IntervalPilihan Editor

Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?

“1001 spot instagramable, mungkin kebanyakan dari kita familiar dengan kata-kata ini. Istilah tersebut muncul dari rangkuman siaran pers mantan Menteri Pariwisata Arief Yahya pada 12 Maret 2018. Dalam Rapat Kerja Teknis Pra Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kementerian Pariwisata 2018 di Bali, eks CEO PT Telekomunikasi Indonesia itu mendorong daerah untuk berlomba-lomba membangun ribuan spot foto. Membingkainya tiga ratus enam puluh derajat dalam kamera dan mengunggahnya di media sosial. Maka terciptalah “destinasi digital” dan segala apa pun yang berpotensi viral.

Instruksi itu kemudian diterjemahkan ke pelbagai bentuk. Mulai pasar wisata digital yang hanya muncul di saat-saat tertentu, tempat wisata tematik yang menjual spot foto berbayar, sampai dengan miniatur-miniatur landmark ala luar negeri. Kampung Eropa Lembah Harau di Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Stonehenge di Sleman, Yogyakarta. Terbaru, miniatur Kakbah, Patung Merlion, dan Menara Eiffel yang pembangunannya merupakan program Pemerintah Kota Madiun, Jawa Timur. Bahkan Kediri lebih visioner. Kabupaten yang terkenal dengan nanas madunya itu sudah punya Arc de Triomphe versi lokal sejak 2008, alias Monumen Simpang Lima Gumul. Dan masih banyak lagi. 

Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?
Monumen Simpang Lima Gumul di Kabupaten Kediri yang mirip Arc de Triomphe Paris via Flickr/Bhumyamka Saputra

Untuk alasan ekonomi dan kuantitas wisatawan sebagai tolok ukur kepariwisataan, keberadaan landmark mirip luar negeri di Indonesia menjadi semacam virus. Gampang dibuat. Cepat menular. Mengekor pembangunan tengara-tengara berbasis selfie spot lainnya yang telah lama eksis dan viral: foto simbol love, kapal ala-ala di pinggir tebing, dan lain sebagainya.

Tengok lagi ke beberapa destinasi wisata alam populer di Indonesia. Lihat panorama alam khas tropis yang sudah memukau dan natural, seperti pegunungan, pantai, hutan, perkebunan; harus “berbagi tempat” dengan benda-benda artifisial demi alasan estetika dan pengakuan media sosial. Yang paling kerap terdengar selanjutnya adalah narasi seperti ini, “Ngapain jauh-jauh pergi ke luar negeri? Di sini aja lebih murah, yang penting dapat foto bagus serasa di Eropa.”

  • Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?
  • Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?

Nilai lokal yang mengabur

Sejujurnya, tidak ada yang salah dengan preferensi setiap orang. Pembuat dan pengelola destinasi wisata tiruan ala luar negeri itu memiliki pasar yang sangat jelas. Tak peduli latar belakang sosial maupun usia. Asal punya smartphone dan akun media sosial, serta aplikasi filter pemercantik foto. Namun, dalam pandangan saya, itu justru seperti bentuk ketidakpercayaan diri dengan nilai dan potensi lokal yang kita miliki. 

M. Nurdin Razak, praktisi ecotourism sekaligus pendiri Indonesia Ecotourism Institute, menyoroti tajam fenomena ini. Menurut Nurdin, tren miniatur mirip luar negeri sebenarnya sama dengan wisata selfie dan sejenisnya. Terulang kembali konsep-konsep mass tourism yang berorientasi mendapatkan uang (keuntungan ekonomi) secara cepat.

“Hal ini menunjukkan begitu lemah dan rendahnya kebanggaan dan kreativitas orang Indonesia dalam membuat spot-spot wisata. Hanya meniru dan tidak bangga terhadap desa atau daerah mereka untuk menunjukkan [identitas] lokalnya,” kata Nurdin, “padahal kelokalan ini penting sebagai primordialisme yang harus kita jaga sebagai bangsa besar.”

Bukan cuma itu. Mantan dosen pariwisata yang juga hobi wildlife photography itu menyebut tren wisata-wisata dadakan adalah sebab sifat latah dari bangsa kita yang masih melekat. Mulai dari pendidikan PAUD-TK sampai kuliah, tidak banyak tenaga pendidik yang memiliki kreativitas dalam mengajar. Kita tercipta selalu meniru tanpa melakukan evaluasi maupun tindakan kreatif, termasuk pariwisata.

