Senin, 2 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan secara resmi dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia. Tentu berita itu membuat geger hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Keesokan harinya COVID-19 menjadi topik perbincangan paling hot di kampus. Bahkan, beberapa orang mulai mengalami ketakutan berlebihan. Ketika seseorang di kampus batuk, misalnya, ia akan disangka terkena virus corona. Situasi getir terus berlanjut sampai akhirnya tanggal 16 Maret 2020 ketua jurusan tempat saya mengabdi mengumpulkan semua dosen di ruangan untuk mengadakan rapat darurat jurusan.
Rapat itu membahas respons kampus terhadap situasi darurat akibat pandemi corona. Menurut ketua jurusan, direktur kampus kami sudah menandatangani kebijakan untuk memindahkan kegiatan belajar mengajar dari kampus ke tempat tinggal masing-masing. Tujuannya tentu untuk memutus rantai penyebaran virus corona.
Mendengar keputusan itu, saya pribadi merasa bersukacita. Senang sekali akhirnya bisa libur dari kegiatan kampus yang padat. Singkat kata, seluruh dosen menyepakati kegiatan belajar, bekerja, dan berdoa dari rumah. Rapat dilanjutkan dengan pembahasan mengenai mekanisme perkuliahan, absen kehadiran baik dosen maupun mahasiswa, dan arahan hidup sehat dari ketua jurusan.
Seminggu pertama #dirumahaja, saya masih antusias menjalani hidup dari tempat tinggal, dari kos yang saya tempati. Suasana hati jadi riang karena benar-benar bebas. Tidak perlu menghadapi mahasiswa lagi.
Saya bahkan sangat mudah menyesuaikan diri dengan metode-metode pembelajaran baru menggunakan teknologi. Saya berinisiatif membuat grup WhatsApp bersama mahasiswa dan juga menyelenggarakan beberapa kelas memanfaatkan Google Classroom dan CloudX sebagai wadah penyampaian materi.
Minggu pertama mood masih terjaga dan saya aktif melakukan pembelajaran dengan metode e-learning dari tempat tinggal. Namun, kehidupan tidak selamanya berjalan mulus. Saya mulai mengalami penurunan semangat mengajar via media pembelajaran digital. Lalu, tepat tanggal 25 Maret 2020 pukul 13.00 WIB, saya mendapat kabar bahwa ayah saya meninggal dunia.
Seketika, semua semangat yang memang sudah mulai menurun jatuh semakin dalam karena berita tersebut. Saya langsung menghentikan kegiatan belajar yang saat itu masih berlangsung lewat grup WhatsApp. Saya beri tugas kepada mahasiswa lalu mengakhiri perkuliahan hari itu dengan perasaan kacau. Saya merasa gusar. Urusan hidup dan mati itu memang bukan kuasa kita. Tapi merasakan orang terkasih meninggal pada masa pandemi sedang hebat-hebatnya itu membuat masalah jadi terasa semakin pelik.
Belum banyak yang tahu hari itu ayah saya sudah tiada. Paman saya menelepon dari Solo, memberi tahu saya terlebih dahulu karena saya anak pertama. Sebenarnya saya sudah memiliki firasat, karena ayah saya sudah sakit sejak November 2019. Beliau terkena asam urat menahun yang akhirnya harus dioperasi. Proses operasi itu membutuhkan proses penyembuhan yang lama. Namun ayah saya tidak bisa lagi menahannya. Penyakitnya masih tetap ada dan menggerogoti badannya hingga meninggal tanggal 25 Maret 2020 itu.
Satu hal yang membuat saya semakin kacau adalah saya harus melakukan perjalanan di masa pandemi sedang menjadi isu nasional seperti ini. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasa melakukan perjalanan adalah hal yang paling menakutkan. Saya tidak mau tertular, tidak mau sakit, tapi harus pergi untuk mengantar almarhum ayah saya ke peristirahatan terakhirnya. Lagipula, karena sekarang saya adalah kepala keluarga bagi adik-adik, saya harus datang.
Saya memaksa diri untuk berangkat. Segera saja saya pesan tiket perjalanan menggunakan pesawat terbang untuk keesokan harinya, 26 Maret 2020. Setelah mengutarakan izin kepada atasan di kampus, saya bergegas membawa perlengkapan untuk menginap beberapa hari di Semarang. Perlengkapan yang saya bawa pun sekarang berbeda. Saya harus mengurangi bawaan pakaian agar perlengkapan kebersihan—masker, sarung tangan, shower cap, tisu basah, hand sanitizer, vitamin, dll.—bisa dimuat dalam tas. Tujuannya tentu untuk mematuhi protokol kesehatan agar tidak tertular COVID-19 dalam perjalanan duka itu.
