NusantarasaTravelog

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan

Termenung saya memandang sebuah toko tua dengan plang nama kecil ini. Sejenak saya menghela napas dalam-dalam, memandangi dinding depan atas yang kehitaman akibat lembap dan jamur. Awalnya saya tak begitu yakin ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Hingga akhirnya, seorang lelaki bertopi keluar dari toko. Tangannya menjinjing seplastik roti.

Ketika lelaki paruh baya tersebut menyeberang ke arah saya, ia tersenyum. Senyumnya seakan menenggelamkan keraguan dan meminta saya mengikuti jejaknya. Akhirnya, saya memutuskan menyeberang jua. Setibanya di depan toko, sekilas saya membaca plang nama “Sentral” berulang kali, lalu mengucap salam pada seorang lelaki sepuh.

Ia menyambut saya lewat senyuman hangat dan memperkenalkan diri sebagai Tee San Tiong. Sebagaimana seorang kawan lama tak berjumpa, begitulah caranya menyapa. Padahal saya tak pernah memasuki toko yang berada di Jalan Raya Sultan Agung, jalur utama yang terletak di tengah-tengah Kabupaten Jember ini.

Sekian detik saya terpana. Dugaan saya sungguh keliru. Begitu kaki menginjakkan diri beberapa langkah, saya tahu jika di tempat ini ada banyak cerita yang sedang mengajak bicara. Etalase kaca yang memburam, pigura berisi foto-foto hitam putih yang terpasang di depan lukisan alam, atau toples kaca zaman dahulu yang di dalamnya menyimpan roti, sementara sebagian toples lain menyimpan beberapa perabotan. Suasana di dalam toko benar-benar berbalikan dengan pemandangan di luar. Amat terawat nan bersahaja.

Mencintai Sepak Bola dan Roti

“Itu kakak saya, Tee San Liong,” katanya ketika saya menatap sebuah foto hitam putih tertempel di dinding. Tampak Presiden Soekarno sedang bersalaman dengan seorang pemain.

Barangkali karena mendapati saya memandang foto ini begitu lama, akhirnya beliau bercerita jika sang kakak adalah pemain Timnas Indonesia. Foto ini diambil pada tahun 1951 saat timnas akan berangkat ke Asian Games yang pertama kali terselenggara di New Delhi, India. Sang kakak bermain sebagai pemain depan. Legendaris pada masanya yang memberi assist pada Ramang, dan berjuluk “Sang Naga dari Jember”.

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Foto Tee San Liong (paling kiri) saat bersalaman dengan Presiden Soekarno/Nurillah Achmad

Pada multi event inilah, namanya mulai melejit. Ketika Indonesia mengalahkan Singapura 6-0, Tee San Liong mencetak 4 gol. Sementara ketika Indonesia mengalahkan Jepang 5-3 di Asian Games 1954 Manila, ia mencetak 2 gol. Bila dilihat dari prestasi, tentu sangat membanggakan. Namun, di balik itu semua sebetulnya orang tua Tee San Liong tak merestuinya sebagai pemain sepak bola. Sayangnya, makin dilarang, maka makin berulah. Makin ditentang, makin keras perlawanannya. Beruntung orang tuanya tak pernah menghukum Tee San Liong secara fisik.

Kiprah sang kakak ternyata diikuti sang adik. Meski tak sampai menembus timnas, ia menjadi gelandang andalan Persid Jember. Tee San Tiong turut andil dalam masa-masa kejayaan Persid. Salah satunya menjadi juara di wilayah Karesidenan Besuki (Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Lumajang). Bahkan pengalamannya bertanding dengan Bangkalan seakan menjadi ingatan yang paling membekas.

“Saya masih ingat, tahun 1960-an saya bermain di Bangkalan. Setelah bertanding, saya membeli salak yang langsung dipetik dari pohon. Rasanya sangat manis dan berbeda dengan salak di sini,” kenangnya seraya tertawa.

Dari sorot matanya itu, saya tahu ada bahasa cinta di sana. Kecintaannya pada sepak bola sama persis dengan kecintaannya menjaga warisan toko roti keluarga. Dibangun pada tahun 1928, yang bersamaan dengan berdirinya gereja Katolik Santo Yusup, sang ibu memutuskan membangun usaha roti. Pada awalnya, bangunan berada di BII (Bank Internasional Indonesia) yang berada di Jalan Baru dan telah berganti nama menjadi Jalan Gatot Subroto. Namun, akhirnya pindah ke Jalan Raya Sultan Agung hingga sekarang.

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Potret kedua orang tua Tee San Liong/Nurillah Achmad

Pemberian nama Sentral karena Jalan Sultan Agung menjadi pusat kehidupan orang-orang kota. Pelanggannya kebanyakan orang Belanda. Dalam sehari bisa mengirim seratus roti tawar ke para kompeni. Umumnya kepada mereka yang bekerja di pabrik gula. Entah pabrik gula Jatiroto di Lumajang, Semboro di Jember, ke Situbondo atau Banyuwangi.

“Orang Belanda sukanya itu roti tawar. Nanti sama mereka dicampur selai atau margarin. Kalau ke Situbondo, biasanya dikirim lewat bus intern. Kalau dekat, biasanya memakai Jawatan Pos (sebutan PT Pos Indonesia zaman dahulu).”

Setelah orang tua Tee San Tiong wafat, usaha ini tak serta-merta tutup. Malah diteruskan sang anak. Kendati beda generasi, resep kuno masih tetap bertahan hingga sekarang. Bahkan oven yang dipakai bukanlah oven layaknya pembuatan roti modern. Tee San Tiong masih menggunakan tungku yang bawahnya terdapat bara api kayu bakar.

