Travelog

Tradisi Tutup Tahun Ngemban Taun di Kampung Cireundeu

Di tengah terpaan gelombang deras modernisme yang demikian dahsyat sekarang ini, masyarakat Kampung Cireundeu rupanya masih berupaya tetap teguh dan tetap setia mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan dari para leluhur mereka. 

Telah menjadi tradisi saban tahun, yang turun temurun, ratusan masyarakat masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, senantiasa menggelar tradisi Tutup Tahun Ngemban Taun. Tutup Tahun Ngemban Taun merupakan puncak peringatan tutup tahun seiring dengan tibanya tahun baru dalam sistem penanggalan Sunda Wiwitan. 

Gerbang Cireundeu
Gerbang Cireundeu/Djoko Subinarto

Prosesi gelaran Tutup Tahun Ngemban Taun diawali dengan acara arak-arakan hasil panen pertanian masyarakat Kampung Cireundeu, yang dimulai dari gerbang utama Kampung Adat Cireundeu hingga berakhir di balai pertemuan adat yang disebut sebagai Bale Saresehan di mana sejajian berupa aneka hasil produk pertanian diletakkan di tengah-tengah ruangan bale.

Dalam arak-arakan ini, masyarakat Cireundeu, besar-kecil, tua-muda, dengan tertib dan khusyu, sembari membawa aneka hasil bumi, beriringan bergerak menuju Bale Saresehan yang lokasinya berada persis di tengah pemukiman masyarakat. Sebagian besar perempuan mengenakan kebaya bodas (putih) sedangkan laki-laki mengenakan baju pangsi hideung (hitam) dan tak lupa memakai ikat kepala. 

Petani membawa sejumlah buah dan sayuran
Petani membawa sejumlah buah dan sayuran/Djoko Subinarto

Setelah mereka berkumpul di Bale Saresehan, acara kemudian dilanjutkan dengan membacakan sejarah Kampung Adat Cireundeu, wejangan dari tokoh serta sesepuh masyarakat, serta diakhiri memanjatkan doa bersama. Inti dari wejangan dan doa yang disampaikan oleh tokoh dan sesepuh masyarakat Cireundeu yaitu agar kita senantiasa ingat asal-usul kita serta misi utama kita hadir di dunia ini.

Usai prosesi acara adat, mereka yang hadir dipersilakan menikmati aneka menu sajian makanan khas Kampung Adat Cireundeu, terutama yang berbahan dasar ketela pohon atau singkong (Manihot Esculenta Crantz). Melengkapi dan memeriahkan acara, ditampilkan pula berbagai pertunjukan seni dan budaya tradisional, termasuk kaulinan barudak (permainan anak-anak) serta tak lupa pagelaran wayang golek semalam suntuk.

Sesepuh Kampung Adat Cireundeu, Abah Emen Sunarya, menjelaskan bahwa Tutup Tahun Ngemban Taun merupakan tradisi yang rutin dilaksanakan masyarakat Kampung Cireundeu secara turun temurun. 

“Tradisi ini sebagai salah satu bentuk syukur masyarakat kepada Sang Maha Pencipta atas hasil pertanian yang diperoleh setiap tahun dan berharap hasil yang lebih baik lagi di tahun-tahun berikutnya,” jelasnya, beberapa waktu lalu.

Empat dara membawa tumpeng
Empat dara membawa tumpeng/Djoko Subinarto

Tidak makan nasi

Selain masih tetap setia mempertahankan tradisi Tutup Tahun Ngemban Taun, masyarakat Cireundeu hingga kini juga masih mempertahankan tradisi tidak mengkonsumsi nasi. Sekadar untuk diketahui, sejak tahun 1924, masyarakat Kampung Cireundeu telah menjadikan singkong—sampeu, dalam bahasa Sunda—sebagai makanan utama mereka. Oleh masyarakat Cireundeu, ketela pohon diolah terlebih dahulu untuk dijadikan rasin, beras singkong. Nah, beras singkong inilah yang kemudian mereka masak sebagai makanan pokok sehari-hari mereka, layaknya nasi.

Sejarah lokal Kampung Cireundeu mencatat bahwa tradisi menjadikan ketela pohon sebagai makanan pokok masyarakat Cireundeu bermula ketika terjadi bencana kekeringan dahsyat yang menimpa sawah-sawah di Kampung Cireundeu di tahun 1920-an. Haji Ali, salah satu tokoh masyarakat Cireundeu waktu itu segera meminta masyarakatnya untuk menanam singkong, dan ternyata perintah tersebut tetap dipatuhi masyarakat Cireundeu hingga sekarang ini.

Berkat ketidaktergantungan terhadap beras selama ini, Kampung Cireundeu, yang memiliki luas empat hektare serta dihuni oleh sekitar 340 jiwa, yang terdiri dari 70 kepala keluarga, kemudian mendapat julukan sebagai Desa Wisata Ketahanan Pangan. Disingkat Dewi Tapa. 

Sebagai sebuah Kampung Adat dan Kampung Wisata, Cireundeu sangat terbuka bagi kedatangan siapa saja, termasuk para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan dari mancanegara. Karenanya, acara Tutup Tahun Ngemban Taun yang digelar setahun sekali di kampung ini pun dapat dengan leluasa disaksikan oleh pengunjung.

Khusus bagi mereka yang tertarik untuk belajar tentang kearifan lokal, toleransi, keberagaman dan juga ketahanan pangan ada baiknya sekali-kali bertandang dan menginap di Kampung Cireundeu. Dijamin banyak hal yang bisa kalian kaji dan tafakuri dari keberadaan kampung ini.

Menuju Kampung Adat Cireundeu cukup mudah. Kampung ini dapat dijangkau oleh kendaraan roda empat maupun roda dua. Jaraknya dari Alun-alun Kota Cimahi, sekitar 12 kilometer, ke arah selatan. Lokasinya tidak begitu jauh dari kompleks pekuburan Belanda (kerkhof). Tanyakan saja ke pengemudi ojek pangkalan di sekitar Jalan Kerkhof, Leuwigajah, Cimahi, pasti mereka akan senang hati menunjukkan lokasi Kampung Adat Cireundeu.

Jalan menuju Kampung Adat Cireundeu cukup mulus, berupa jalan beton. Cuma, sedikit menanjak. Di kawasan Cirendeu terdapat sebuah Gunung bernama Gajah Langu. Dari puncak gunung ini, kita dapat memandang secara leluasa ke arah Kota Cimahi dan ke arah Batujajar dan Cililin, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kembali ke Baduy Dalam