Entah kenapa tiba-tiba saya teringat perjalanan sekitar delapan tahun yang lalu. Kalau tidak salah akhir Oktober sampai awal November. Meskipun tak lama, hanya sekitar tiga-empat hari, bagi saya perjalanan itu lumayan berkesan.
Ada dua hal yang bikin berkesan: pertama, petualangan itu saya lakukan sehari setelah mengumpulkan naskah skripsi; kedua, untuk mengabadikan perjalanan itu, saya cuma bawa SLR analog, sebab saat itu belum punya kamera saku ataupun ponsel pintar.
Ceritanya, lega setelah skripsi rampung, secara impulsif saya minta diantarkan kawan ke Terminal Jombor, kemudian langsung melompat ke dalam sebuah bis tujuan Semarang yang semestinya mengantarkan saya ke Ambarawa. Nyatanya, bis reot itu cuma membawa saya sampai Magelang. Di tengah jalan saya ditransfer ke bis lain.
Sudah terlanjur senang hanya membayar 12 ribu, saya mesti rela merogoh kantong lebih dalam supaya diperbolehkan menumpang sampai tujuan. Kesal sekali pasti. Apa mau dikata. Tapi, setelah seorang bapak tua yang buta mencegat bis itu di daerah Secang, saya jadi introspeksi diri. Kalau ia saja bisa menikmati perjalanan itu walaupun yang dilihatnya cuma kelam, saya pasti juga bisa menemukan kesenangan dalam perjalanan ini.
Alat komunikasi yang saya punya cuma sebuah ponsel Nexian, hadiah doorprize, yang tidak terhubung ke internet meskipun sudah layar sentuh—lebih tepat disebut sebagai layar tekan barangkali. Jadi, saya agak-agak lupa dari mana dapat info rute menuju Candi Gedong Songo, tujuan pertama saya. Entah dari browsing di warnet atau tanya-tanya orang, saya lupa.
Dari pertigaan Polin (Toko Roti Pauline yang legendaris) di Ambarawa, semestinya saya mencegat bison. Tapi saya malah naik angkot warna kuning yang cuma membawa saya sampai ke Pasar Bandungan.
Bermalam di Candi Gedong Songo
Di sebuah pertigaan saya meloncat turun kemudian mencegat bison yang ternyata sudah penuh. Beberapa orang bergelantungan di pintu, memasrahkan nyawa pada teralis di jendela bis. Melihat ada mbah-mbah yang bergelantungan, gelora muda membuat saya tak ragu ikut bergelayut.
Ternyata susah juga. Apalagi medannya tidak datar seperti di kota. Mendadak saya menyesal kenapa waktu kecil tak suka minum susu. Tapi angin segar dan pemandangan indah membuat saya kalem. Beberapa saat setelah bis mini itu melewati deretan kios tahu serasi, saya minta sopirnya untuk berhenti di pertigaan Candi Gedong Songo.
Sebelumnya saya baru sekali ke Candi Gedong Songo, semasa orientasi mahasiswa baru dulu. Jadi saya sudah lupa-lupa ingat berapa jarak dari pertigaan itu ke candi. Apalagi waktu itu kami dibawa dengan truk tentara. Tapi saya yakin perjalanan dari pertigaan itu ke loket tiket tidak begitu jauh. Jadi saya abaikan saja tawaran tukang ojek dan memilih jalan kaki. Semula saya masih senyum-senyum saja sebab jalan beraspal itu diapit kebun bunga warna-warni.
Tapi lama kelamaan senyum itu hilang. Ternyata jauh juga. Terjal lagi. Saking terjalnya, di pengkolan terakhir sebelum loket berkali-kali hidung saya mencium bau kampas kopling yang terlalu diforsir. Setiba di loket, sudah hampir magrib. Sudah lumayan dingin tapi saya tetap saja mandi keringat.
“Mau kemping, Mas?” Penjaga loket bertanya. “Enggak, Mas,” saya menggeleng. Saya memang tak berniat kemping, melainkan tidur di musala.
Untungnya semalaman tak ada orang lain masuk ke musala. Pagi-pagi sekali, setelah menggulung kantong tidur, saya keluar dari musala. Saya jalan ke bumi perkemahan yang letaknya di atas sana. Di bumi perkemahan itu dulu kami, mahasiswa baru geofisika, kemping setelah seharian penuh belajar ilmu medan, peta, dan kompas (IMPK). Pemandangannya bagus sekali dari sana; semua gunung tinggi di Jawa Tengah kelihatan!
