Era penjajahan fisik oleh kekuatan Eropa yang menduduki Indonesia sudah lama berlalu. Namun masa itu masih meninggalkan jejaknya sampai sekarang, salah satunya berupa kawasan kota lama yang tersebar di banyak kota di penjuru Indonesia. Nasib kota-kota tua itu pun berbeda-beda. Ada yang masih dipelihara dan terus dibenahi, ada pula yang dibiarkan terlantar begitu saja.
1. Kota Tua Jakarta
Sebagai pusat kekuasaan VOC dan Belanda di Indonesia, tentu saja pemerintah kolonial membangun banyak bangunan di sini, entah berupa kantor atau perumahan pejabat tinggi atau ambtenaar.
Bangunan-bangunan peninggalan Belanda itu sampai sekarang masih berdiri kokoh di Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Namun beberapa bangunannya sudah dialih fungsi, contohnya Kantor Balaikota yang sekarang berganti menjadi Museum Fatahillah. Sebagai salah satu atraksi wisata unggulan Ibukota, plaza kecil di depan Museum Fatahillah itu hampir tidak pernah sepi pengunjung.
2. Kota Lama Semarang
Kawasan Kota Lama Semarang dahulunya adalah salah satu pusat perdagangan di Semarang. Meliputi kawasan seluas 31 hektare, ada sekitar 50 bangunan kuno yang masih berdiri kokoh sampai sekarang di Kota Lama Semarang.
Barangkali di antara semua bangunan kuno yang tersisa itu, Gereja Blenduk adalah yang paling terkenal. Bekas Nederlandsche Indische Kerk yang dibangun tahun 1753 ini adalah salah satu “tetenger” atau landmark Kota Semarang. Gereja itu disebut Blenduk karena memiliki sebuah kubah yang dalam bahasa Jawa disebut blenduk.
3. Kota Tua Padang
Sebelum lesu seperti sekarang, Padang dahulunya adalah pusat perdagangan. Sentra jual-beli itu pada masanya terpusat di daerah Muaro, memanjang di sisi Sungai Batang Arau (sekitar kawasan Jembatan Siti Nurbaya sekarang).
Sampai sekarang pun bangunan-bangunan tua masih berdiri kokoh di sekitar Batang Arau, dari mulai gedung-gedung bekas bank sampai bangunan yang dahulunya adalah kantor dagang atau gudang.
Kawasan Padang Lama ini bersebelahan dengan pecinan yang juga penuh dengan bangunan-bangunan lama. Namun sayang beberapa bagian pecinan ikut roboh ketika Padang dilanda gempa besar pada tahun 2009 lalu.
4. Jalan Braga Bandung
Kamu yang sudah nonton film “Madre” yang diadaptasi dari cerpen Dewi Lestari pasti tidak akan asing lagi dengan Jalan Braga yang berada di jantung Kota Bandung ini: penuh bangunan tua, jalan-jalan beraspal yang sempit, dan trotoar lebar.
Sekitar awal 1900, jalan ini masih sepi sekali. Saking sepinya, jalan ini pernah dinamakan Jalan Culik dan Jalan Pedati (Pedatiweg). Namun keadaan mulai berubah semenjak orang-orang Belanda mulai membangun toko, bar, dan tempat-tempat hiburan di kawasan ini. Mulai 1920-1930, toko dan butik yang rancangan busananya berkiblat ke Paris menjamur di sini.
5. Jalan Pangeran Mangkubumi, Malioboro, dan Kilometer Nol
Kalau kamu sempat berkunjung ke Kota Yogyakarta, sempatkanlah untuk jalan kaki dari kilometer nol sampai Tugu Pal Putih. Jalan sepanjang beberapa kilometer itu penuh dengan bagunan-bangunan tua yang sebagian besar di antaranya masih terus digunakan sampai sekarang.
Selain itu, ruas jalan ini adalah salah satu ruas jalan di Yogyakarta yang paling ramah pejalan kaki (meskipun keadaannya akan berubah di sore hari ketika pedagang makanan mulai mendirikan tenda-tenda warung lesehan).
6. Kota Tua Ampenan
Di masa kini, Ampenan cenderung luput dari perhatian wisatawan. Ampenan barangkali hanya dianggap sebagai penghubung antara Mataram dan Senggigi atau Bangsal (dermaga menuju Tiga Gili).
Kamu pasti tidak menyangka bahwa sebelum pelabuhan Pulau Lombok dipindahkan ke Lembar, pintu masuk kapal ke pulau ini adalah Ampenan. Pelabuhan ampenan mulai dipersiapkan oleh Belanda sekitar tahun 1800 dan mencapai masa jaya antara pertengahan 1920-an sampai 1970. Sekarang yang tersisa di Ampenan hanya cerita dan deretan bangunan tua yang tak lekang oleh zaman.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.
1 Comment