Pagi hari 26 Maret 2020 saya menuju Bandara El Tari, Kupang. Saya berpakaian sangat lengkap. Jaket sampai saya lapis dua untuk perlindungan ganda. Sarung tangan, masker, dan topi, semua saya gunakan untuk menghindarkan diri dari corona. Beberapa orang di bandara juga menggunakan pakaian yang sama lengkapnya dengan saya. Tampak bahwa permasalahan pandemi ini serius, sehingga masyarakat mulai mengubah pola berperilaku ketika melakukan perjalanan.
Melakukan perjalanan pada masa pandemi seperti sekarang ini tidak menyenangkan sama sekali. Seperti ada yang membatasi, namun terbentuk atas kesadaran sendiri. Pada setiap check-in counter tersedia cairan pembersih tangan dan calon penumpang disarankan menggunakannya. Tempat duduk di ruang tunggu pun sekarang ditempeli imbauan untuk menjaga jarak, sehingga kursi untuk tiga orang hanya bisa ditempati oleh dua orang dengan kursi tengah sebagai pemisah. Selain itu, poster berisi imbauan-imbauan kesehatan untuk mencuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga jarak terlihat memenuhi hampir setiap sudut bandara.
Pemandangan berbeda juga terlihat ketika saya masuk pesawat. Seluruh pramugari yang bertugas kini menggunakan masker dan sarung tangan. Kursi penumpang pun saat itu diberi jarak, satu deret hanya diisi maksimal dua penumpang saja. Saya duduk di kursi yang tertera pada tiket, dan pesawat kemudian berangkat, membawa saya ke tempat transit di Surabaya.
Sesampai di Surabaya, seluruh penumpang diminta untuk turun dan membawa semua barang bawaan untuk melanjutkan perjalanan dengan pesawat lain tujuan Semarang. Mendengar arahan tersebut, saya membawa bagasi kabin dan langsung turun menuju ruang tunggu pesawat. Saya kembali harus disterilkan dengan berbagai cara sebelum sampai ke ruang tunggu. Saya bahkan memasuki bilik semprot disinfektan untuk memastikan semua virus yang menempel di tubuh mati. Setiba di ruang tunggu, tak menunggu lama sebelum saya berangkat kembali melanjutkan perjalanan ke Semarang.
Sampai Semarang, saya sudah dinanti oleh saudara saya dan menuju tempat pemakaman mendiang ayah di Juwana, masih dua jam lagi dari Semarang.
Tidak banyak yang bisa saya ceritakan ketika mengalami kedukaan di masa pandemi corona seperti sekarang ini. Sedih itu adalah hal yang pasti dialami, apalagi yang berpulang adalah anggota keluarga yang amat dekat dan disayangi. Pandemi corona membuat kesedihan itu bertambah, karena dalam proses pemandian saja almarhum banyak mengalami penolakan. Saat seperti ini semua orang berjaga-jaga agar tidak tertular corona. Namun nasib baik masih di pihak kami. Pada akhirnya ada orang yang mau memandikan almarhum karena memang sebab meninggalnya bukan virus corona.
Proses pemakaman tidak dilakukan seperti biasanya, lagi-lagi mengacu pada protokol kesehatan untuk mengurangi penyebaran virus—social distancing maupun physical distancing. Pelayat yang datang dibatasi hanya yang berasal dari pihak keluarga saja, itu pun maksimal hanya boleh lima belas orang. Sedikit dan diberi jarak, walaupun keluarga sendiri. Pemakaman akan dilakukan dengan prosesi agama Kristen, sehingga pihak keluarga sudah mengundang pendeta untuk memimpin proses pemakaman. Singkat cerita, terlepas dari prosesi yang tidak biasa, pemakaman berjalan dengan khusyuk dan lancar.
Sepulang dari pemakaman, pendeta memberi informasi bahwa pada masa corona seperti ini prosesi pemakaman hanya pemakaman saja, tanpan ibadah penghiburan pascapemakaman. Selain itu, tradisi seperti berbagi berkat juga tidak bisa dilakukan. Akhirnya, pihak keluarga sekadar membagikan kotak-kotak makanan kepada tetangga terdekat dibantu keluarga yang datang.
Segalanya menjadi dibatasi. Kami dari pihak keluarga hanya berusaha menjalani protokol kesehatan yang ada agar kondisi tidak semakin parah. Lagipula, esensi dari semua ini adalah doa agar almarhum ayah saya bisa dimakamkan dengan layak dan beristirahat dengan tenang. Saya yakin dan percaya bahwa di luar sana banyak sekali keluarga yang mengalami kejadian yang sama dengan saya, bahkan lebih parah karena tidak bisa melihat orang yang disayangi terakhir kalinya demi memenuhi anjuran protokol kesehatan.
Namun di sini, kita, sebagai manusia, hanya bisa berusaha dengan melakukan yang terbaik, yaitu berdoa—dan juga mematuhi semua peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Lagi-lagi dengan satu tujuan: untuk memutus rantai penyebaran COVID-19.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jawa yang di tinggal di Timor, NTT. Melayani mahasiswa jurusan pariwisata di Politeknik Negeri Kupang