Pagi-pagi sekali, sesuai dengan arahan Jaya Sanjaya sebelumnya, kami berangkat menuju Pelabuhan Matahari Terbit. Mengingat sekarang masih musim liburan atau summer time, banyak turis asing yang hilir-mudik di pelabuhan, bahkan mungkin jumlahnya sekitar 80% dari orang-orang yang berjubel. Kondisinya mirip dengan kondisi mudik lebaran. Bisa dibayangkan betapa Bali begitu populer di mata orang asing. Rombongan penyebrang bergantian memasuki perahu yang akan mengantarkan ke berbagai tujuan, salah satunya adalah Nusa Lembongan.
Nusa Lembongan memang tidak sebesar Nusa Penida. Ukuran pulaunya jauh lebih kecil, mungkin hanya seperdelapannya saja. Tapi untuk Kawasan Konservasi Perairan (KKP), Nusa Lembongan masuk ke dalam bagian Nusa Penida, bersama dengan Nusa Ceningan.
Sesampainya di sana, kami menemui satu orang relawan CTC (Coral Triangle Center) dan seorang seniman yang merangkai struktur untuk transplantasi karang, yang berbentuk masker dan gajah mina. Yang masker, bentuknya kotak dan berukuran sekitar 3×6 meter. Kenapa bentuknya masker? Karena masker adalah simbol dari pandemi dan juga sebagai simbol kebangkitan pariwisata Nusa Lembongan. Sedangkan bentuk gajah mina atau Sang Hyang Mina dipilih sebagai perlambangan hidup masyarakat Lembongan yang bergantung dengan laut.
Kedua struktur ini dibuat oleh I Wayan Ujiana, seorang seniman dan guru yang juga membantu kegiatan CTC yang ada di Lembongan. Setelah kami menemuinya di sebuah tanah lapang dan melihat hasil kerjanya berupa rangkaian struktur berbentuk masker yang sudah siap untuk digunakan. Setelah itu kami berkunjung ke galeri miliknya, ada banyak lukisan karyanya yang dipajang dan patung-patung kecil yang dipahat dengan detail, termasuk struktur Sang Hyang Mina yang masih dalam proses penyempurnaan.
Galeri tersebut dinamakan Galeri Dedari. Karya lukisnya kebanyakan berjenis abstrak, perlu kejelian mata untuk melihat maksud lukisan. Saya sering terkecoh dalam menebak maksud lukisan yang ia buat.
“Ini bentuk gajah, yang ini belalainya, terus yang ini kakinya,” celetuk saya, mencoba menebak salah satu lukisannya yang tergantung di pojok ruangan
“Bukan, itu bentuk kelamin perempuan. Gajah kok ada janinnya!” serunya, membenarkan pengamatan saya yang meracau. Jujur, saya tidak terlalu mengerti cara melihat lukisan abstrak, butuh waktu lebih lama untuk mencerna.
Bapak ini juga yang mengkoordinir pemuda desa untuk membantu kegiatan CTC di Lembongan. “Saya juga mempertanggung jawabkan apa yang kami komitmenkan bersama CTC,” terangnya. Dalam kegiatan relawan, mereka tidak meminta harga khusus, yang penting anak-anak dihargai kerja kerasnya, baik dalam bentuk uang, konsumsi, atau hal lainnya. Dalam hal ini,hubungan keduanya saling diuntungkan.
Saya beralih menanyakan soal Lembongan. Lembongan, seperti bagian Bali lainnya, juga mulai dipadati wisatawan yang sudah mulai mencari bagian Bali yang masih “perawan.” Meskipun belum seramai Penida, pertumbuhan pariwisata di Lembongan terus naik dari tahun ke tahun. Bagaimana dengan pengelolaan restoran atau hotel, apakah lebih banyak punya warga lokal dibanding punya orang luar?