Tidak Sekadar Menjual Rasa

“Tak ada keinginan menjual roti modern, Ko?” kata saya penasaran melihat cintanya yang begitu besar terhadap resep peninggalan orang tuanya. Lelaki kelahiran 1935 ini menggeleng.

“Meskipun secara ekonomi pendapatan kami menurun drastis karena jumlah roti modern meningkat pesat, tetapi saya tidak ingin menjual rasa saja. Saya juga ingin menjual cerita.”

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Tee San Tiong, Pemilik Toko Roti Sentral (Nurillah Achmad)

“Cerita?” saya kembali takjub mendengar jawabannya.

“Ya, cerita bagaimana roti ini berdiri sejak zaman Belanda, cerita pelanggan yang umumnya berusia sepuh lalu mewarisi kenangan pada anak cucunya, dan anak cucu ini merasa terhubung dengan kakek nenek mereka hanya melalui roti, atau cerita bagi mereka yang belum pernah mencicipi dan ingin mengetahui perjalanan toko. Inilah yang ingin saya jual.”

Untuk sekian lama, saya hanya mampu tersenyum. Namun, saya tidak bisa berlama-lama karena ada rombongan guru dari Surabaya yang kebetulan datang ke Jember, sengaja mendatangi toko roti Sentral sebagai destinasi perjalanan wisata mereka. Saya segera memilih beberapa potong roti di etalase.

“Saya membuatnya tanpa pengawet. Kamu mau tahu cara menikmati roti ini yang paling nyaman di lidah?”

Saya manggut-manggut menunggu tips darinya.

“Sandingkanlah dengan secangkir teh. Maka kamu tidak sekadar menemukan rasa di sana, melainkan juga cerita.”

Saya senyum-senyum sendiri. Akhirnya, saya lekas pulang demi mengikuti saran dari pemilik toko roti ini. Anjurannya benar-benar terbukti. Dari gigitan pertama potongan roti kismis, saya merasakan aroma khas menyergap penciuman. Aroma ini tidak saya temui pada roti umumnya. Teksturnya lembut. Aroma wanginya mirip-mirip aroma cendana. 

Pada gigitan kedua saya tersenyum. Saya seakan terlempar ke masa silam dan melihat bayangan Ibu Oen Hwa Nio—ibu Tee San Tiong yang fotonya terpajang di depan lukisan—sedang mengelus dada, sebab anaknya memilih kabur ke Surabaya ketika ia melarang Tee San Liong bermain sepak bola.

Sementara pada gigitan roti cokelat, saya malah termenung. Saya teringat bagaimana Tee San Tiong bertahan di tengah gempuran bakery-bakery modern. Ia tahu betul, sedikit banyak, nama toko roti Sentral secara perlahan akan tenggelam. Proses produksinya menurun tajam. Namun, ajaran orang tua tak pernah memintanya putus asa apalagi menyerah.

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Produksi roti Sentral yang kian sedikit/Nurillah Achmad

Selanjutnya pada gigitan roti kacang saya justru teringat novel Madre karya Dee Lestari. Saya kira, penulis favorit saya ini mesti ke Jember demi mencicipi roti Sentral. Satu-satunya alasan karena toko roti ini juga tak kalah bernilai dengan biang roti Madre di novelnya.

Gigitan demi gigitan saya nikmati. Banyak bayangan yang silih berganti dalam benak ketika saya tuntas mencicipi. Sampai akhirnya, teh teman bersanding juga tuntas saya teguk. Saat itulah, ketika semuanya tak ada sisa, saya menemukan apa yang Tee San Tiong maksud. Bahwa memang toko roti Sentral bukan sekadar menjual rasa, melainkan juga menyuguhkan cerita perjuangan sebuah keluarga serta saksi bisu peradaban sebuah bangsa.

Toko Roti Sentral Jember: Bertahan dengan Cinta dan Kenangan
Potongan roti yang saya nikmati/Nurillah Achmad

Inilah yang membuatnya bernilai. Aroma dan cerita seakan sepasang kekasih yang tak mengizinkan waktu memisahkan keduanya. Bila tak percaya, saya mengundang Anda untuk menikmati roti kuno yang resepnya mereka pertahankan sampai sekarang, lalu sandingkan dengan secangkir teh. Baik pagi atau sore hari, tak jadi soal. Satu-satunya perbedaan adalah dengan siapa kita menikmatinya. Niscaya, Anda akan serupa bintang-bintang berjatuhan. Manakala sekarat dalam senyum indah terakhir, bintang-bintang ini masih berterima kasih terhadap langit yang begitu lapang.

Persis roti Sentral. Pada gigitan terakhir, Anda akan tenggelam dalam aroma yang tak pernah ditemui sebelumnya. Namun, Anda masih berterima kasih atas balutan cerita yang berusia hampir 100 tahun lamanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Nurillah Achmad. Seusai menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan Sumenep, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jember. Pada tahun 2019, terpilih sebagai Emerging Writer of Ubud Writers & Readers Festival. Novel terbarunya berjudul Berapa Jarak antara Luka dan Rumahmu? (Elex Media Komputindo, 2023). Saat ini tinggal di Jember dan aktif di komunitas Puan Menulis.

Nurillah Achmad. Seusai menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan Sumenep, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jember. Pada tahun 2019, terpilih sebagai Emerging Writer of Ubud Writers & Readers Festival. Novel terbarunya berjudul Berapa Jarak antara Luka dan Rumahmu? (Elex Media Komputindo, 2023). Saat ini tinggal di Jember dan aktif di komunitas Puan Menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Taman Baca Oce: Rental Komik Terakhir di Jember yang Bertahan hingga Sekarang