Pantura dan pencari kodok lintas provinsi
Jalan saya lumayan cepat waktu itu. Soalnya sebelum matahari terbit saya sudah tiba di bumi perkemahan. Pemandangannya masih sama ternyata. Di kejauhan, gunung-gunung tampak menjulang. Di dekat sini, pohon cemara masih saja berjejeran menghiasi lereng Gunung Ungaran. Kabut putih yang semula mengisi sela-sela pepohonan perlahan-lahan mulai terangkat. Cemara yang semula pucat perlahan menghijau.
Ketika mentari mulai garang, saya turun. Rasanya jauh lebih cepat dan tak bikin berkeringat—jelas. Di pertigaan Candi Gedong Songo, saya mencegat bis seukuran metromini tujuan Semarang. Di dalam bis saya berusaha menahan kantuk, tapi tak bisa. Kalau tidak salah, saya mulai ketiduran di dekat Bandungan. Bangun-bangun, bis itu sudah tiba di Semarang. Saya turun di Terminal Terboyo kemudian mencari bis ke arah timur.
Sebelumnya saya sudah pernah beberapa kali lewat pantura Jawa Tengah-Jawa Timur. Namun cuma sampai pertigaan menuju Jepara. Lebih ke timur, saya belum pernah. Hari itu saya beruntung bisa tiba di Kudus bertepatan dengan pergantian waktu-kerja buruh pabrik rokok Djarum. Agak sore ketika akhirnya bis itu tiba di Lasem, perhentian saya berikutnya.
Di Lasem, saya cuma mampir sebentar untuk makan siang—sebenarnya saya belum makan dari pagi. Setelah makan dan membersihkan diri sebentar di kota yang terkenal dengan batiknya itu, saya mencegat bis lagi. Kali ini langsung ke Surabaya, tak berhenti-berhenti lagi.
Waktu hari sudah mulai gelap, sekelompok orang berpakaian aneh naik ke dalam bis. Mereka memakai head lamp dan membawa sesuatu yang tampak seperti jaring penangkap belalang. Penasaran, saya bertanya pada salah satu dari mereka, “Mau cari apa, Pak?” Jawabannya tak saya duga: “Kodok, Mas.” Mereka naik di Jawa Tengah dan turun di Jawa Timur. Itulah kali pertama saya berjumpa dengan pencari kodok lintas provinsi.
Menyaru jadi orang gila di Surabaya
Sudah malam ketika bis itu berhenti di Terminal Purabaya, Bungurasih, Surabaya. Barangkali sekitar jam 10 malam. Untuk ke Blitar, tujuan selanjutnya, saya mau naik kereta api. Alasannya sederhana: murah. Waktu ke Malang sekitar tahun 2009 dulu, saya hanya membayar sekitar Rp 4.000 naik KA Penataran. Nah, yang jadi persoalan, saya tak punya anggaran untuk naik ojek atau taksi. Semalam ini, rasa-rasanya angkutan umum lain seperti bis sudah tak ada lagi.
Saya mempercayakan diri pada peta Surabaya di Lonely Planet. Stasiun Gubeng tak terlalu jauh, cuma tinggal mengikuti rel kereta api saya akan tiba di stasiun terbesar di Surabaya itu. Petanya bagus dan jelas karena dilengkapi dengan legenda. Hanya saja, skalanya kurang detail—dan itu fatal.
Untuk menuju Gubeng, saya memang tinggal mengikuti rel kereta—sejauh 13 kilometer. Sebenarnya jarak segitu tak masalah buat saya, kalau saja celana saya tidak robek dan diplester di selangkangan, sandal jepit juga diplester, dan badan sudah capek karena bepergian sejak pagi buta.
Betapa kesal rasanya berjalan menyusuri jalanan yang di pinggirnya orang bercengkerama riuh dengan teman-temannya, sambil memakan roti atau jagung bakar, dan menyeruput es teh.
Tapi, berjalan di malam hari menyusuri rel Surabaya memberikan perspektif baru pada saya. Tempat-tempat yang di siang hari tampak biasa, di malam hari menjadi agak berbeda. Stasiun Wonokromo, misalnya. Malam-malam banyak orang berkumpul di sana, entah untuk berjudi atau memuaskan nafsu badani.
Namun, semakin lama kok semakin banyak orang gila yang saya papas di jalan. Saya mulai khawatir dengan keselamatan sendiri. Setelah melihat kondisi saya sendiri, akhirnya saya jadi tak begitu khawatir. Secara fisik, saya sudah tampak seperti orang gila—saya sudah menyaru, secara alamiah—jadi orang gila. Sesama orang gila tidak saling menyerang.