Tatak Sariawan, ketua pengurus Koperasi Desa Wisata Candirejo, Kecamatan Borobudur, Magelang, menyampaikan pernyataan senada. Meskipun tidak mempermasalahkan sebuah daerah membangun destinasi wisata baru, tetapi Tatak kurang sepakat dengan konsep yang mirip bahkan menyerupai wisata luar negeri. 

“Bahkan pembangunan semacam itu tidak bisa dilakukan di desa wisata. Di desa, kita tidak membangun fisiknya, tetapi yang kita bangun adalah sumber daya manusia dan berkaitan dengan [potensi] apa pun yang ada di sebuah desa wisata,” tegasnya.

Nurdin dan Tatak benar. Pembangunan wisata yang tidak berkelanjutan dan asal jadi justru menimbulkan bumerang. Dampaknya tidak main-main. Nilai lokal bisa makin mengabur. Terhalang dengan kabut ambisi mengedepankan viral dan estetika, tetapi kosong. 

Dilema: kebutuhan ekonomi atau ketahanan jangka panjang

Kalau menilik komentar para warganet yang menanggapi tren wisata seperti ini, akan terlihat dua pihak berseberangan. Pro dan kontra. Setiap orang membawa argumentasinya sendiri. Bagi yang membela, biasanya meminta kita memahami latar belakang pendirian wisata miniatur luar negeri itu. Tidak semua orang mampu bepergian jauh ke Eropa, Amerika, atau bahkan ke negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Maka keberadaan kincir angin, Menara Eiffel, Santorini, atau kastil-kastil kuno ala Eropa, menjadi sesuatu yang segar, baru, dan berbeda bagi orang-orang yang di tempat tinggalnya mungkin sudah biasa berdampingan dengan sawah, pegunungan, pesisir, sungai, atau ngarai yang dalam. 

Di sisi berlawanan, menghadirkan ornamen-ornamen atau bangunan buatan—biasanya di tempat yang sudah menjadi destinasi wisata populer—justru menimbulkan polusi visual. Tak hanya miniatur landmark luar negeri, tetapi juga spot-spot tambahan demi memenuhi hasrat berfoto yang cantik.

Saya menemukan sebuah forum diskusi menggelitik di Quora, tentang tren-tren wisata yang paling menyebalkan di Indonesia. Puluhan akun berbagi pengalaman masing-masing. Terlepas cara dan bentuk penyampaian yang bermacam-macam, mereka menyuarakan satu keresahan yang sama. Mengapa keindahan sebuah destinasi yang sudah terbentuk secara alami, harus “mengalah” pada orientasi kuantitas dan kebutuhan eksistensi?

Saya juga jadi ikut bertanya-tanya. Kalau memang alasannya untuk kebutuhan ekonomi, bukankah yang seperti itu justru menghambur-hamburkan modal uang ketimbang membiarkan tetap natural dan memoles sewajarnya?

Nurdin punya jawaban menohok soal itu. Sebuah sudut pandang yang ia hasilkan dari perjalanannya keliling Indonesia, kawasan konservasi, hingga desa-desa wisata selama puluhan tahun. “Menurut saya, bangsa atau masyarakat kita ini cenderung memiliki kemalasan yang menurut saya cukup parah. Hampir semua desa bahkan kelompok sadar wisata (pokdarwis) tidak memiliki kemampuan kreativitas. Ketahanan wisata atau pengelolaan mereka masih patut dipertanyakan. Pada akhirnya, uang-uang cepat itu tadi yang dikejar.”

Pemilik Baloeran Ecolodge di Situbondo, Jawa Timur, itu memberi catatan pengecualian pada daerah yang sudah menjadi destinasi internasional. Misalnya, Yogyakarta dan Bali. Itu pun karena ekosistemnya sudah terbentuk. “Tapi kalau [daerah] yang harus mulai dari nol atau setengah itu, saya kira belum banyak memiliki resiliensi yang bisa dibuktikan,” tukasnya.

