Interval

Macet di Gunung, Apa Solusinya?

Lagi-lagi, berita kepadatan bahkan sampai macet di gunung di sejumlah jalur pendakian viral. Terutama setelah akhir pekan atau libur panjang. Seperti sudah menjadi rutinitas, kabar tersebut jadi bahasan warganet di beberapa akun media sosial.

Sebagai contoh, Gunung Gede dan Pangrango di Jawa Barat. Gunung favorit sejuta umat dan selalu penuh sesak saat Sabtu-Minggu maupun musim liburan.

Kepadatan di jalur pendakian Gunung Gede dan Pangrango, Jawa Barat

Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, lewat Instagram resminya, menyebut sebanyak 1.226 pendaki masuk kawasan konservasi selama momen lebaran kemarin, 28 April-1 Mei 2023. Angka tersebut merupakan akumulasi kunjungan dari dua pintu utama, Cibodas (618 orang) dan Gunung Putri (608 orang). Adapun kuota resmi pendakian Gunung Gede dan Pangrango adalah 600 orang untuk tiga pintu masuk resmi, yaitu Cibodas, Gunung Putri, dan Selabintana.

Namun, fakta di lapangan seperti menunjukkan “populasi berlebih” di dalam kawasan dan waktu yang sama. Muncul kecurigaan adanya pendaki ilegal yang lolos pemantauan. Pertanyaan saya, siapa yang meloloskan?

Sebagai informasi, kesemrawutan itu juga pernah terjadi di gunung-gunung lainnya, seperti Merbabu, Semeru, Rinjani, atau Prau. Kondisi yang masih jauh dari kata ideal itu karena beberapa faktor, antara lain keterbatasan petugas, sistem yang belum terintegrasi, lemahnya penegakan hukuman bagi pelanggar, dan kurangnya pemahaman tentang batas daya dukung kawasan konservasi.

Maka acap kali terjadi penumpukan atau kemacetan pengunjung di dalam hutan. Suatu kondisi yang semestinya bisa diantisipasi, karena pengelola dan pengunjung juga harus memikirkan kelangsungan ekosistem lainnya. Flora dan fauna yang ada juga berhak bernapas dan memiliki ruang untuk bertahan hidup. Meskipun mungkin sudah berlaku di beberapa tempat, saya pikir sejumlah solusi berikut masih relevan disampaikan kembali sebagai pengingat bagi siapa pun, agar kawasan konservasi, khususnya gunung dan hutan, tidak mengalami overtourism:

Penutupan Kunjungan Secara Berkala

Pendakian gunung biasa ditutup karena faktor cuaca, yang lazim terjadi pada puncak musim hujan (Desember-Maret). Potensi badai, hujan besar, dan petir bisa membahayakan pendaki. Di sisi lain, penutupan berkala memberi kesempatan hutan dan gunung memulihkan ekosistemnya. 

Namun, ada beberapa pengelola jalur pendakian yang tetap membuka pintu jalurnya bagi pendaki saat cuaca ekstrem. Bagi saya, kebijakan tersebut sembrono. Tidak semua pendaki memiliki penguasaan wawasan pendakian yang baik. Kita bisa melihat banyak kasus ketika terjadi badai di gunung. Kurangnya persiapan dari pendaki adalah penyebab terbesar hipotermia, tersesat, hingga kumatnya penyakit bawaan; yang bisa berakibat fatal. 

Selain itu, penutupan jalur pendakian bisa juga diterapkan ketika ada tradisi atau acara kebudayaan daerah setempat. Misalnya, acara bersih desa, atau upacara Kasada dan Hari Raya Karo Suku Tengger di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. 

Pembatasan Kuota Kunjungan

Sejumlah jalur pendakian, baik yang dikelola taman nasional atau warga, telah menerapkan sistem pembatasan kuota kunjungan. Baik itu berbasis aplikasi maupun konvensional melalui SMS/Whatsapp langsung ke pengelola. Namun, masih banyak juga yang menerapkan beli tiket dan daftar langsung di tempat saat hari kedatangan. 

