Arah SinggahTravelog

Demi Hidup Terumbu Karang

“Selamat datang di Coral Triangle Center!” sambut Rika dan Yoga sambil membawa kami pada sebuah peta besar yang memuat Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Mereka berdua adalah staf yang menyambut kami dan menjelaskan bagaimana program kerja dan di mana saja wilayah kerja Coral Triangle Center (CTC). 

Sebagai organisasi non profit yang bergerak di bidang konservasi terumbu karang, CTC selain menjaga wilayah konservasi, juga menjadi penggerak untuk mengedukasi masyarakat sekitar terkait pentingnya wilayah konservasi. Lawatan kami ke kantor CTC kali ini dalam rangka mencari tahu dan menilik sedikit bagaimana CTC beroperasi, yang salah satunya ada di Gugusan Pulau Nusa Penida. CTC sendiri berkantor di daerah Sanur, Denpasar Selatan.

“Ada pertanyaan?” imbuh Rika sambil melihat kami yang nampak masih kebingungan dengan penjelasan mereka di awal. Sambil melihat peta, wilayah kerja CTC ditandai dengan warna oren dan terlihat kecil, saya pun bertanya, “Bagaimana dengan daerah lainnya yang tidak terjangkau?”

“CTC hanya berkontribusi kecil saja jika dibandingkan dengan luas wilayah laut yang ada, dan yang ini [wilayah kerja] kita petakan,” terang Yoga. Yoga juga menerangkan ada banyak organisasi nirlaba lainnya yang turut ikut membantu menjaga biodiversitas perairan di Indonesia, yang peta wilayah kerjanya bisa diacu pada peta MPA (Marine Protected Area) yang diterbitkan oleh kementerian kelautan dan perikanan .

Dipandu oleh Rika dan Yoga, kami berkeliling melihat kantor CTC yang bertempat di Denpasar
Dipandu oleh Rika dan Yoga, kami berkeliling melihat kantor CTC yang bertempat di Denpasar/Tim Arah Singgah

“Ada lima di Indonesia dan dua di Timor Leste yang dibina oleh CTC,” tambah Rika.

Masih ada banyak pertanyaan di benak saya, tentang bagaimana tanggapan masyarakat atas wilayah konservasi.

Penjelasan selanjutnya menjawab pertanyaan saya mengenai bagaimana pendekatan CTC kepada masyarakat luas berkaitan dengan konservasi, yaitu melalui pendekatan humanis, hingga pelatihan dan pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan penduduk setempat. Sejak 2010 hingga 2019, CTC berhasil menyelenggarakan 246 sesi pelatihan dan melatih 5.800 pengelola dan orang-orang yang terlibat dalam KKP di seluruh negara segitiga terumbu karang, yang tentunya jumlahnya akan terus bertambah seiring waktu. Bukan hanya pengetahuan yang meningkat, pendapatan pun turut meningkat seiring dengan tumbuhnya kesadaran merawat terumbu karang.  

Dalam peragaan di kantornya, CTC juga memperlihatkan bagaimana harmonisasi antara lautan dan daratan terjalin. Sampah-sampah hasil olahan manusia juga mempengaruhi bagaimana laut bekerja. Plastik, sampah makanan, hingga ban bekas acapkali menghiasi laut dengan segala keburukannya. Indonesia berada di urutan kedua dalam pembuangan sampah ke laut dengan total 187,2 juta ton. Untuk itu, CTC menekankan bagaimana rumah tangga bisa ikut berpartisipasi dalam mengurangi sampah di laut dengan cara mengompos sendiri sampah organik.

Tempat pengomposan
Tempat pengomposan/Tim Arah Singgah

“Kompos terkenal karena bau dan juga susah, padahal tinggal ditambah sekam bakar,” kata Rika sambil membukakan hasil kompos yang telah mereka lakukan selama berbulan-bulan.” CTC melakukan pengomposan dan juga membuat kebun mini untuk kebutuhan kantor mereka.  Saya terkagum-kagum melihat bagaimana kantor CTC didesain sedemikian rupa, dengan berbagai alat pembelajaran seperti permainan escape room, peragaan pembuatan pupuk kompos, kebun mini, peragaan berbagai macam terumbu karang dari keramik yang dibentuk menjadi instalasi seni, hingga kolam pelatihan menyelam. Yang terbaru, mereka juga akan membuka ruang pameran. Kesemuanya ini merupakan aplikasi dari cara pembelajaran CTC yang tidak hanya memaparkan teori.