“Kalau strategi orang Lembongan itu, dia punya sepuluh, dijual dua. Yang dua, buat modal dia untuk yang delapan,” terangnya. “Kalau kita ndak jual sama sekali, kita nggak mungkin bisa apa-apa. Karena membuat tempat tinggal tamu kan butuh uang banyak.” Orang Lembongan akan mengorbankan beberapa are (1 are sama dengan 100 meter persegi) tanah untuk membangun sisa tanah lainnya. Kalau tidak, mereka memberanikan diri untuk berhutang dengan kalkulasi yang matang agar kedepannya tidak terjerat hutang yang melilit.
Saya kemudian duduk bersila di bawah bangku yang ia duduki, selain mendengarkan obrolan soal relawan CTC dan pariwisata Lembongan, ia bercerita soal lukisannya yang lebih laku dibeli oleh orang luar Bali. Menurutnya, tidak semua orang memahami makna lukisan abstrak. Orang Bali cenderung pada seni yang berwujud dan tidak multitafsir. Oleh karena itu, lukisannya lebih sering dibeli oleh orang-orang yang memang berkecimpung di seni daripada orang yang hanya sekedar iseng mengoleksi.
Dia menerangkan salah satu lukisannya yang bertemakan hancurnya budaya Bali kepada saya, yang masih mencoba mencerna gambar tersebut. “Makin banyak bule ke sini kan sedikit banyaknya menggerus kebudayaan, kan?” jelasnya pada saya yang masih memperhatikan lukisannya.
Suatu ketika, ia pernah melukis kejadian WTC di Amerika Serikat pada hari yang sama saat kejadian berlangsung. Beberapa waktu berselang, karyanya dipajang di salah satu galeri di tempat lain. Salah satu pengunjung yang kebetulan orang Amerika Serikat, tertegun dan terpana menyaksikan lukisan tersebut hingga air memancar pelan dari matanya. Setahun kemudian, lukisan tersebut akhirnya dibeli oleh orang Australia, yang naasnya ada di tempat saat pesawat tersebut menghantam gedung setinggi 417 meter tersebut.
“Lukisan itu kan mereka ambil karena ada kesan bagi mereka. Bagi saya sendiri lukisan itu ya lukis-lukis aja, saya tidak berpikir apakah lukisan itu mau dijual, laku nggak laku, saya nggak pikir. ”
Darah seni yang ia miliki diwariskan oleh kedua orang tuanya yang merupakan pemusik tradisional di daerah Lembongan. Meski musik dan lukisan memang jauh, tapi keluarganya selalu diberkati dengan performa daya seni yang tinggi, termasuk kakeknya yang juga seorang sastrawan Bali. Memang, pemusik bukanlah profesi utama orang tuanya. Hidup bisa apa kalau cuma bergantung dari musik? Maka sebagai orang desa, orang tuanya pun bergantung hidup pada pertanian. Penghargaan masyarakat kita pada karya seni tidak tinggi sehingga para pelaku seni masih sulit untuk menyerahkan seluruh hidup pada bakatnya.
“Kalau bapak bisa bermusik juga?” tanya saya penasaran.
“Bisa lah sedikit-sedikit,” jawabnya.
Percakapan ini tidak hanya mengulik pengalamannya sebagai seniman, juga mendengarkan sepatah-dua patah cerita ia tentang ketuhanan dan cara bersatu dengan Tuhan. Bagaimana ia memaknai menghadap Tuhan tidak harus dengan sembahyang dan bagaimana laku baik pasti mengarah pada perbuatan Tuhan. Ia juga menyayangkan pandangan manusia yang lebih terfokus kepada perbedaan daripada persamaan. Selayaknya seni, perbedaan dalam jenis dan selera adalah hal yang lumrah dan alamiah, begitu juga dengan keadaan manusia. Bukankah warna warni pelangi itu indah karena berbeda?
“Saya sudah tua, ndak ada kerjaan apa lagi. Rumput laut sudah diambil alih oleh anak. Saya tinggal 8 tahun lagi sudah pensiun. Kalau masih diizinkan untuk hidup, kan harus melukis. Kalau kerjaan nyangkul ga mungkin kuat lagi saya.”
“Kalau nggak melukis mungkin wanaprasta, mendekatkan diri kepada Tuhan.”
***
Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.
Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.