Kebijakan pembatasan kuota sejatinya sangat bagus untuk menyaring potensi ledakan pendaki, khususnya yang tidak memiliki persiapan matang. Namun, adakalanya tetap menyisakan celah: para calo kuota yang berkeliaran dengan mematok harga berkali-kali lipat. Padahal, jika pendaki sadar karena kehabisan kuota dan tidak memaksakan diri untuk berangkat, calo-calo itu pun tidak akan bisa bergerak. Praktik culas seperti itu bisa mati dengan sendirinya, jika pengelola dan pendaki sama-sama taat aturan.

Mengenai jumlah kuota per hari, menurut saya yang kebanyakan diterapkan hingga saat ini masih terlalu besar. Ada yang mencapai 500-an per hari. Jika ingin pendakian nyaman untuk siapa pun, semestinya kuota dikurangi setidaknya maksimal separuhnya. Atau, buat kajian terlebih dahulu tentang batas maksimal daya dukung kawasan secara ilmiah. 

Contoh pengecekan barang bawaan pendaki di salah satu basecamp pendakian
Contoh pengecekan barang bawaan pendaki di salah satu basecamp pendakian/Rifqy Faiza Rahman

Pengecekan Barang Bawaan Saat Naik dan Turun

Di beberapa basecamp jalur pendakian sudah melengkapi diri dengan formulir daftar logistik bawaan pendaki. Namun, kadang-kadang formulir tersebut hanya bersifat administratif belaka. Pengelola cuma mengecek saat naik, tetapi tidak cek ulang ketika pendaki sudah turun. Lebih mengkhawatirkan lagi adalah hanya berdasarkan asas kepercayaan satu sama lain.

Saya pernah melihat sendiri sebuah operator trip pendakian yang membawa rombongan besar ke salah satu gunung populer di Jawa Tengah. Saya baru tiba di tempat camp, mereka sudah bersiap turun. Mirisnya, seseorang di antara panitia itu meninggalkan satu kantung sampah (trashbag) hitam berukuran besar. Tatkala saya ingin menegur keras, mereka sudah bergegas turun agak tergesa. 

Esoknya ketika turun, saya dan teman setim angkut sendiri sampah tersebut. Isinya sampah anorganik: bungkus mi instan, puntung rokok, kemasan makanan-minuman, dan banyak lagi. Kami laporkan itu ke basecamp dan meminta mereka untuk cek, tetapi tidak ada tindakan berarti. 

Penerapan Sanksi Tegas Bagi Pelanggar Aturan

Sayangnya, segala pelanggaran nyata yang dilakukan oleh sebagian “oknum” petugas maupun pendaki, terkadang hanya diganjar sanksi administratif yang relatif ringan. Entah denda ataupun masuk daftar hitam, yang sama sekali tidak memberi efek jera. Bahkan bila dilarang mendaki sampai dua tahun sekalipun. Mereka masih bisa naik ke gunung lain, yang belum sempat dilanggar.

Saya berandai-andai, nomor E-KTP atau paspor para pelanggar aturan itu benar-benar di-blacklist dari seluruh jalur pendakian di Indonesia. Sistem pengelola jalur terintegrasi dengan basis data kependudukan sipil. Artinya, selamanya mereka tidak akan bisa masuk kawasan konservasi mana pun.

Sampah di gunung, akibat tidak adanya kesadaran pendaki dan pengawasan yang kurang ketat dari pengelola
Sampah di gunung, akibat tidak adanya kesadaran pendaki dan pengawasan yang kurang ketat dari pengelola/Rifqy Faiza Rahman

Tahan Diri, Puncak Gunung Tidak ke mana-mana

Tidak mau kena macet di gunung? Waktu liburan terbatas hanya di akhir pekan atau cuti bersama? 

Sabar. Tahan diri. Gunung tidak akan pindah ke mana-mana, kecuali karena kuasa Tuhan. Tak akan rugi jika mau menyisihkan waktu khusus di luar kebiasaan orang lain, demi perencanaan dan persiapan yang lebih baik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
The Summit of the Gods: Kisah Mereka yang Tak Bisa Hidup Tanpa Mendaki Gunung