Hal menarik lainnya yang ditunjukkan kepada kami adalah koleksi wayang-wayang kulit yang bertokohkan ikan-ikan serta biota laut lainnya yang dinamakan Wayang Samudra. Tujuannya tidak lain adalah untuk memudahkan peserta pelatihan serta warga mengenali dan paham kenapa biota laut mesti dilindungi. Ada ikan badut, kerapu, kuda laut, penyu, ubur-ubur, hingga penyelam: manusia! 

Wayang samudra yang digunakan oleh CTC untuk proses pembelajaran
Wayang samudra yang digunakan oleh CTC untuk proses pembelajaran/Tim Arah Singgah

Lama bersua dengan Yoga, seorang lelaki datang dengan derap langkah yang tegas. Dari sorot matanya, saya tahu dia merupakan salah seorang senior di sini. Setelah memberi salam, dia kemudian memperkenalkan diri sebagai Wira Sanjaya atau akrabnya disapa Jaya. Sebagai CTC Project Leader Nusa Penida di Penida, dia memberikan gambaran bagaimana keadaan di Penida secara umum.

Nusa Penida, pulau yang terpisah hanya sepelemparan batu dari Pulau Bali mempunyai 296 spesies karang yang masuk dalam Kawasan Konservasi Nusa Penida pada tahun 2008, namun secara umum, survei rutin dilakukan setiap tahun untuk melihat perkembangan laut di sekitar Penida. Penida yang rutin menerima kunjungan wisatawan setiap tahunnya selalu dihantui perasaan yang sama; kerusakan ekosistem laut karena pengolahan limbah plastik yang belum maksimal. Masalah tambahan lainnya yang cukup mengusik adalah soal perubahan iklim.

Sistem zonasi di KKP (Kawasan Konservasi Perairan) Nusa Penida terdiri dari empat zona dan tujuh sub zona: zona inti, zona perikanan tradisional, zona wisata bahari, zona suci, zona wisata bahari khusus, zona budidaya rumput laut, dan zona pelabuhan. Tujuan dirancangnya sistem zonasi ini untuk mengakomodir semua kepentingan yang ada sehingga semua bisa berjalan beriringan.

Diskusi bersama bli Jaya dan Yoga
Diskusi bersama Bli Jaya dan Yoga/Tim Arah Singgah

Jaya kemudian menjelaskan kepada kami kegiatan CTC minggu ini di Nusa Penida dan Nusa Lembongan. Di Lembongan, tim CTC bersama para relawan di sana akan melakukan transplantasi karang yang biasanya dilakukan dengan struktur yang menyerupai jaring laba-laba—spider web —kini menyerupai masker dan gajah mina, hewan mitologi Indonesia. Sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di Penida dan Lembongan, Jaya mengetahui seluk-beluk serta tantangan yang ada di sana. Semisal di Lembongan, ekowisata mangrove yang awalnya hanya karena menyewakan sampan di sela-sela kegiatan mereka merawat rumput laut, berubah menjadi kegiatan utama mereka karena lebih menghasilkan.

“Di situ kita mau mendorong bahwa, konservasi bukan hanya perlindungan, tapi bisa juga dimanfaatkan oleh masyarakat, dan masyarakat dapat manfaat dari situ,” jelasnya.

Mendorong masyarakat juga berarti mendorong kelompok pemuda yang ada di sekitar untuk berpartisipasi aktif dalam konservasi, khususnya terumbu karang. Kerja sama antar CTC dan para pemuda terjalin melalui Nuansa Pulau, yang berfokus pada pembelajaran konservasi bagi para pemuda di Nusa Penida. Selain  konservasi, kelompok ini juga melayani beberapa paket wisata seperti selam permukaan (snorkeling) dan menyelam (diving).

Kelompok Nuansa Pulau
Kelompok Nuansa Pulau/Tim Arah Singgah

Bersama Nuansa Pulau, hadir pula program bernama Adopt A Coral, yang mengajak orang-orang yang ingin berpartisipasi dalam konservasi terumbu karang untuk menyumbang sejumlah uang yang kemudian akan digunakan untuk transplantasi karang. Kegiatan ini akan melaporkan kepada para pendonor bagaimana tumbuh kembang dan proses yang berlangsung, dilengkapi dengan dokumentasi.

“Waktu awal pandemi, kita melihat wisatawan sepi dan tidak ada aktivitas, terus kita mendorong pembentukan kelompok Nuansa Pulau. Anggotanya memang lebih banyak anak-anak sekolah,” terang Jaya.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

M. Irsyad Saputra

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Stone Garden Citatah: Taman Batu di Bekas Dasar Laut Purba