Ini adalah kedatangan saya ke Bali yang paling mulus. Dari pesawat, Nyonya dan saya keluar menuju—tentunya—terminal kedatangan. Kami tak perlu menunggu di konveyor barang sebab barang bawaan kami hanya dua ransel kecil di punggung masing-masing.
Untuk koleksi, saya sempatkan mengambil beberapa pamflet dan peta Pulau Dewata. Entah kenapa, dari dulu saya punya ketertarikan tersendiri pada pamflet dan peta. Waktu kecil dulu, saya gembira sekali ketika tante pulang membawa peta Kota Bangkok dan Singapura. Peta-peta itu saya simpan baik-baik dalam lemari.
Keluar dari Ngurah Rai, kami menuju tempat parkir motor. Beberapa hari yang lalu Nyonya sudah memesan sebuah Vario 125 untuk menemani kami berkeliaran di Bali. Menunggu sebentar di sebuah bale bengong, motor datang. Kami pun meluncur ke Tanah Lot.
Memori-memori di Tanah Lot
Kuda besi itu membawa kami melintasi jalanan sempit Kuta, Legian, terus ke pertigaan Sunset Road. Mendekati Tanah Lot, sawah sengkedan yang menghijau mendominasi pemandangan. Nyonya tidak tahu mau saya bawa ke mana. Akhirnya kami tiba di gerbang Tanah Lot. Setelah membayar karcis harga orang Indonesia, kami ke lokasi parkir.
Kali pertama saya ke Tanah Lot adalah saat perjalanan kedua ke Bali tahun 2009. Kedua kalinya, saya ke Tanah Lot sekitar lima tahun kemudian, naik Mr K. “K” untuk karavan. Tapi, sebenarnya, itu adalah sebuah mobil box. Mobil box kenangan yang jadi rumah saya dan kawan-kawan satu setengah bulan.
Ada kejadian lucu waktu dahulu saya memarkir Mr K di parkiran Tanah Lot. Barangkali karena terlalu bersemangat menginjak pedal ketika mundur, saya merasa bemper belakang Mr K menyenggol sesuatu. Tapi, ketika dicek, seperti tak ada bekas di mobil belakang.
Supaya aman, kawan saya Dedhi membantu jadi juru parkir di belakang. “Mundur! Mundur!” katanya. Saya pun mundur dan mundur, sampai akhirnya Dedhi terjepit di antara bemper belakang Mr K dan bagian belakang mobil di… belakang. Sampai sekarang saya masih terkekeh mengingat ekspresi meringis Dedhi. Maafkan kawanmu ini.
Saya ceritakan ini ke Nyonya. Seingat saya, Nyonya terkekeh. Sambil terkekeh, kami berjalan ke arah Pura Tanah Lot. Di pos selanjutnya, tiket kami diperiksa. Jalan sebentar, kami tiba di pantai. Di depan sana adalah pura tenar seperti di kartu pos. Di atas ada layang-layang.
Sekitar satu jam kami di sana. Nyonya dan saya jalan-jalan di setapak yang berkelok-kelok di tebing sebelah utara Pura Tanah Lot. Capek, kami duduk di salah satu bangku sambil bercerita dan menunggu kamera selesai mengambil bingkai-bingkai timelapse.
Menelusuri jalanan kecil menuju Ubud
Perjalanan-perjalanan saya ke Bali sebelumnya mengajarkan bahwa salah satu lokasi paling enak untuk bermalam adalah Ubud. Di mana pun kamu bermalam di Ubud, kamu pasti akan menemukan ketenangan—kecuali di tengah jalan, mungkin.
Saya pernah bermalam di tiga tempat di Ubud—sebuah Inn di Monkey Forest, cottage belakang Museum Blanco, dan Luden House milik Bli Gede Sayur aktivis “Bali Not for Sale.” Di ketiga tempat itu, saya tidur enak.
Jadi, dari Tanah Lot kami kembali ke arah Denpasar, makan dulu di Warung Padi di Denpasar, kemudian berkendara ke utara menuju Ubud.
Kemi lewat Renon, dekat salah satu tempat tinggal saya dan kawan-kawan waktu di Bali dulu, kemudian terus ke Batu Bulan. Saya agak-agak terharu ketika melewati restoran tempat terakhir kali saya melihat Mr K dulu.
Jalan lumayan ramai, tapi tidak padat. Barangkali karena bukan akhir pekan. Kami terus ke utara, lewat Sukawati, kemudian mblusuk ke Batuan yang nyeni, lewat Lodtunduh yang teduh, dan akhirnya tiba di Ubud.
Mendekati pusat kota Ubud, lalu lintas makin ramai karena jalanan semakin sempit. Dekat sebuah pom bensin sebelum Jalan Monkey Forest, kami belok ke arah barat. Di ujung jalan kecil itu penginapan kami berada.
Ngopi di Kintamani
Dulu pernah suatu kali saya dan kawan-kawan berkendara ke Kintamani di pagi buta hanya untuk menyantap nasi sela. Saya ingin mengajak Nyonya ke sana, pagi buta juga. Namun, Ubud begitu posesif sampai-sampai kami bangun kesiangan.
Karena itu, hari sudah terang ketika akhirnya kami melaju ke utara. Jalanan penuh workshop seni di Tegallalang masih sama, begitu pula dengan sawah teraseringnya. Beberapa menit setelah sawah sengkedan itu, kami berhenti di salah satu gerai ACK untuk sarapan.
