“Berapa orang, mas?” Tanya seorang petugas pria bertopi yang berjaga di balik meja resepsionis. Adegan ini terjadi dalam sebuah ruangan, semacam tempat penyambutan tamu, di kompleks Makam Bung Karno.
“Sendiri, pak,” jawab saya. Pria itu menyuruh saya untuk langsung masuk saja, tanpa harus mengisi buku tamu. Jika datang beramai-ramai barulah pengunjung diperkenankan mengisi buku tamu, itupun hanya perwakilan saja.
Agak-agaknya pengisian buku tamu hanya penyamaran atas penarikan sumbangan. Tadi, ketika pengantre depan saya menanyakan mengenai bea masuk, sang petugas hanya menjawab, “seikhlasnya.” Jawaban yang elegan, namun membingungkan.
Betapa besar Bung Karno. Dalam keadaan bernyawa maupun tidak ia tetap memberikan manfaat pada masyarakat banyak. Dahulu ketika hidup, ia berjibaku melawan penjajah. Kerap ia diasingkan dan dibuang oleh Belanda dan Jepang. Sementara, oleh rekan sebangsa yang tidak sepaham, ia dihujat dan dituduh sebagai kolaborator Jepang. Semua ia terima demi mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Dan kemudian setelah kemerdekaan Indonesia ia proklamirkan dan rezim berganti, ia diasingkan dari rakyatnya sendiri.
Kini setelah ia wafat, para tukang becak, pedagang makanan, pedagang souvenir, sampai pengelola makamnya di Blitar, menggantungkan hidup pada nama besar beliau.
Saya sengaja membawa sarung dari Jogja. Walaupun disebut sebagai tempat wisata, tempat ini tetaplah makam. Dan ketika berada di makam seseorang wajib menjaga sopan santun. Dengan sarung terlilit rapi saya masuk melalui gerbang raksasa yang memisahkan bagian dalam makam dengan bagian luar. Dari gerbang, saya dapat melihat cungkup makam berbentuk Joglo di mana makam Bung Karno berada. Cungkup makam itu diberi nama Astono Mulyo. Astono, yang berasal dari bahasa Jawa, berarti tempat terhormat bagi peristirahatan orang yang sudah wafat. Sementara kata Mulyo diambil dari nama lokasi makam ini dahulunya, yaitu Pemakaman Umum Karang Mulyo.
Di dalam sudah banyak orang yang sebagian besar berbusana muslim. Mereka duduk membentuk setengah lingkaran konsentris, berpusat pada Makam Bung Karno, sedang memanjatkan doa kepada Sang Pencipta demi keselamatan Sang Proklamator di alam baka.
Selain makam Bung Karno sebagai obyek utama, di luar pagar terdapat gedung yang difungsikan sebagai museum dan perpustakaan. Sebuah patung Bung sedang duduk diletakkan di sana. Dan di antara museum dan makam, terhampar sebuah ruang terbuka luas. Dindingnya dihiasi relief bernuansa perjuangan, tiang-tiang sebagai hiasan didirikan berjejer utara-selatan.
Makam Bung Karno terletak di tengah, diapit oleh makam Raden Soekeni Sosrodihardjo dan Ida Aju Njoman Rai, ayah dan bundanya. Ukuran makam Bung Karno terlihat lebih besar dibanding makam kedua orangtuanya. Di bagian kepala, sebuah nisan pualam hitam raksasa buatan Tulungagung berdiri gagah, dengan tulisan yang menyatakan bahwa jasad Soekarno, proklamator Republik Indonesia, terbaring di sana.
Yang membuat saya terkejut, di bagian kepala dan kaki makam Bung Karno pengelola menaruh sebuah wadah serupa kotak infak. Bedanya ini terbuat dari pualam putih berhias ukiran sederhana dan terbuka. Wadah itu penuh oleh uang kertas pemberian pengunjung. Setiap beberapa menit pengelola meraup dan memasukkan uang-uang tersebut ke dalam kantong kresek hitam. Entah selanjutnya akan dibawa ke mana.
Melihat itu amarah saya berkobar. Ini namanya penghinaan. Bung Karno seperti disamakan dengan jalan rusak; sementara diperbaiki, beberapa orang berdiri di tengah jalan sambil membawa kardus bertuliskan “sumbangan.” Seharusnya Pemerintah Kota Blitar tidak mengizinkan adanya permintaan sumbangan dalam bentuk apapun kepada pengunjung makam.
Kita harus sadar bahwa Bung Karno adalah seorang proklamator, seorang bapak bangsa yang ketika hidup dikenal memiliki harga diri tinggi. Ia dihormati oleh sementara pemimpin dunia. Adalah sebuah keniscayaan bahwa ia harus dihargai dan diperlakukan dengan patut, meskipun sudah meninggal. Dan rasa-rasanya mustahil ia akan mengizinkan makamnya dijadikan wahana untuk menangguk keuntungan. Terlebih dengan cara yang mengoyak harga diri serupa menaruh wadah infak.
Menghargai pahlawan bagi kita baru sebatas memajang gambarnya di uang kertas, memajang fotonya di dinding kelas, menamai jalan dengan nama mereka, atau memberinya gelar Pahlawan Nasional. Apalah artinya itu semua jika kita tidak mengenal orang-orang yang kita sebut pahlawan. Bagaimana mereka hidup, bagaimana mereka meninggal, dan setelah meninggal di mana mereka dikuburkan; apakah ada yang menginjak-injak harga diri para pahlawan itu dengan meletakkan wadah infak di dekat tempat mereka berbaring untuk selama-lamanya?
Langkah saya gontai ketika berjalan turun ke arah stasiun. Rasa muak yang dihasilkan oleh perasaan terhina dan rasa pusing menyusuri labirin deretan toko penjual oleh-oleh membuat saya tidak begitu bersemangat untuk melangkahkan kaki. Saya jadi insyaf bahwa bangsa kita belum sepenuhnya menghayati arti menghargai pahlawan.
Sebelumnya dimuat di e-magz Backpackidea dan blog pribadi Fuji Adriza.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.
1 Comment