Dari pengamatan Tatak, secara ekonomi pengelola wisata tiruan atau berbasis photo spot tersebut memang membutuhkan modal. Lebih mudah membangun tempat wisata baru secara fisik ketimbang desa wisata. Uang yang sudah terpakai untuk investasi memang cepat kembali. “Tapi model wisata seperti itu, yang sudah terjadi saat ini, sepertinya memerlukan inovasi dan pengembangan terus-menerus. Jadi, sisi keberlanjutannya masih perlu dipertanyakan lagi.”

Sepertinya jalan kita masih panjang nan terjal untuk menggapai cita-cita besar kepariwisataan di masa depan, yaitu menciptakan ekosistem quality tourism. Nurdin sendiri meragukannya, selama pemangku kebijakan dari pusat ke daerah tidak memerhatikan logika berpikir, data empiris di lapangan, dan sinkronisasi program.

Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?
Seorang tamu praktik membuat gerabah di Desa Wisata Candirejo. Di desa wisata, segala elemen terlibat mulai dari tingkat pemerintah desa sampai penduduk lokal dalam mempertahankan lokalitas di perdesaan/Rifqy Faiza Rahman

Bukan destinasi, melainkan pola pikir dan strategi manajemen

Dampak pandemi COVID-19 lalu telah memberikan bukti nyata. Wabah global tersebut menghajar salah satu sektor andalan Indonesia, yakni pariwisata. Terutama pariwisata massal (mass tourism). Bahkan destinasi kelas dunia sekaliber Bali, saya lihat sendiri ketika mengunjungi kawasan Kuta di akhir 2020, denyutnya lumpuh tak berdaya. Kios-kios suvenir tutup, beberapa hotel melati dan berbintang sempat tiarap, dan tidak sedikit yang kehilangan profesi di bidang jasa ini. Salah satu yang mampu bertahan di antaranya Desa Adat Penglipuran, Bangli. Meskipun tak sepenuhnya membatasi kuantitas kunjungan turis, tetapi lestarinya adat dan tradisi membuat Penglipuran masih bertahan.

Pandemi sejatinya bisa jadi momen terbaik para pegiat mass tourism untuk mengambil napas sejenak. Kita sadar betul alam benar-benar terbukti mampu memulihkan diri ketika kunjungan wisata terhenti. Kawasan-kawasan konservasi, seperti taman nasional dan suaka margasatwa, lebih hijau daripada sebelumnya. Kualitas udara membaik. Barangkali ini menjadi catatan penting bahwa obsesi membangun kepariwisataan mestinya tidak perlu sevulgar atau sebombastis itu.

Pengembangan pariwisata yang memerhatikan daya dukung dan ramah lingkungan, sesuai konsep ekowisata, belakangan kian jadi incaran banyak orang. Sensasi kembali ke alam, beraktivitas sederhana ala masyarakat perdesaan, dan tinggal lebih lama untuk wisata yang berkualitas tampaknya telah menjadi pertimbangan penting dalam berwisata. Hal ini seperti melegitimasi kiprah seorang Nurdin Razak dan Tatak selama puluhan tahun terhadap pariwisata berkelanjutan. Jangan-jangan ecotourism, setidaknya prinsip-prinsip maupun kaidahnya, menjadi satu-satunya solusi terbaik untuk mengatasi carut-marut kepariwisataan dari hulu ke hilir.

“Menurut saya, kita masih perlu banyak belajar karena kita tertinggal jauh dari banyak sisi. Yang potensial less capital  justru tidak digarap, yang membutuhkan dana besar malah digarap. Ini lucu, karena ecotourism atau sustainable tourism tidak membutuhkan dana besar. Hanya membutuhkan pembentukan atau pembangunan pola pikir yang positif,” Nurdin menerangkan, “permasalahannya bukan di destinasinya atau apa pun di depan kita yang mau digarap, melainkan manajemen di dalam yang harus dibenahi.”

Tatak pun satu suara. Dari sudut pandang desa wisata, mereka harus membatasi bahkan menghindari pembangunan yang tidak berkelanjutan di kawasan desa wisata. “Bicara desa wisata adalah tentang integrasi segala potensi yang ada di dalamnya, membangun sinergi antara pemerintah desa, lembaga desa, pelaku wisata, dan masyarakat,” tegas pria yang juga perangkat desa itu.