Saya baru kali itu ke ACK. Dipikir-pikir, tempat makan ini semacam Popeye atau Olive di Jogja. Hanya saja, ACK menawarkan satu menu menarik, yakni ayam geprek. Uniknya, ayam ACK tidak digeprek dengan sambel biasa, tapi sambel khas Bali lengkap potongan jeruk nipis.
Dengan perut kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke Kintamani. Jalan semakin sepi dan rumah semakin jarang. Suasana makin mirip FTV. Kebun jeruk bali beberapa kali masuk dalam zona pandang. Jejeran cemara mulai kelihatan. Selang sebentar, Gunung Batur muncul. Ia masih tampak purba.
Kami berhenti di salah satu warung pinggir jurang yang dari sana Gunung Batur bisa dipandang dengan leluasa. Saya memesan kopi hitam dan nyonya menyeruput kopi susu—pajak 21%!
Sembari menikmati suasana, saya bercerita tentang pendakian saya dan kawan-kawan ke titik tertinggi Gunung Batur beberapa tahun yang lalu. “Sebelum mendaki, kita kemping dulu di dekat pura di pinggir danau. Di sebelah sana itu,” ujar saya sambil menunjuk satu titik di pinggir Danau Kintamani.
Ngotot ke Pura Besakih
Dari Kintamani, kami menyusuri jalan menurun menuju Bangli. Jalan Kintamani-Bangli lebih sepi ketimbang Ubud-Kintamani. Ruas paling cantik adalah yang berada di dekat pertigaan menuju Penglipuran, berupa hutan bambu yang membentuk semacam terowongan.
Di Bangli, saya membelokkan sepeda motor kembali ke arah utara menuju Besakih. Jalan menjadi semakin kecil dan naik-turun. Saat itulah saya baru tahu bahwa di Bali ada sebuah daerah bernama Rendang—ada SDN Rendang!
Sekitar lima belas menit sebelum Pura Besakih, jalanan mendadak menjadi ramai. Bukan oleh kendaraan, melainkan orang-orang berpakaian putih. Laki-laki memakai udeng dan kamen, perempuan dengan kebaya khas Bali. Udara dipenuhi suara instrumen khas Bali.
Ternyata melasti. Untuk menghormati prosesi itu, pengendara motor diminta melaju di tepi dan tidak memotong arak-arakan jempana yang mereka usung. Akhirnya, kami dan beberapa pemotor lain berhenti di sebuah warung menunggu rombongan itu lewat.
Di warung itu, kami basa-basi sebentar dengan warga sekitar. Lumayan, dapat cerita suasana menegangkan ketika Gunung Agung Meletus. “Ini kami baru sekitar dua minggu pulang,” ungkap seorang bapak di warung itu. Ia juga bercerita bahwa ketika letusan terjadi, harga ternak jadi turun drastis. “Kambing turun bisa sampai 100 ribu per ekor,” ujarnya. Saya geleng-geleng.
Setelah sepi, kami terus ke Pura Besakih. Sempat eyel-eyelan sebentar dengan penjual canang sekaligus penyedia kain sewaan, akhirnya kami jalan ke Pura Besakih ditemani oleh seorang pemandu lokal. Tapi, setiba di pelataran kami mendapati pura sedang ramai oleh umat yang sedang melakukan melasti. Tak berapa lama, hujan deras turun.
Lembayung di Pantai Kuta
Meskipun barangkali terdengar klise, memang tak lengkap rasanya ke Bali kalau tidak ke Pantai Kuta. Bisa dibilang, Kuta adalah nenek moyangnya pariwisata Bali. Jadi, wajar saja kalau Kuta selalu masuk dalam itinerary orang-orang yang traveling ke Bali.
Pertama kali ke Bali tahun 2008, tempat pertama yang saya tuju adalah Pantai Kuta. Soalnya, hanya itu yang saya tahu tentang Bali kala itu. Masih terbayang rasanya tertegun di Pantai Kuta setelah lelah jalan kaki dari Ubung sampai—nyasar—ke Gatot Subroto, kemudian naik angkot sampai dekat Pantai Kuta, terus jalan kaki lagi ke pantai.
Sore terakhir di Bali, saya mengajak Nyonya ke Pantai Kuta. Setelah memarkir motor di seberang papan selancar raksasa Hard Rock Hotel, kami melangkah ke pantai. Ramai, tapi kami berhasil mendapatkan petak kosong di pasir untuk menggelar kain.
Saya berusaha mengalihkan pandangan dari residu-residu peradaban yang menggunung. Juga dari kenangan lama tentang Kuta, di mana orang-orang lebih sibuk mengagumi matahari ketimbang mengayunkan tangan di gawai milik pribadi.
Satu per satu peselancar meninggalkan ombak, sebab hari mulai gelap dan penjaga pantai mulai memanggil-manggil dari pinggir.
Tapi, di kejauhan, lembayung berhias rona jingga memanggil-manggil kenangan dari masa yang telah lama. Kami berdua menatap cakrawala. “Lembayung Bali” Saras Dewi menggema di kepala.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
2 comments
Huaaa abis halan-halan…. Ayok kemping lah sambil mengingat masa-masa kuliah hahaha
Masa-masa bolos kuliah 🙂