan lebih dari yang biasa mereka dapatkan ketika bekerja di restoran atau resort. Tetap saja, hal itu tidak berpengaruh banyak pada keinginan mereka.

Saya diizinkan untuk melihat-lihat sekitar. 

Di bawah pohon-pohon yang menaungi area tersebut, ada beberapa jenis sampah yang bisa dilihat secara keseluruhan; botol kaleng, botol kaca, botol plastik, kardus, kabel, minyak jelantah, hingga sampah organik. Kesemua itu ada yang sudah dipilah, ada yang masih berhamburan, ada yang sudah dipres, ada yang sudah menjadi barang jadi. 

“Nah ini mesin untuk ngepres-nya,” katanya sambil menunjukkan kepada saya sebuah mesin berwarna merah yang saya lihat lebih mirip lemari tanpa dinding dan sekat. Ada juga mesin pencacah botol plastik yang sedang diasah oleh salah satu anak buah Putu Gondrong. Saya baru melihat bagaimana hasil plastik yang dicacah, bentuknya mirip sekali dengan petasan kertas untuk ulang tahun yang berhamburan kala balon sudah pecah.

“Kenapa direndam dalam air, Pak?”

“Itu supaya pas sudah keluar langsung bersih hasilnya.”

Saya beralih pada area pengomposan sampah organik. Sampah-sampah organik yang dihasilkan oleh pulau ini pun jumlahnya cukup besar. Meskipun area pengomposan ini terlihat jauh lebih kecil dibanding area pengolahan sampah lainnya. Kompos yang dihasilkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kebun yang mereka kelola di tanah seberangnya. “Hasil komposnya bagus, bahkan bisa bikin kebun kecil kami tumbuh di sini, sayang kebunnya tidak bisa lagi dirawat karena kami kekurangan tenaga,” ucapnya sambil melihat ke arah kebun.

Wahyu Segoro, pengelolaan sampah ini dinamakan pemiliknya demikian. Mungkin Putu ingin menjelma sebagai wahyu dari segoro untuk alam Lembongan. Mungkin juga, Putu memohon wahyu dari segoro untuk tetap kuat melakukan melakukan pengelolaan sampah di Lembongan. Mungkin saja, saya belum tahu pasti dan juga tidak bertanya kepada beliau mengapa dinamakan begitu. Apapun itu, Putu Gondrong telah menjadi wahyu, setidaknya bagi keluarga dan para pegawainya, dan bagi pulau ini.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Tani Jiwo: dari Hostel ke Pemberdayaan Literasi Dieng