Pada saatnya kita harus memiliki batasan-batasan. Di negara hukum seperti Indonesia, peraturan perundang-undangan mesti menjadi payung besar untuk mengurangi ruang gerak aktivitas wisata yang tidak kreatif, latah, dan cenderung meniru. Dalam pandangan saya, ketika sebuah daerah tidak memiliki potensi lokal yang menonjol, maka tidak perlu memaksakan diri menjadi sebuah destinasi wisata baru.

Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?
Penulis bersama Nurdin Razak (kanan) saat praktik belajar asesmen ekowisata dan latihan wildlife photography di Taman Nasional Baluran pada Februari 2022/Jumria

Sebelum terlalu jauh, saatnya meningkatkan literasi

Saya teringat narasi berbunyi senada pada beberapa konten wisata di media sosial. Baik yang masih agak alami atau sudah terpoles gimik-gimik pemanis. Isinya terdengar seperti memuji lanskap destinasi wisata tersebut, walau sesungguhnya memiliki makna sebaliknya. Tidak kalah indah, tidak kalah keren—dan sebagainya—dengan Swiss, Belanda, Jepang, Singapura, atau negara-negara rujukan lainnya. Pertanyaannya, kalau memang tidak kalah cantik, mengapa harus membandingkan bahkan menyamai dengan wisata luar negeri?

Dalam kacamata Myra Puspasari Gunawan, pengajar dan peneliti studi kepariwisataan Institut Teknologi Bandung, seperti dilansir YouTube Neraca Ruang (23/05/2023), wisata itu tidak hanya soal kegiatan bersenang-senang. Wisata juga berfungsi sebagai sarana untuk belajar dan mengembangkan diri di destinasi yang dituju, sehingga tidak hanya foto-foto selfie. Ia mengajak kita untuk melek bahwa berwisata itu bukan sekadar pergi, memotret, dan pulang. Ada nilai-nilai baik di segala potensi atau narasi yang unik di masing-masing daerah, yang bisa memberi kesan membekas jika mau mengobservasinya lebih dalam.

Lagi-lagi ini persoalan literasi. Bukan semata membaca, tetapi berpikir kritis dan memiliki pemahaman penuh. Memperluas cara pandang terhadap dunia pariwisata. Tren wisata kekinian, termasuk bangunan buatan meniru landmark khas luar negeri, sejatinya memperkuat analisis Nurdin, Tatak, dan Myra soal rapuhnya literasi kepariwisataan kita.

Kiriman pernyataan Yayoi Shionoiri, Direktur Eksekutif Chris Burden Estate, New York di Instagram tentang pentingnya hak cipta untuk melindungi karya seniman, serta mengumumkan keputusan tindakan langkah hukum untuk menggugat tindakan plagiasi Rabbit Town, Bandung (foto kedua)

Belum lagi jika, amit-amit, konsep tiruan tersebut malah tersangkut kasus plagiarisme, seperti nasib taman hiburan dan wisata swafoto Rabbit Town, Bandung, Jawa Barat. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menuntut mereka harus membayar ganti rugi 1 miliar rupiah, mengumumkan permintaan maaf secara terbuka, dan menghapus instalasi seni Love Light karena melanggar hak cipta instalasi Urban Light karya seniman Chris Burden, yang terpajang di Los Angeles County Museum of Art, Amerika Serikat.

Jika ke-Indonesia-an itu kurang melekat dalam kepariwisataan kita, dengan segala kekayaan ragam adat istiadat dan kebudayaan melebihi keindahan alamnya, lalu harus “kalah saing” dengan simbol-simbol artifisial ala negara lain atau yang kurang bermakna, sepertinya kalimat “Indonesia is a country blessed with countless wonders. What makes this country unique is its diverse culture and magnificent nature, which should be celebrated and preserved by everyone” pada paragraf pertama tentang informasi slogan “Wonderful Indonesia”, yang termuat di situs resmi indonesia.travel milik Kemenparekraf, perlu ditelaah kembali.

Sampai kapan kita percaya diri dengan kelatahan wisata tiruan ini?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rifqy Faiza Rahman

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Macet di Gunung, Apa Solusinya?