Naik Kereta Doho ke Makam Bung Karno
Sudah sekitar jam 2 dini hari ketika akhirnya saya tiba di Stasiun Gubeng. Mau tidur sebenarnya tanggung. Tapi saya capek, dan Stasiun Gubeng banyak nyamuk. Untuk mengatasi kedua hal itu, saya mengeluarkan kantong tidur dan membungkus diri di emperan Stasiun Gubeng.
Hasilnya: saya kepanasan. Biarlah digigit nyamuk daripada mandi keringat. Kenyataannya, berkali-kali saya tak sengaja menepuk pipi dan anggota badan sendiri sebab nyamuknya sudah keburu pergi. Maka, malam itu saya cuma bisa tidur-tidur ayam.
Sekitar pukul 5 pagi, orang-orang sudah berkumpul di depan stasiun. Ketika akhirnya pintu tua itu dibuka, orang-orang berhamburan ke dalam membuat beberapa baris antrean. Persaingan untuk mendapatkan tiket lumayan sengit; beberapa orang kehilangan sandal sewaktu berusaha masuk.
Berada di antrean belakang, saya kehabisan tiket KA Penataran yang ke Blitar lewat Malang. Alih-alih, saya dapat tiket KA Doho yang ke Blitar lewat Kediri. Itu pun cuma tiket tanpa nomor, yang sama sekali tak menjamin apakah saya akan dapat tempat duduk. Untuk mengelilingi Jawa Timur dengan kereta api, ada dua pilihan: naik Penataran disambung Doho, atau sebaliknya, Doho disambung Penataran.
Untungnya saya naik di stasiun pertama sehingga gerbong khusus untuk para penumpang tiket tanpa nomor tidak ramai. Jadi saya bisa duduk. Begitu pantat mendarat di bangku, kesadaran saya langsung direnggut oleh alam mimpi. Beberapa kali saya sempat terbangun dan berbasa-basi dengan sepasang ibu-bapak paruh baya yang duduk di depan saya (Kalau tidak salah, mereka turun di Kediri). Tapi, lebih banyak saya tertidur. Sebelum tengah hari, kereta itu berhenti di Stasiun Blitar. Dari Stasiun Blitar, saya berjalan kaki sekitar 2 kilometer ke Makam Bung Karno.
Merinding mendengar nyanyian Aremania
Sekitar jam 4 sore saya kembali ke Stasiun Blitar untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Surabaya via Malang. Blitar-Surabaya sekitar 5 jam naik kereta. Tapi PT KAI pra-Jonan dulu tidak seperti sekarang, tidak bisa ditebak. Waktu tempuh di tiket kadang lebih sering cuma jadi dekorasi mubazir sekadar menghabiskan anggaran untuk tinta.
Beberapa saat sebelum singgah di Stasiun Kepanjen, Malang, saya mendengar sayup-sayup suara orang sedang bernyanyi. Bukan satu-dua orang saja, tapi, dari suaranya, seperti berasal dari satu kelurahan. Tak lama kemudian tanya saya itu berjawab. Ketika melihat ke luar jendela saat kereta hendak berhenti di Stasiun Kepanjen, saya melihat orang-orang berpakaian biru bernyanyi bersama—sepertinya chant Aremania—seolah-olah nyanyian mereka itulah yang memberhentikan KA Penataran itu.
Ratusan orang pun masuk ke dalam deretan gerbong kereta, termasuk ke gerbong kereta yang saya tumpangi. Seorang kakek berbaju biru duduk di bangku kosong di depan saya. Setelah berbasa-basi sejenak, barulah saya tahu bahwa Arema Malang baru saja bertanding. Kakek itu datang jauh-jauh dari Kertosono hanya untuk menonton Arema. Usia kakek itu sekitar 70 tahun. “Sudah sejak sekolah dulu,” ujarnya, menjelaskan sejak kapan ia mulai setia menonton klub kebanggaan arek Malang itu.
Sama seperti saya, perjalanannya masih panjang. Sambil menahan haus—saya lupa beli minum di Blitar tadi—saya berusaha untuk memejamkan mata supaya perjalanan terasa lebih singkat. Tapi tak bisa. Saya terjaga sampai tiba di Stasiun Waru. Terletak di seberang Terminal Purabaya, saya cuma harus menyeberang lewat jembatan penyeberangan. Saya membeli air minum dingin, makan nasi goreng di bawah jembatan layang Waru, terus melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja naik Sumber Kencono. Setiba di Jogja, saya disambut tetes air pertama di musim hujan 2012.